Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2014

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

14. Inklusif, Pilihan atau Kewajiban

Di sebuah FDG pendidik, saya memancing tentang perlunya sekolah untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Kalau bahasa kerennya adalah sekolah inklusif. Sekolah yang menempatkan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus satu ruangan dengan anak-anak lainnya. Meski kadang anak-anak tersebut dipisahkan kelas karena beberapa hal, misal ketika tantrum, stimulasi atau ketika terapi. Tapi ketika kegiatan-kegiatan lain mereka bisa bersama dengan temannya. Kebutuhan khusus sering dipahami oleh masyarakat atau bahkan para pendidik, hanya pada anak autis, downsyndrome atau hyperaktif. Padahal banyak sekali hal yang bisa dikatakan sebagai anak-anak berkebutuhan khusus. Slowlerner, borderline, superior (iq di atas rata-rata), lambat bicara, ADD. Sedangkan kebutuhan khusus yang berkaitan dengan fisik seperti tuna netra, tuna rungu danwicara, tuna daksa.  Menerima anak-anak berkebutuhan khusus ini sebenarnya adalah perintah agama. Jika kita menganggap bahwa membuat sekolah adalah sebuah bagi

12.Tentang Sahabat Alam (testimoni dari murid) I

Kali ini tulisan di blog ini bukan tulisan saya, tapi dari tulisan murid-murid Sekolah Lanjutan Sahabat Alam. Tulisan dari postingan FB ini dibuat oleh Athira dan Adiba.   Enggak terasa sudah 1 tahun lebih aku kenal sama kaliam dan hampir satu tahun Aku kenal sama kalian, mau nya sih kelas 8 nya dilama-lama in aja, biar kelulusannya juga lama *emang bakalan lulus? Pd banget-_-*. Dari muridnya yang cuma 7 terus nambah Yusril Mahardika jadi 8, nambah lagi si Dwi Sahabatalam jadi 9, nambah lagi my Adiba Alqadi ry jadi 10, nambah lagi Icha Hanifika jadi 11, nambah lagi Legito C'Nakk Apc Part I jadi 12, nambah lagi Rama Bengkeck jadi 13, dan nggak tau deh akan nambah lagi atau nggak. Dari yang awalnya malu-malu mau kenalan sekarang udah,, ya gitu lah. Banyak banget kata-kata, kalimat, dan tingkah laku ku dan Athira yang mungkin bisa dibilang nyelekit dan nyakitin hati bangettt. Jujur, itu cuma bercanda kok ya walaupun kelewatan sih. Kalau masalah dimaafin atau

11. Tegas vs Keras (contoh kasus di Mini Market)

Ayah bunda, kita pernah suatu saat pergi ke toko swalayan. Tiba-tiba anak kita sudah mengambil kue atau coklat ke kasir. Padahal, sebelum berangkat mereka sudah janji misalnya tidak membeli sesuatu di toko. Anak-anak dengan wajah memelas atau bahkan menangis memohon agar kita mau mengabulkan keinginannya. Kita dalam posisi dilematis. Membelikan, artinya kita mengabulkan dan tidak konsisten karena tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Atau menolaknya dengan resiko anak menangis di toko dan dilihat oleh pelanggan lain, yang dapat membuat kita malu karena dianggap tidak punya rasa kasihan dan sayang.  Baik, saya akan sampaikan berapa respon yang kita lakukan. Respon pertama Kita membiarkan saja mereka mengambil dan akhirnya kita membayar di kasir tanpa merasa ada yang perlu didiskusikan karena kita menganggap, ya ini kan cuma sekali dan berapa sich uang yang kita keluarkan.  Respon kedua Awalnya kita melarang mereka dengan mengingatkan perjanjian sebelum berangkat ke swalayan. Kem

