Langsung ke konten utama

Postingan

106. Design Thinking/Design Sprint for Education

Yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Sering kita mendengar kata-kata magic ini. Perubahan adalah bagian dari kehidupan memang. Punahnya hewan yang ada di alam ini adalah karena hewan tersebut tidak bisa melakukan perubahan di kondisi yang ada. Dan memang itulah fitrah mereka. Sedangkan kita, manusia, adalah makhluk yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan. Manusia diberi akal untuk itu. Nah, tapi kita juga sering melihat perusahaan atau usaha akhirnya gagal beradaptasi dan akhirnya gagal pula melanjutkan kiprahnya.Namun, ada juga usaha yang sudah berusia ratusan tahun, tapi kita melihat masih eksis dan terlihat masih menggunakan model aslinya. Tapi benarkah tidak ada perubahan sama sekali sehingga usaha tersebut bisa bertahan ? Ternyata tidak juga, Mereka tetap melakukan inovasi, meski kadang inovasinya bukan di produknya, tapi bisa jadi di marketingnya, kemasannya, manajemennya dan hal-hal lainnya.  Saya ambil contoh Montessori, mereka menggunakan kurikulum yan
Postingan terbaru

106. Beli Topi Lagi

 "Buk, buk, tumbas " saya memangging-manggil penjual seragam sekolah Sumber Busana, yang jaraknya dari rumah kami sekitar 500 meter. Kami di Pandean, sedangkan Sumber Busana di Ledok Jagalan. Oh ya, ini bukan toko yang saya ketok, kalau toko Sumber Busana ada di pasar, tapi ini gudang pembuatannya yang menjadi satu dengan rumah pemiliknya.  "Opo maneh ? Balak-balik ae, engkok jam 6 ae"  Apalagi ? Bolak-balik aja, nanti aja jam 6 pagi, ini kurang lebih jawaban dari ibu tua yang ada di rumah itu. Ya, bada shubuh sekitar jam 5 pagi saya datang ke rumah itu, mengetuk pintu bagian belakang rumah untuk membeli entah tu dasi, hasduk, topi merah putih atau aksesoris seragam lainnya. Dan mungkin yang membuat kesal penunggu gudang itu adalah saya datang jam 5 pagi dan bukan satu kali, tapi sebulan bisa lebih dari 1 kali datang ke rumah itu. Entahalah, sering sekali di hari Senin saya kebingungan mencari entah itu topi merah putih, dasi atau kaos kaki putih. Padahal, saya mera

106. Ketumbar, atau Kemiri

  Siang ini, saya memasak sop dengan lauk tahu goreng dan empal goreng bumbu ketumbar. Nikmat sekali, makan bersama 3 anak laki-laki. Tentu sambal kecap tak lupa menemani. Melihat ketumbar di meja, membawa ingatan saya pada masa kecil dulu, ketika usia awal-awal SD hingga akhir di sekolah dasar. Memori yang kuat sekali, karena mengalami peristiwa berkali-kali tentang ketumbar dan kemiri. Hampir semua kita paham mana ketumbar dan mana kemiri. Gambar di bawah ini jelas menunjukkan bedanya. Dari ukuran saja jauh berbeda, juga warnanya. Mana yang ketumbar ? Mana yang kemiri ? Tak perlu saya tunjukkan bukan ?  Tapi, di masa kecil saya, keduanya menjadi semacam mimpi buruk, karena saya kesulitan membedakan. Terbolak-balik. Kemiri saya katakan ketumbar. Ketumbar saya katakan ukurannya yang besar. Dan lain sebagainya.  "Qi, belikan ibu ketumbar di pak Toyo" perintah ibu saya Pak Toyo adalah pemilik warung serba ada dekat rumah, sekitar 50 meter dari rumah. Cukup lengkap isi tokonya.

A. 1. Sesederhana reframing *) (Kisah Residen yang Positif Covid19)

  Kakinya ringan saja menapaki pagi itu. Sebagai seorang residen, sebutan bagi peserta pendidikan dokter spesialis, long weekend tanpa tugas jaga adalah surga yang sangat dirindukan. Membayangkan pertemuan dan cengkerama hangat dengan keluarga, mengukir sungging senyumnya. Bahagianya membuncah tatkala membayangkan si sulung tampan menyambut kedatangannya, si tengah yang penuh perhatian dan ceria, serta tangan mungil bungsu berlesung pipit yang memeluk erat tubuhnya. Entah sudah berapa purnama berlalu dirinya tidak bisa memeluk tiga mutiara hatinya ini.  Ah, pandemi dengan segala ketidakpastiannya ini semoga segera enyah, batinnya. Sengaja dirinya singgah di sebuah rumah sakit yang bersebelahan dengan asrama haji di kotanya. Mengambil hasil pemeriksaan laboratorium sebagai syarat menunggang si burung besi, sebelum menuju bandara. Petugas yang menelponnya beberapa hari lalu mengatakan hasil pemeriksaan bisa diambil dan hasilnya negatif. Perlahan dibukanya amplop berisi selembar kertas it

105. Pandemik dan Tertinggal Pelajaran

Beberapa keluhan walimurid di banyak sekolah adalah khawatir anak-anaknya tertinggal pelajaran. Seorang guru di sebuah sekolah yang mengikuti pelatihan Design Thinking untuk Kurikulum yang Adaptif juga mengeluhkan hal yang sama. Meminta tips bagaimana anak-anak tidak tertinggal pelajaran, bagaimana mereka bisa mendapatkan nilai yang baik di Ujian Nasional tahun 2021, jika UN diadakan kembali. Bagaimana dengan Anda ayah bunda ? Memiliki kecemasan yang sama ? Bagiamana dengan Anda cik gu ? Merasakan kekhawatiran yang sama juga ? Saya rasa, banyak walimurid dan guru yang memiliki kecemasan yang sama. Wajar ini ada di kepala kita. Namun, benarkah demikian ? Benar, jika berpikir bahwa belajar hanyalah menjalankan rutinitas dan menghabiskan jatah-jatah halaman dalam buku dan kurikulum. Benar, jika beranggapan bahwa akademis adalah prioritas utama dalam perkembangan anak-anak kita. Benar, jika kita berpandangan bahwa materi kurikulum adalah sebuah kewajiban yang musti dijalankan. Pendid