Di sebuah grup perpesanan, ada salah satu anggota
grup bertanya tentang bagaimana mengatasi perundungan (bully) di pesantren.
Beberapa anggota grup lain merespon tentang perlunya sekolah bebas perundungan.
*Pertama*, sebelum melangkah di
pembahasan yang lebih dalam, saya ingin menjawab pertanyaan, “mungkinkah
lingkungan kita (rumah, sekolah, pondok dll) menjadi lingkungan yang bebas
perundungan ?” Jawabannya : bisa ! Dengan syarat : lingkungan yang ada bisa
memenuhi kebutuhan dasar secara konsisten, lengkap dan secara utuh. Mungkinkah
ada lingkungan seperti ini ? Jawabannya : tidak ! Apalagi di negeri yang krisis
pemenuhan kebutuhan pokok/dasar. Artinya, perundungan pasti akan terjadi di
manapun selama kita masih hidup di dunia ini. Membuat lingkungan yang bebas
100% dari perundungan adalah sebuah utopis. Bukan berarti kemudian kita
menyerah dan tidak melakukan apa-apa. Tapi yang terpenting adalah bagaimana
kita bisa membuat lingkungan yang aman fisik dan psikologis agar dapat
meminimalisir perundungan yang terjadi, serta bagaimana kita dapat merespon
perundungan itu dengan tepat dan patut, tanpa membuat masalah menjadi lebih atau
bahkan dalam menyelesaikan in kita malah melakukan perundungan pada pelaku
maupun korban.
Nah, agar lebih menjawab pertanyaan awal,
maka saya akan mencoba menjawab.
1.
Pesantren dengan
anak usia mulai 12 tahun. Menurut beberapa pakar pengasuhan, anak harusnya
diasuh oleh orang tuanya dari usia 0-15 tahun. Artinya, sebelum 15 tahun
sebaiknya anak tidak diasuh orang lain. Nah, jika di pesantren ada anak-anak di
bawah usia 15 tahun, maka ada hak anak yang harusnya didaptkan dari ayah dan bundanya
yang tidak didapatkan. Maka, seharusnya di sekolah/pesantren perlu ada “pengganti”
figur ayah/bunda. Kebutuhan apa yang anak dapatkan dari ayah bundanya ? Yang paling
penting adalah rasa aman dan cinta yang mereka butuhkan. Rasa aman ini
gampangnya adalah, diberikan ketika seorang anak mengalami
kesulitan/kemalangan. Orang tua atau figur pengganti memberikan respon yang
tepat dengan memberi empati, bukan menyalahkan, menyudutkan apalagi melabel
anak. Pahamilah, bahwa semua anak pasti akan mengalami kesulitan, kemalangan
dan kesalahan. Semua ini wajar. Yang harusnya direspon dengan wajar dan patut,
bukan hukuman atau ancaman hukuman yang kemudian menghilangkan rasa aman
mereka. Anak-anak yang kehilangan rasa aman akan cenderung pasif, bisa juga jadi
agresif dan juga cemas. Kecemasan inilah yang kemudian membuat anak membuat
perilaku untuk mempertahankan dirinya. Bisa dengan diam, atau bahkan merundung.
Lalu apa sebaiknya
dilakukan ? Pesantren perlu sosok kyai dan nyai yang tinggal di asrama dekat
dengan mereka. Yang hadir ketika anak-anak mengalamai kesulitan/kemalangan
seperti sakit, atau lainnya. Menurut Thomas Armstrong dalam bukunya The Best
School, beliau mengatakan bahwa perbandingan ideal mentor dan murid di sekolah
adalah 1:10, maksimal 1:15 dengan jumlah siswa per sekolah 300 siswa. Bisa
lebih dari 700, tapi dengan manajemen yang berbeda agar beban masing-masing
manajemen di masing-masing sekolah tidak terlalu tinggi.
2.
Usia santri adalah
usia anak-anak dan remaja. Maka sebaiknya mereka juga diperlakukan sesuai
dengan usianya. Mereka bukanlah manusia dewasa dengan ukuran yang berbeda.
Mereka secara fisik, jiwa, hormonal berbeda dengan kita.
3.