10. Haruskah Berkata Jangan atau Jangan Berkata Jangan

Ada kutipan sebuah artikel :  Anak-anak hasil didikan tanpa “jangan” berisiko tidak punya “sense of syariah” dan keterikatan hukum. Mereka akan sangat tidak peduli melihat kemaksiyatan bertebaran karena dalam hatinya berkata “itu pilihan mereka, saya tidak demikian”. Mereka bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi “mereka memang begitu, yang penting saya tidak melakukannya”. Tulisan ini sebenarnya ingin mengkritisi tentang pengasuhan yang  katanya melarang kata Jangan. Meskipun selama saya mengikuti berbagai macam seminar tentang pengasuhan, belum ada yang melarang penggunaan kata JANGAN. Saya melihat ini berangkat dari satu penafsiaran yang ekstrem di sebelah kanan dan satu lagi ekstrem di sebelah kiri.  Sebenarnya ini bisa didudukkan dengan jelas kapan penggunaan kata JANGAN, bukan melarangnya ataupun mentolerirnya dengan sering berkata JANGAN. Kalau menurut pendapat saya, baik sebagai pendidik maupun sebagai ayah dari anak-anak saya, kata JANGAN masih

9. Kebahagiaan Versi SIapa ?

Ketika anak-anak mejuarai kompetisi atau lomba-lomba, guru dan orang tua bangga. Bangga memiliki anak dan murid seperti itu. Dan kita menganggap bahwa kebahagiaan mereka adalah dengan cara memenangkan lomba-lomba dan kompetisi. Kita buat spanduk besar untuk menyambut kemenangannya di pintu gerbang sekolah, di brosur-brosur sekolah yang dibuat, kita masukkan kemenangan itu sebagai kemenangan sekolah, bahkan hingga di koranpun kita berani membayar halaman untuk mengumumkan ini ke media. Setiap orang yang kita kenal, di manapun bertemu akan kita sampaikan berita kemenangan itu. Namun, Kita sebagai orang dewasa kadang terlalu memaksakan pa atng menjadi kehendak kita pada anak-anak. Kita kadang lupa bahwa mereka adalah anak-anak dan belum pernah melewati masa dewasa, tapi kita adalah orang dewasa yang sudah pernah mengalami masa seperti masa mereka sekarang. Kita lupa. Kita menganggap apa yang kita pikirkan dapat dipahami oleh mereka. Kita memaksa mereka untuk memahami mereka, p

8. Kebahagiaan bukan Kepintaran

Ketika mengupload (nanti dicari padanan katanya) ke Fb gambar ini ada yang berkomentar mendukung ada juga yang tidak sepakat. Biasa memang, dalam setiap wacana ada yang setuju dan tidak. Di sini saya akan berusaha mendudukkan gambar ini secara proporsional agar penjelasan lebih mengkristal lagi. Berbahaggia berbeda dengan besenang-senang. Berbahagia maknanya jauh lebih hakiki dibandingkan dengan bersenang-senang. Bisa jadi orang yang bahagia, dalam hidupnya tidak bersenang-senang dan begitu sebaliknya orang yang bersenang-senang belum tentu bahagia hidupnya. Mengapa saya menuliskan bahwa tujuan sekolah adalah kebahagiaan? Ya karena sesungguhnya tujuan manusia adalah kebahagiaan, dunia dan akhirat. Artinya dalam setiap aktivitas kita seharusnya juga bersandar pada hal itu. Mengapa kita shalat, mengapa kita bekerja, mengapa kita berkeluarga? Tentunya karena kita ingin bahagia. Sekolah adalah bagian dari kehidupan kita, maka seyogyanya bertujuan juga untuk kebagaian, bukan ya

