Langsung ke konten utama

67. Mengisi Parenting di Ibu-ibu Jauh Lebih Berisik, Mengapa ?

Apa beda mengisi parenting yang pesertanya ibu-ibu dibandingkan dengan peserta bapak-bapak ? Jika pesertanya ibu-ibu, jauh lebih berisik. Namun jika bapak-bapak pesertanya, suasana jauh lebih kondusif dan jauh lebih tenang.
Ups... tunggu dulu, jangan berprasangka buruk pada saya he he he. Jangan anggap saya menyudutkan ibu-ibu. Di sini malah saya ingin membela ibu-ibu.

Baik, kita lihat apa yang menyebabkan suasana kurang kondusif jika pesertanya ibu-ibu. Sebagian besar ibu-ibu membawa anak-anaknya ketika acara berlangsung. Mulai anak yang masih ASI hingga yang sudah sekolah kelas 1-2 sekolah dasar. Mulai dari tangisan anak, perkelahian, rebutan mainan, minta uang ke ibu, mondar-mandir di dalam ruangan, memainkan infokus, menumpahkan air dan hal-hal lain yang kadang membuat saya berhenti sebentar karena suara saya tidak terdengar atau konsentrasi peserta pindah pada tangisan atau teriakan anak-anak.
Beda jika pesertanya para ayah. Hampir sebagian besar tidak membawa anak, kalaupun membawa anak, biasanya anak yang usianya sudah cukup, misal kelas 5-6 SD. Jadi jauh lebih mudah diatur oleh ayahnya.
Saya, sebenarnya juga membawa anak ketika mengisi parenting. Sejak anak usia 18 bulan, saya bawa mereka ketika saya mengisi parenting. Tapi biasanya tidak memecah konstrasi karena sudah saya kondisikan sebelumnya. Mereka bisa duduk tenang atau bermain sendiri tanpa menimbulkan keributan. Tapi, di sini saya tidak ingin membahas bagaimana mengkondisikan anak-anak itu, saya lebih ingin membahas mengapa para ibu membawa anak dan para ayah tidak.
Saya juga tak paham mengapa seperti itu. Mungkin hanya karena masalah kebiasaan atau budaya saja. Misal ketika saya membawa ketiga anak saya jalan tanpa istri saya, banyak yang menanyakan "Mana ibunya," kadang saya jawab sekenanya saja. "Ibunya di RS." Sebagian menjawab, "Kasihannya." Lah padahal istri saya sedang jaga di RS bukan jadi pasien he he he. Sering anak saya hanya senyum-senyum mendengar jawaban saya dan melihat ekspresi penanya.
Balik pada budaya atau kebiasaan membawa anak ini, sebenarnya kebiasaan ini disebabkan pertama ayah yang gak mau ribet mengasuh anak balita selama beberapa jam saja. Parenting paling lama 3-4 jam saja. Seharusnya, ketika sang Ibu sedang ikut parenting, ayah rela mengasuh anak-anak di rumah tanpa ibu, biarkan ibu mencari ilmu dengan tanpa "gangguan" anak-anaknya, sama seperti ketika ayah sedang belajar fathering. Memang sulit, dan ayah perlu belajar untuk itu. Sering juga para ayah mengatakan, "Ngasuh anak itu kan urusan ibu-ibu." Padahal gak ada aturan tentang itu. Anak perlu bonding dari ayah dan bundanya.
Kedua. Ketidakpercayaan ibu pada ayah jika ayah mengasuh anak sendirian tanpa ada ibu. Takut masalah makan, kebersihan, bermain yang lebih berbahaya dll. Dan kenyataannya memang para ayah ada masalah di situ. Mereka cenderung lebih "bebas" dalam mengasuh, jika tidak mau dibilang abai. Ini saya dapat ketika saya menjawab pertanyaan seorang ibu yang bertanya bagaiamana membuat ayah mau terlibat pada pengasuhan. Setelah saya tanya ulang, salah satu yang membuat ayah tidak mau terlibat adalah kritik dari ibu ketika sang ayah selesai mengasuh. Bukan apresiasi, tapi kritikan. Masalah kotorlah, masalah makanlah atau bahkan masalah luka.

 Jadi, dua masalah ini yang membuat akhirnya ibu lebih memilih membawa anak-anaknya ketika belajar dan ayah mempunyai alasan untuk tidak membawa anak-anak ketika ibu sedang belajar. "Ibu bawa aja, anak-anak rewel ama saya" dan alasan-alasan lainnya.
Solusinya memang, ayah perlu terus mencoba membawa anak-anaknya meski jika nanti sang ibu memberi kritikan. Dan ibu perlu lebih percaya dan memberi apresiasi dan memberi kepercayaan 1000% pada ayah untuk mengasuh sang anak sendirian di saat-saat yang diperlukan.


Pesona Indah Bangil, 26 Mei 2017

Rizqi Tajuddin
#BabahAca

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

97. Saatnya Kita Berbenah

Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua. Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian. Pertama, msalah pola asuh Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia. Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif. Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin. Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan. Masih ada guru-gu

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t