Salah satu masalah
besar pendidikan di Indonesia adalah tidak meratanya pendidikan. Baik
secara jumlah sekolah, jumlah guru, fasilitas hingga konsep yang
baik. Tidak hanya di di daerah terpencil. Kesenjangan itu bahkan ada
di kota-kota besar. Kesenjangan kadang bukan karena ketidaksengajaan
atau karena kendala geografis atau alam yang sulit untuk dikontrol,
tapi kesenjangan itu kadang memang dibuat dan dikreasi sendiri oleh
negara. Contoh sederhana adalah dibentuknya sekolah RSBI atau SBI
(yang pada akhirnya dibubarkan oleh MK), atau sekolah unggulan
lainnya. Sama-sama sekolah negeri bahkan sama-sama di ibukota
provinsi misalnya, tapi memiliki fasilitas yang jauh berbeda, baik
fisik maupun kesiapan gurunya. Negara sibuk dengan membuat menara
gading. Peraturan bahwa di setiap kabupaten harus ada satu sekolah
bertaraf international adalah contoh peraturan menara gading itu.
Adanya perbedaan
fasilitas dan kualitas yang jauh dari sekolah-sekolah ini mencipatkan
ekses baru, yaitu berbondong-bondongnya orang tua wali murid untuk
memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah favorit itu. Ekses ini kemudian
membuat ekses baru, bak sebuah permainan domino. Seleksi penerimaan
murid barulah ekses berikutnya. Banyak sekolah dengan congkaknya
menentang peraturan yang dibuat oleh pemerintah, bahkan sekolah
negeripun melakukan hal yang sama. Seleksi muridsi anak berkembang
dengan optimal dan sesuai dengan tahapannya, bukan sekolah yang
menerima anak-anak pintar saja. baru di sekolah dasar yang harusnya
tidak ada tes akademis dan calistung, tapi bagaikan memilih baju di
pasar, sekolahpun melakukan hal yang sama dengan anak-anak. Dipilih
yang baik, cerdas dan pintar untuk menjadi muridnya, sisanya silahan
cari sekolah lain yang bukan sekolah favorit.
Sekolah dasar,
namanya juga dasar, artinya yang diajarkan haruslah yang dasar-dasar.
Dasar membaca, dasar berhitung, dasar berkomunikasi, dasar sains dan
beberapa hal dasar lainnya. Artinya, guru di sekolah dasar harusnya
siap untuk mengajarkan hal-hal dasar itu. Bukan memilih-milih anak
yang sudah siap saja. Apalagi memilih anak-anak yang sudah siap
untuk calistung saja. Anak yang tidak bisa membaca dan beritung tidak
bisa menjadi murid sekolah-sekolah favorit atau unggulan. Kalo
murid-murid yang sudah pintar, gak perlu bingung-bingung lagi
ngajarin, tinggal jelasin satu kali beres semuanya. Sekolah seperti
ini kok dibilang unggulan? Lha emang muridnya yang pintar kok, bukan
gurunya yang pandai mengolah anak.
Sekolah unggulan itu
harusnya sekolah yang menerima anak apa adanya dan akhirnya bisa
membuat potensi anak berkembang dengan optimal dan sesuai dengan
tahapannya, bukan sekolah yang menerima anak-anak pintar saja.
Komentar
Posting Komentar