7. Memilih Anak, Bukan Memilih Baju

Salah satu masalah besar pendidikan di Indonesia adalah tidak meratanya pendidikan. Baik secara jumlah sekolah, jumlah guru, fasilitas hingga konsep yang baik. Tidak hanya di di daerah terpencil. Kesenjangan itu bahkan ada di kota-kota besar. Kesenjangan kadang bukan karena ketidaksengajaan atau karena kendala geografis atau alam yang sulit untuk dikontrol, tapi kesenjangan itu kadang memang dibuat dan dikreasi sendiri oleh negara. Contoh sederhana adalah dibentuknya sekolah RSBI atau SBI (yang pada akhirnya dibubarkan oleh MK), atau sekolah unggulan lainnya. Sama-sama sekolah negeri bahkan sama-sama di ibukota provinsi misalnya, tapi memiliki fasilitas yang jauh berbeda, baik fisik maupun kesiapan gurunya. Negara sibuk dengan membuat menara gading. Peraturan bahwa di setiap kabupaten harus ada satu sekolah bertaraf international adalah contoh peraturan menara gading itu. Adanya perbedaan fasilitas dan kualitas yang jauh dari sekolah-sekolah ini mencipatkan ekses baru, yai

6. Citra Sekolah dan Anak Berkebutuhan Khusus

Di tahun 2011 saya diundang oleh sebuah sekolah yang sangat sederhana untuk mengisi seminar pengasuhan, di sebuah daerah yang juga sangat sederhana kehidupannya. Sebuah pesantren besar di sini lebih terkenal dibandingkan nama daerahnya. Di sela-sela waktu kosong, pendiri sekolah ini mengajak saya untuk silaturahmi ke sekolah-sekolah yang sudah berdiri terlebih dahulu. Diajaknya saya bertemu dengan pejabat-pejabat sekolah-sekolah tersebut. Mulai dari guru, kepala sekolah hingga pejabat di yayasannya. Salah satu sekolah yang saya kunjungi adalah sekolah favorit di daerah tersebut. Setelah sempat menunggu sekitar 15 menit, saya disambut oleh kepala sekolahnya. Dan karena sudah masuk waktu shalat dhuhur, diajaknya saya shalat di masjid sekolah itu. Selesai shalat, diajaknya saya keliling sekolah itu. Ada beberapa hal pernyataan dari kepala sekolah ini yang membuat saya terkaget-kaget. Pertama adalah ketika obrolan masuk pada topik parenting bagi orang tua wali murid. "

5. Arti Kebahagiaan

Bahagia dunia akhirat sering orang berkata seperti itu ketika ditanya apa keinginanannya. Bahagia dan kebahagiaan adalah sesautu yang sulit diukur dengan kuantitatif atau ukuran yang baku. Bahagia itu letaknya ada di kalbu, sesuatu yang sangat abstrak. Sulit ngukurnya. Tapi biasanya bisa dilihat dengan ekspresi wajah, perilaku dan sikapnya pada lingkungan. Orang-orang yang bahagia biasanya ramah, murah senyum dan sikapnya bersahabat dengan lingkungan atau orang lain. Kebahagiaan biasanya adalah klaim pribadi, karena yang bisa merasakan langsung adalah pribadi yang bersangkutan, orang lain atau lingkungan hanya mendapat efeknya, bukan rasanya. Sekarang, di sekolah-sekolah, bahagia telah dimonopoli oleh guru, kepala sekolah, yayasan, dinas pendidikan dan pemangku kebijakan pendidikan lainnya. Orang tua menjadi salah satunya juga. Murid tidak bisa lagi mendefinisikan kebahagiaan, mereka bukanlah pengambil kesimpulan tentang kebahagiaan bahkan untuk dirinya sendiri. Orang dewa

4. Anak Bukan Barang, Sekolah bukanlah Pabrik

Pernah kami mendapat tamu seorang trainer pendidikan tingkat nasional. Beliau dari sebuah lembaga pelatihan dan konsultan sekolah yang ternama di Indonesia. Adanya waktu kosong beliau di Palangka kami manfaatkan untuk sharing di sekolah kami, ada sekitar 4 jam beliau berbagi pengalaman dan ilmu dengan kami. Ada pertanyaan yang mengagetkan bagi kami, "Jaminan kualitas lulusan apa yang diberikan sekolah ini ke orang tua?". Bingung bagi kami untuk menjawabnya, dan saya bertanya balik,"Maksudnya ?". "Seperti ini. (beliau sebutkan nama sebuah sekolah) sekolah ini menjamin lulusannya bisa membaca Quran, shalatnya tertib, nilai UN 8 dan ada 12 jaminan lulusan lagi. Jadi ketika orang tua mendaftarkan anaknya, mereka tahu apa yang kami jaminkan" begitu tambahnya. Terbengong-bengong saya mendengarnya. Entah karena takjub atau bingung dengan apa yang disampaikannya. Takjub karena bahasanya yang meledak-ledak atau bingung karena memang bingung karena kami

