Langsung ke konten utama

86. PERUNDUNGAN, MUNGKINKAH HILANG DI SEKOLAH/PONDOK ATAU RUMAH KITA ?


Di sebuah grup perpesanan, ada salah satu anggota grup bertanya tentang bagaimana mengatasi perundungan (bully) di pesantren. Beberapa anggota grup lain merespon tentang perlunya sekolah bebas perundungan.
*Pertama*, sebelum melangkah di pembahasan yang lebih dalam, saya ingin menjawab pertanyaan, “mungkinkah lingkungan kita (rumah, sekolah, pondok dll) menjadi lingkungan yang bebas perundungan ?” Jawabannya : bisa ! Dengan syarat : lingkungan yang ada bisa memenuhi kebutuhan dasar secara konsisten, lengkap dan secara utuh. Mungkinkah ada lingkungan seperti ini ? Jawabannya : tidak ! Apalagi di negeri yang krisis pemenuhan kebutuhan pokok/dasar. Artinya, perundungan pasti akan terjadi di manapun selama kita masih hidup di dunia ini. Membuat lingkungan yang bebas 100% dari perundungan adalah sebuah utopis. Bukan berarti kemudian kita menyerah dan tidak melakukan apa-apa. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita bisa membuat lingkungan yang aman fisik dan psikologis agar dapat meminimalisir perundungan yang terjadi,  serta bagaimana kita dapat merespon perundungan itu dengan tepat dan patut, tanpa membuat masalah menjadi lebih atau bahkan dalam menyelesaikan in kita malah melakukan perundungan pada pelaku maupun korban.
Nah, agar lebih menjawab pertanyaan awal, maka saya akan mencoba menjawab.

 A. TENTANG ANAK-ANAK
1.       Pesantren dengan anak usia mulai 12 tahun. Menurut beberapa pakar pengasuhan, anak harusnya diasuh oleh orang tuanya dari usia 0-15 tahun. Artinya, sebelum 15 tahun sebaiknya anak tidak diasuh orang lain. Nah, jika di pesantren ada anak-anak di bawah usia 15 tahun, maka ada hak anak yang harusnya didaptkan dari ayah dan bundanya yang tidak didapatkan. Maka, seharusnya di sekolah/pesantren perlu ada “pengganti” figur ayah/bunda. Kebutuhan apa yang  anak dapatkan dari ayah bundanya ? Yang paling penting adalah rasa aman dan cinta yang mereka butuhkan. Rasa aman ini gampangnya adalah, diberikan ketika seorang anak mengalami kesulitan/kemalangan. Orang tua atau figur pengganti memberikan respon yang tepat dengan memberi empati, bukan menyalahkan, menyudutkan apalagi melabel anak. Pahamilah, bahwa semua anak pasti akan mengalami kesulitan, kemalangan dan kesalahan. Semua ini wajar. Yang harusnya direspon dengan wajar dan patut, bukan hukuman atau ancaman hukuman yang kemudian menghilangkan rasa aman mereka. Anak-anak yang kehilangan rasa aman akan cenderung pasif, bisa juga jadi agresif dan juga cemas. Kecemasan inilah yang kemudian membuat anak membuat perilaku untuk mempertahankan dirinya. Bisa dengan diam, atau bahkan merundung.
Lalu apa sebaiknya dilakukan ? Pesantren perlu sosok kyai dan nyai yang tinggal di asrama dekat dengan mereka. Yang hadir ketika anak-anak mengalamai kesulitan/kemalangan seperti sakit, atau lainnya. Menurut Thomas Armstrong dalam bukunya The Best School, beliau mengatakan bahwa perbandingan ideal mentor dan murid di sekolah adalah 1:10, maksimal 1:15 dengan jumlah siswa per sekolah 300 siswa. Bisa lebih dari 700, tapi dengan manajemen yang berbeda agar beban masing-masing manajemen di masing-masing sekolah tidak terlalu tinggi.

2.       Usia santri adalah usia anak-anak dan remaja. Maka sebaiknya mereka juga diperlakukan sesuai dengan usianya. Mereka bukanlah manusia dewasa dengan ukuran yang berbeda. Mereka secara fisik, jiwa, hormonal berbeda dengan kita.
3.       Ketika menerima siswa/santri, kita seharusnya sudah tahu kondisi santri. Menerima santri berarti kita bertanggung  jawab pada proses berikutnya. Jika belum, maka ini adalah tanggung jawab kita. Ketika santri melakukan kesalahan, maka tidak cukup hanya menyalahkan santri dan pola asuhnya di rumah. Sekolah/pondok perlu tahu potensi dan kesulitan yang ada pada siswa, baik itu karena bawaan maupun pola asuhnya, sehingga akan memudahkan dalam proses pengasuhan nantinya. Tidak cukup hanya tes potensi akademik dan al Quran saja.