Ketika menerima
siswa/santri, kita seharusnya sudah tahu kondisi santri. Menerima santri
berarti kita bertanggung jawab pada
proses berikutnya. Jika belum, maka ini adalah tanggung jawab kita. Ketika
santri melakukan kesalahan, maka tidak cukup hanya menyalahkan santri dan pola
asuhnya di rumah. Sekolah/pondok perlu tahu potensi dan kesulitan yang ada pada
siswa, baik itu karena bawaan maupun pola asuhnya, sehingga akan memudahkan
dalam proses pengasuhan nantinya. Tidak cukup hanya tes potensi akademik dan al
Quran saja.
B. Mushrif/Guru/ Yayasan
4.
Beri pengetahuan
bagi mushrif, guru dan seluruh stake holder sekolah tentang pengetahuan
bagaimana mengasuh anak, memahami kebutuhan pokoknya/dasarnya, mengetahui
tumbuh kembangnya. Sebuah kemustahilan ketika kita ingin sekolah/rumah/pondok
bebas perundungan, tapi pengetahuan orang dewasa di sana tak paham hal-hal
tersebut. Maka yang terjadi adalah, orang dewasa akan cenderung menggunakan
cara pintas untuk menyelesaikan masalah. Menghukum dengan hukuman yang tak
sesuai dengan perilaku siswa. Orang dewasa yang paham tentang pengasuhan,
kebutuhan pokok anak dan tumbuh kembang, akan cenderung lebih berempati ketika
melihat kejadian pada anak.
5.
Perlu ada tes
kejiwaan bagi mushrif sebelum diterima bekerja di sekolah/pondok. Jika sudah
diterima sekarang, tetap perlu dilakukan ini. Fungsinya adalah apakah kita bisa
mengetahui potensi dari mushrif. Jika ada yang menurut ahli (bisa menggunakan
jasa psikolog atau psikiater) bahwa mushrif ini kurang cocok berinteraksi
dengan santri, maka perlu menggeser posisi yang tidak langsung bersentuhan
dengan santri
6.
Perbandingan
pengasuh/mushrif yang terlibat yang ideal adalah 1:10 hingga 1:15. Lebih dari
itu, akan terjadi kelebihan beban bagi pengasuh yang membuat mereka cenderung
akan lebih cepat lelah secara pikiran dan fisiki, yang dampaknya nanti pada
proses mereka mengasuh santri di pondok.
C. KURIKULUM DAN KEGIATAN
Pondok perlu waspada agar anak tidak menjadi BLAST,
seperti yang diungkapkan Ibu Elly Risman. Siapa anak BLAST? Boring (anak yang kerap merasa bosan dengan
situasi dan lingkungan sekitarnya), Lonely (anak
yang seringkali sendirian di rumah, tidak punya banyak teman, dan dibatasi
pertemanannya), Anger/ Afraid (anak
yang memiliki temperamen pemarah atau penakut), Stress (anak
yang merasa tertekan dengan kondisi keluarga dan lingkungan sekitar) dan Tired (anak yang kelelahan akibat mengejar
standar akademis yang dipatok).
Ya, anak-anak BLAST adalah target empuk para
produsen pornografi, content berbau kekerasan, hingga narkoba.
Pondok harus benar-benar hadir di dekat anak.
Mendekapnya, mengajarinya kebaikan, menampung keluh kesahnya, memahami
keinginannya. Jangan hanya raga yang berada dekat mereka, tapi hati dan pikiran
tersangkut pada pekerjaan dan hal lain. Fungsi kita menggantikan peran orang
tua di sini.
Mengapa anak-anak menjadi BLAST :
1.
Rutinitas yang
menjemukan akan membuat anak lebih cepat bosan. Perlu banyak variasi kegiatan
di setiap harinya. Ada pilihan-pilihan yang bisa diambil anak di kegiatan
hariannya. Adanya waktu bermain bebas,
olahraga, pilihan kegiatan selain akademis. Yang dibuat lelah bukan otaknya
dengan akademis (hafalan dan pelajaran), tapi yang jug apenting adalah membuat energy
fisiknya juga dimanfaatkan setiap hari dengan optimal. Secara hormonal,
anak-anak ini sedang tumbuh hormon pertumbuhannya (hormon yang mengatur masalah
seksual juga), dan ini perlu disalurkan di kegiatan fisik. Memberi kesempatan
hanya di akhir pekan, tidaklah cukup. Pilihan kegiatan, kegiatan fisik juga perlu
dilakukan di hari-hari lain bahkan tiap hari. Otaknya digunakan tiap hari, tapi
fisiknya banyak yang belum difasilitasi tiap hari.