3. Ideologi Gado-gado

Setiap manusia punya tujuan hidup yang didasari dari idealisme dan ideologi yang dibawanya. Orang-orang komunis punya cara untuk menerapkan visi hidupnya, begitu juga orang kapitalis ataupun masyarakat yang beridielogi agama. Semua punya cara dan tujuan yang berbeda. Adalah hal yang wajar masing-masing mempertahankan ideologinya dan menganggap bahwa ideologinya yang paling baik untuk kesejahteraan manusia. Di sini saya ingin menyampaikan apa yang saya lihat di beberapa sekolah berbasis agama di Jawa, Sumatera dan Kalimantan (atau mungkin daerah lain juga sama). Semangat beragama guru, yayasan dan pemangku kepentingan lain di sekolah tersebut luar biasa. Ingin menjadikan anak taat, hafal doa-doa harian dan lain sebagainya. Semuanya punya visi yang jauh ke depan. Tapi implementasi di lapangan bicara hal yang berbeda. Coba lihat, sekolah yang dibangun dengan ideologi akhirat ini ternyata di lapangan berkompromi dengan ideologi komunis dan kapitalis. Hah? Benarkah?. Coba perha

2. Gak ada Dana untuk Perpustakaan

Pada tahun 2011 saya berkunjung ke sebuah kota di bagian selatan Jawa Timur untuk mengisi acara pengasuhan/ Saya punya kebiasaan, setiap berkunjung ke sebuah kota—baik dalam rangka wisata ataupun dalam rangka mengisi pelatihan—saya selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke sekolah yang ada di sana. Demikian juga saat saya datang ke kota tersebut, saya berkunjung ke sebuah sekolah yang cukup terkenal. Sekolah ini sama dengan sekolah-sekolah swasta lainnya. Mereka memiliki bangunan dan fasilitas yang lebih baik dari yang dimiliki sekolah-sekolah negeri. Gedungnya dua tingkat dengan lantai yang licin, berjendela kaca, sejuk karena berpendingin udara, dan menggunakan proyektor di dalam kelas untuk menambah daya tarik guru yang mengajar. "Interaktif," kata sebagian gurunya. Pembelajaran dengan multimedia. Sempurna untuk sebuah sekolah di kabupaten. Pasti akan banyak orang yang menitipkan anak belajar di sana. Sang kepala sekolah menceritakan bagaimana sekolah da

1. Buku Paket. Pentingkah ?

Masalah pendidikan di Indonesia sangatlah rumit. Mulai dari pungutan ilegal sampai percaloan untuk masuk ke sekolah-sekolah favorit. Bukan hanya itu, keluhan dari orang tua tentang gonta-gantinya buku teks pelajaran adalah salah satu masalah yang sudah menahun. Hampir setiap tahun ada keluhan seperti ini. Tidak seperti di tahun 1980an, buku paket zaman itu adalah turunan dari kakak kelas ataupun kakak kandung kita sendiri. Memang ada wacana di Kurikulum 2013, siswa tidak membeli buku paket, tapi dibelikan oleh sekolah dari dana BOS. Sebenarnya pernahkah kita berhitung berapa banyak sumber daya yang telah kita gunakan untuk me. mbeli buku paket dalam setahun? Mungkin sudah pernah, tapi tidak ada salahnya kalo saya membahas ulang. Saya akan bahas dari dua sisi, dari sisi uang dan banyak kertas yang dikeluarkan. Pertama, dari berapa banyak uang. Dalam satu tahun anggap saja minimal 1 murid membeli atau dibelikan dari dana bos lima buku paket. IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indo