B. Mushrif/Guru/ Yayasan
4.       Beri pengetahuan bagi mushrif, guru dan seluruh stake holder sekolah tentang pengetahuan bagaimana mengasuh anak, memahami kebutuhan pokoknya/dasarnya, mengetahui tumbuh kembangnya. Sebuah kemustahilan ketika kita ingin sekolah/rumah/pondok bebas perundungan, tapi pengetahuan orang dewasa di sana tak paham hal-hal tersebut. Maka yang terjadi adalah, orang dewasa akan cenderung menggunakan cara pintas untuk menyelesaikan masalah. Menghukum dengan hukuman yang tak sesuai dengan perilaku siswa. Orang dewasa yang paham tentang pengasuhan, kebutuhan pokok anak dan tumbuh kembang, akan cenderung lebih berempati ketika melihat kejadian pada anak.
5.       Perlu ada tes kejiwaan bagi mushrif sebelum diterima bekerja di sekolah/pondok. Jika sudah diterima sekarang, tetap perlu dilakukan ini. Fungsinya adalah apakah kita bisa mengetahui potensi dari mushrif. Jika ada yang menurut ahli (bisa menggunakan jasa psikolog atau psikiater) bahwa mushrif ini kurang cocok berinteraksi dengan santri, maka perlu menggeser posisi yang tidak langsung bersentuhan dengan santri
6.       Perbandingan pengasuh/mushrif yang terlibat yang ideal adalah 1:10 hingga 1:15. Lebih dari itu, akan terjadi kelebihan beban bagi pengasuh yang membuat mereka cenderung akan lebih cepat lelah secara pikiran dan fisiki, yang dampaknya nanti pada proses mereka mengasuh santri di pondok.

C. KURIKULUM DAN KEGIATAN
Pondok perlu waspada agar anak tidak menjadi BLAST, seperti yang diungkapkan Ibu Elly Risman. Siapa anak BLAST? Boring (anak yang kerap merasa bosan dengan situasi dan lingkungan sekitarnya), Lonely (anak yang seringkali sendirian di rumah, tidak punya banyak teman, dan dibatasi pertemanannya), Anger/ Afraid (anak yang memiliki temperamen pemarah atau penakut), Stress (anak yang merasa tertekan dengan kondisi keluarga dan lingkungan sekitar) dan Tired (anak yang kelelahan akibat mengejar standar akademis yang dipatok).
Ya, anak-anak BLAST adalah target empuk para produsen pornografi, content berbau kekerasan, hingga narkoba.
Pondok harus benar-benar hadir di dekat anak. Mendekapnya, mengajarinya kebaikan, menampung keluh kesahnya, memahami keinginannya. Jangan hanya raga yang berada dekat mereka, tapi hati dan pikiran tersangkut pada pekerjaan dan hal lain. Fungsi kita menggantikan peran orang tua di sini.
Mengapa anak-anak menjadi BLAST :
1.       Rutinitas yang menjemukan akan membuat anak lebih cepat bosan. Perlu banyak variasi kegiatan di setiap harinya. Ada pilihan-pilihan yang bisa diambil anak di kegiatan hariannya.  Adanya waktu bermain bebas, olahraga, pilihan kegiatan selain akademis. Yang dibuat lelah bukan otaknya dengan akademis (hafalan dan pelajaran), tapi yang jug apenting adalah membuat energy fisiknya juga dimanfaatkan setiap hari dengan optimal. Secara hormonal, anak-anak ini sedang tumbuh hormon pertumbuhannya (hormon yang mengatur masalah seksual juga), dan ini perlu disalurkan di kegiatan fisik. Memberi kesempatan hanya di akhir pekan, tidaklah cukup. Pilihan kegiatan, kegiatan fisik juga perlu dilakukan di hari-hari lain bahkan tiap hari. Otaknya digunakan tiap hari, tapi fisiknya banyak yang belum difasilitasi tiap hari.
2.       Ancaman hukuman bukanlah solusi yang tepat. Karena ini akan membuat anak merasa tidak aman. Anak yang melakukan kesalahnpun perlu diberi rasa aman, bukan dengan membiarkan pastinya, tapi dengan mendampinginya dan mengatakan pada anak bahwa kita berada di sisinya, membatu mereka menyelesaikan masalah. Menghukum (atau hanya menghukum) hanya akan membuat mereka takut melakukan kesalahan, bukan karena kesadarannya bahwa kesalahan itu tak perlu dilakukan. Setiap anak yang melakukan kesalahan, pasti ada “reason” kebutuhan pokok/dasar apa yang sedang perlu dipenuhinya.
3.       Sekolah/pondok perlu focus pada kebaikan yang dilakukan anak. Sekecil apapun kebaikan yang dilakukan, perlu mendapatkan apresiasi yang tepat. Apresiasi bukan dengan memberi sertifikat, piala atau lainnya. Tapi, pujian yang deskriptif, mengelus pundak/punggung anak, jauh lebih cukup bagi mereka. Ini bukan sporadis, tapi memang sudah menjadi system di sekolah. Jadi, bukan dilakukan oleh sebagian guru saja, tapi sekolah perlu membuat semua guru/mushrif melakukan hal ini.

Apakah dengan hal ini perundungan akan hilang sama sekali ? Tentu tidak. Sekali lagi, kita bukan di surge, tapi di dunia yang masih banyak yang belum ideal. Lalu, bagaimana ketika kita melihat anak melakukan perundungan ?
1.       Kita tetap perlu tegas bahwa perundungan sekecil apapun itu tak dibenarkan. Maka : - kita juga harusnya juga tak melalukan hal agresif pada mereka dengan membentak, mengancam menghukum dll. Karena ini sebenarnya juga perundungan.  – konsekuensi pada anak yang melakukan perundungan juga tetap dilakukan, konsekuensi bukanlah hukuman. