Langsung ke konten utama

57. Tanya Jawab dengan Ayah (2)


Seorang ayah bertanya pada saya tentang perilaku anaknya. Beliau dan istrinya cukup khawatir dengan perilaku anaknya. Anaknya sudah kelas enam, tapi kurang suka belajar dan lebih sering browsing tentang bisnis online.
Menurut ayah tersebut, jadual sudah dibuat namun sering dilanggar. Dan sang ayah menyediakan reward serta punishment untuk anak tersebut jika melanggar atau melakukan jadual yang telah disepakati.

Jawaban :
Pertama, saya memahami kekhawatiran ayah dan bunda anak tersebut, karena memang jamak di masyarakat kita bahwa kelas 6 haruslah anak lebih giat belajar karena mengadapi ujian nasional, dan seringnya di sekolah lanjutan menggunakan nilai UN ini sebagai saringan masuk, meski UN pada SD tidak menentukan kelulusan lagi.
Wah, dari ujian nasional ini saja akan banyak hal yang bisa dibahas. Tapi, saya tidak akan membahas tentang pro kontra ujian nasional.
Mengenai hal ini, orang tua perlu diskusi dengan anak. Apa capaian yang diinginkan anak pada semua pelajaran yang akan diujikan. Diskusikan pula bagaimana cara dia dapat mencapai itu. Misal dia berkata perlu belajar, maka orang tua perlu menanyakan bagaimana cara belajarnya, berapa lama dan apa saja yang perlu dilakukan.
Orang tua tidak perlu menunjukkan kekhawatiran tentang apa yang akan dihadapi anak di Ujian Nasional. Kekhawatiran kita akan dirasakan oleh anak dan ini tidak baik bagi psikologis orang tua dan anak. Bagaimana jika anak dapat nilai jelek ? Nilai jelek pada ujian akhir bukanlah akhir dari segalanya bagi anak. Tak ada jaminan bahwa anak dengan nilai buruk tidak akan sukses kehidupannya nanti. Ini bukan berarti kita membiarkan dia melakukan apa saja tanpa tangung jawab, ini juga tidak benar. Yang paling penting adalah anak menjalankan apa yang sudah disepakitnya dan diikrarkan olehnya.

Kedua, tentang anak yang lebih senang browsing dari pada belajar. Sebenanrnya ini adalah potensi yang bisa dimanfaatkan oleh orang tua. Ini sebenarnya menunjukkan keinginan belajar anak. Tentu perlu redefinisi belajar pada ayah bundanya. Belajar itu tak melulu buku pelajaran, matematika, sains dan lain lain. Mencari informasi yang sesuai dengan minatnya adalah belajar juga. Jika ayah bunda dapat memfasilitasi dengan baik, bisa jadi ini adalah awal dari prestasi anak di kemudian hari. Ayah bunda juga perlu memahami bahwa ijazah dan persekolahan bukanlah segalanya bagi anak. Tak harus kuliah di PT yang baik agar anak sukses, bahkan tanpa kuliahpun anak dapat sukses bukan ? Namun bukan berarti anak dapat sepuasnya menggunakan gadget untuk mencari infomrasi sebanyak-banyaknya. Menurut American Pediatric Association, waktu anak bersentuhan dengan layar (TV, telepon pintar, gem, dll) maksimal 10 jam per pekan, dengan waktu maksimal per hari adalah 1 jam dan lebih lama sedikit di akhir pekan.
Nah, di sinilah peran ortu. Bagaimana orang tua dapat konsisten mengatur waktu layar ini. Konsisten dan konsekuensi sangatlah penting untuk menegakkan aturan ini.
Awalnya memang, orang tua perlu melakukan sosialisasi dan membahas aturan ini. Mengapa ada aturan ini, dampaknya jika berlebihan dan lain sebagainya.
Reward dan punishment bukanlah cara terbaik dalam menegakkan aturan. Kedua hal ini sudah lama ditinggalkan oleh banyak pengasuh.
Lalu bagaimana caranya menegakkan aturan tanpa adanya reward dan punishment ?
Ada yang disebut konsekuensi. Konsekuensi sangatlah berbeda dengan punishment dan reward. Konsekuensi itu haruslah berhubungan dengan apa yang dilanggar. Misal ketika anak browsing lebih dari yang dijadualkan hari itu, maka konsekuensinya anak akan kehilangan waktu layar esoknya sepanjang waktu yang sudah dilanggarnya satu hari sebelumnya. Dan ini perlu konsistensi dari orang tua agar anak tidak meremehkan kebijakan yang diambil oleh orang tua.
Mengguanakan layar bukanlah reward karena anak mau belajar atau melakukan kegiatan baik lainnya. Menggunakan layar adalah rangkaian dari kegiatan-kegiatan lainnya. Jadi, sebenarnya orang tua tidak boleh mengatakan, "Nak, karena kamu mau belajar, sekarang ayah berikan kamu bermain komputer." Ini adalah reward, dan tidak terlalu penting bagi perkembangan diri anak. Jika waktu bermain komputer adalah setelah waktu belajar, orang tua boleh mengatakan pada anak yang bermain komputer padahal belum belajar dengan ungkapan seperti ini , "Maaf, sekarang bukan waktunya kamu menggunaakn komputer, sekarang waktumu belajar. Jadi apa yang harus kamu lakukan ?" atau ayah bunda bisa mengatakan, "Silakhan gunakan komputer setalah kamu belajar." Bisa jadi mirip dan sama. Tapi dari kalimat yang berbeda ini, akan ditangkap maknanya berbeda. Yang pertama adalah reward, dan yang kedua adalah bagian dari kegiatan keseluruhan.

Terakhir dari saya, kita sebagai orang tua perlu meredefinisi apa itu belajar, konsistensi dan konsekuensi bagi anak. Kita sebagai orang tua juga perlu sering mendengarkan perasaan dan maksud anak, karena bisa jadi apa yang kita inginkan adalah beban berat bagi anak yang tak baik bagi perkembengannya ke depan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

97. Saatnya Kita Berbenah

Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua. Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian. Pertama, msalah pola asuh Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia. Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif. Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin. Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan. Masih ada guru-gu

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t