Sekitar pukul 16:30 di L300 Pandaan-Bangil, ada telp dari Pak Nata salah seorang reporter RRI Palangka Raya.
"Sore pak Rizqi, saya Nata pak. Mau wawancara sebentar" begitu beliau membuka pembicaraan.
"Hari ini kan Hari Anak pak, menurut pak Rizqi sebaiknya dijadikan momentum apa pak ?" Lanjut beliau.
Menurut saya, hari anak ini bisa dijadikan momentum serius untuk mengembalikan pendidikan pada relnya. Bahwa pendidikan haruslah holistik. Bahwa pendidikan haruslah memenuhi kebutuhan anak akan raganya, jiwanya dan akalnya.
Raga itu bukan hanya semata makan & minum saja. Tapi kebutuhan raga itu juga memenuhi kebutuhan motor (gerak) dan 7 sensor (Indra) anak yang terdiri dari panca indera yang kita tahu plus Vestibular & propioseptik. Menurut Maslow dalam teori hierarki kebutuhan pokok, kebutuhan fisik (raga) adalah kebutuhan pertama sebelum kebutuhan akan rasa aman, cinta, harga diri dan aktualisasi diri. Artinya, jika kebutuhan pertama belum terpenuhi maka motivasi anak dalam melakukan kegiatan adalah untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi.
Selain raga, jiwa juga punya kebutuhan. Selain karena kematangan sensor & motoriknya yang juga akan mempengaruhi kematangan emosi/jiwa anak, jiwa juga membutuhkan rasa cinta, rasa sayang, pelukan, respon positif ketika anak gagal, kebutuhan untuk dihormati dan juga kebutuhan untuk dianggap unik dan tidak dibandingkan dengan anak lain.
Ada hal menarik, bahwa anak-anak yang kebutuhan jiwanya tidak dipenuhi dengan patut, cenderung untuk melakukan bully di sekolah.
Anak TK yang suka memukul temannya, bisa jadi bukan untuk menyakiti tapi untuk berkomunikasi dengan temannya, tapi karena tidak tahu caranya maka dia menggunakan cara yang negatif. Niatnya sudah benar, berteman, caranya yang salah.
Jadi, seharusnya pendidikan itu mengurus semuanya. Kalau menurut istilah kerennya, pendidikan itu holistik. Bukan melulu mengurus tantangan untuk akal saja, apalagi jika hanya terbatas pada masalah akademis dan lebih sempit lagi hanya mengurus soal-soal ujian semata. Mungkin kita bisa membantah bahwa kita tidak seperti itu, namun nyatanya pendidikan di Indonesia memang masih seperti ini. Lebih banyak mengurus akademis. Karena faktanya, evaluasi terbesar itu untuk nilai ujian. Bukan hanya negara yang melakukan, sekolah juga sama. Target-target itu sebatas pada kemampuan akademis siswa.
Di hari anak ini, kita bisa jadikan momentum mengembalikan pendidikan pada ruh yang dicita-citakan Ki Hajar, bahwa pendidikan itu mengolah raga, mengolah akal, mengolah jiwa & rasa.
Komentar
Posting Komentar