2.
Ancaman hukuman
bukanlah solusi yang tepat. Karena ini akan membuat anak merasa tidak aman.
Anak yang melakukan kesalahnpun perlu diberi rasa aman, bukan dengan membiarkan
pastinya, tapi dengan mendampinginya dan mengatakan pada anak bahwa kita berada
di sisinya, membatu mereka menyelesaikan masalah. Menghukum (atau hanya
menghukum) hanya akan membuat mereka takut melakukan kesalahan, bukan karena
kesadarannya bahwa kesalahan itu tak perlu dilakukan. Setiap anak yang
melakukan kesalahan, pasti ada “reason” kebutuhan pokok/dasar apa yang sedang
perlu dipenuhinya.
3.
Sekolah/pondok perlu
focus pada kebaikan yang dilakukan anak. Sekecil apapun kebaikan yang
dilakukan, perlu mendapatkan apresiasi yang tepat. Apresiasi bukan dengan memberi
sertifikat, piala atau lainnya. Tapi, pujian yang deskriptif, mengelus
pundak/punggung anak, jauh lebih cukup bagi mereka. Ini bukan sporadis, tapi
memang sudah menjadi system di sekolah. Jadi, bukan dilakukan oleh sebagian
guru saja, tapi sekolah perlu membuat semua guru/mushrif melakukan hal ini.
Apakah dengan hal ini perundungan akan hilang sama
sekali ? Tentu tidak. Sekali lagi, kita bukan di surge, tapi di dunia yang
masih banyak yang belum ideal. Lalu, bagaimana ketika kita melihat anak
melakukan perundungan ?
1.
Kita tetap perlu
tegas bahwa perundungan sekecil apapun itu tak dibenarkan. Maka : - kita juga
harusnya juga tak melalukan hal agresif pada mereka dengan membentak, mengancam
menghukum dll. Karena ini sebenarnya juga perundungan. – konsekuensi pada anak yang melakukan
perundungan juga tetap dilakukan, konsekuensi bukanlah hukuman. Ada perbedaan
mendasar antara konsekuensi dan hukuman. Hukuman itu tidak bergubungan dengan
kesalahan anak, tapi konsekuensi sangat berhubungan dengan kesalahan yang
dibuat.
2.
Hindari sikap
agresif dalam merespon kesalahan anak. Ambil nafas dan selalu bersikap tidak panik
dengan informasi tentang kesalahan anak. Berpikirlah bahwa ada kebutuhan anak
yang belum selesai, sehingga kita akan lebih berempati pada kesalahan yang
dibuat anak
3.
Ajari anak untuk
bersikap hormat pada orang lain dengan tidak merendahkan ketika kita
berinteraksi pada mereka setelah mereka melakukan kesalahan. Ajarkan kebaikan
bagaimana berinteraksi satu sama lain. Kadang alas an sedrhana mereka melakukan
perundungan, karena hanya ingin mencari perhatian, tapi mereka tidak tahu cara
yang tepat.
4.
Pelajari kehidupan sosial
anak sebelumnya. Bagaimana orang tuanya mengasuh, bagaimana lingkungannya
berasal dll.
5.
Pahami emosi-emosi
yang muncul pada anak. Misal ketika anak marah, jangan berkata “Jangan marah !”,
tapi bisa diganti dengan “Bapak tahu kamu marah karena ini, bapak memahami ini.
“
Marah, kecewa, terluka dll adalah emosi yang harus
dipahami. Tapi perilaku buruknya tidak. Kita bisa berkata lagi, “Adakah cara
lain untuk melampiaskan marahmu selain memukul temanmu ?”
6.
Bantu anak untuk
menyelesaikan masalahnya, bukan memaksa solusi dari kita. Lama sih, tapi ini
akan membuat anak lebih dihargai sebagai manusia, dan membuat mereka lebih
menjadi manusia dewasa.
Mungkin ini dulu dari saya. Semoga kita bisa
menjadikan sekolah, pondok dan rumah-rumah kita sebagai rumah yang aman bagi
anak-anak kita, bukan aman fisiknya saja, tapi juga secara psikologi.
Palangka Raya, 22 Agustus 2019
Rizqi Tajuddin
#BabahAca
wa.me/6282390813355
Terimakasih atas ilmunya. Baarokalloh..
BalasHapus