Siang itu, ada pemandangan menarik bagi Rizqi dan Frida di
sebuah tempat wisata di Batu – Jawa Timur. Seorang ibu keturunan chinese
sepertinya, berumur setengah baya bersama 3 anaknya. Yang menarik perhatian
adalah satu anaknya yang duduk di kursi roda dengan posisi kepala yang tak
terlalu sempurna. Tak tahu apa yang menyebabkan anak itu seperti itu. Tentu
karena memang mereka tak menanyakan itu. Mereka hanya melihat apa yang
dilakukan oleh ibu ini dan anak-anaknya.
Anak pertama ibu ini mungkin berumur sekitar 15-17 tahun,
anak keduanya yang berada di kursi roda dan yang ketiga berumur sekitar 11-12
tahun. Menarik untuk dilihat dan diamati karena sepertinya keluarga ini
mencintai anggota keluarganya yang kurang sempurna ini. Adiknya bergantian
bersama dengan ibu dan kakaknya mendorong kursi roda memasuki wahana-wahana
yang ada di tempat wisata itu. Terkadang terdengar gelak tawa yang lepas dari
mereka. Sedangkan anak yang berkursi roda mengikuti gelak tawa itu dengan
senyum simpul di bibirnya. Roller coaster yang terlalu tinggi dan panjang
lintasannya juga dicobanya, termasuk anak yang berkursi roda ini.
Ketika bertemu lagi dengan ibu serta 3 anaknya di pintu
keluar, Rizqi mencoba bersikap ramah dan menyapa ibu ini .
“Berani juga ya bu anaknya naik roller coaster.” sapa Rizqi
dengan bermaksud memuji anak yang berkursi roda.
“Iya pak, dia lebih berani daripada kakaknya meski gak bisa
jalan.” Jawab ibu itu
“Dari mana bu ?” tanya Rizqi lagi basa-basi
“Semarang pak .” jawab ibu itu sambil terus mendorong kursi
roda anaknya menuju mobil yang sudah menunggunya di pelataran parkir.
“Mari pak. Terima kasih pak” lanjut ibu itu
“Ya bu. Sam-sama. Mari bu. “ jawab Rizqi kemudian dan
akhirnya mereka masuk ke dalam mobilmasing-masing.
Di dalam mobil, Frida berkomentar terhadapa apa yang
dilihatnya.
“Luar biasa ya mereka. Bahkan adiknya juga ikut mendorong
kursi roda itu. Keluarga yang bahagia nampaknya. Ibu itu sepertinya menerima
anak itu apa adanya.” Kata Frida pada Rizqi di dalam mobil
“Seharusnya, semua orang tua yang mendapat anak berkebutuhan
khusus memperlakuakan anaknya dengan kasih sayang seperti itu. “ lanjut Frida.
Pembicaraan dalam perjalan pulang ini akhirnya seputar
tentang anak berkebutuhan khusus. Mulai dari perlakuan orang tua hingga sekolah
yang berkaitan dengan ini.
Anak-anak seperti May Lan (anggap saja itu namanya), tak
pernah memilih mengapa mereka ditakdirkan Tuhan dengan keadaan seperti itu. Pun
juga sang Ibu juga tak pernah berdoa untuk mendapatkan anak seperti May Lan
yang punya kekurangan. Jika diperbolehkan untuk memilih, tentu May Lan dan
ibunya tak memilih keadaan ini. Ini adalah pemberian dari Tuhan. Sama seperti
ketika seorang ayah & bunda mendapatkan anaknya dalam keadaan yang sempurna
ketika dilahirkan.
Sayang, banyak anak lain seperti May Lan yang belum terlalu
beruntung. Mulai dari ayah yang “menolak” anaknya dan menyalahkan ibunya karena
keadaan anaknya. Atau ketika sang ibu yang tak juga siap menerima keadaan
anaknya. Atau juga keluarga besar yang menganggap anak-anak ini sebagai beban yang
harus dihindari.
Melihat anak-anak seperti ini, pikiran Rizqi melayang ke
negeri nun jauh di sana, di Utara Eropa, Finlandia. Negeri kecil yang katanya
pendidikannya nomer wahid di dunia. Di sana, dari beberapa referensi, sangat
menghargai pendidikan untuk anak-anak yang memiliki keterbatasan, baik
keterbatasan karena alasan psikologis maupun fisik. Bahkan, guru-guru khususnya
adalah guru-guru terbaik yang telah mengabdi lebih dari 5-7 tahun. Bukan guru
sembarangan tentunya.
Sering dalam forum-forum seminar di Indonesia, Finlandia
dijadikan rujukan oleh para pemateri. Dari capaiannya di PISA, penangananan
anak-anak berkebutuhan khusus hingga pembahasan mengenai sedikitnya jam belajar
di sekolah dibandingkan negara-negara seperti Korea, Amerika atau negara maju
lainnya.
Tapi, Indonesia bukanlah Finlandia. Sekolah-sekolah di
Indonesia masih lebih menganggap prestasi akademik adalah hal utama. Anak-anak
seperti May Lan, kadang dianggap akan menjadikan beban bagi sekolah. Masih
dianggapa akan membuat citra sekolah turun karena nilai Unnya di bawah
rata-rata. Maka, sejak dari awal, anak-anak seperti May Lan akan ditolak masuk
sekolah dengan alasan tidak lolos tes. Tidak sesuai standar QA/QC sekolah.
Mirip di pabrik saja.
Alasan tidak ada SDM sering diungkapn oleh sekolah untuk
tidak menerima anak-anak itu. Jika itu alasannya, harusnya ada langkah untuk
menuju ke sana. Bukan kemudian menikmatinya bertahun-tahun tanpa ada langkah menuju
ke sana. Atau juga, tidak menjadikan tes-tes masuk sekolah sebagai seleksi
untuk menerima anak-anak unggul saja. Guru di sekolah adalah penerus kenabian.
Jika, rasul saja ditegur oleh Allah karena memalingkan muka pada Ummu Maktum,
bagaimana dengan guru-guru, kepala sekolah dan yayasan yang sengaja tidak
menerima anak-anak itu ? Bisa jadi, anak-anak yang ditolak itulah nanti yang
akan menjadi penopang dakwah bukan sebaliknya. Sama seperti Ummi Maktum yang
akhrinya menjadi sahabat utama Rasulullah.
Sekolah adalah lembaga pembangun peradaban. Dan peradaban
tak hanya diisi oleh orang-orang “unggul” saja, tapi juga diisi dengan rasa
kemanusiaan dan empati dari bagaimana manusia-manusia di dalamnya memperlakukan
manusia laiinya. Jika, orang-orang yang “lemah” saja juga diperlakukan setara
dengan manusia lainnya, itulah sebenarnya setinggi-tingginya peradaban manusia.
Sama seperti bagaimana Rasulullah memperlakukan Ummi Maktum dalam mendapatkan
ilmu dan rasa kasih sayang. Tapi sayang,
itu masih jauh dari banyak sekolah di
Indonesia dan mari kita bermimpi untuk itu.
Suroboyo, patbelas desember rong ewu limo las
Rizqi Tajuddin
Komentar
Posting Komentar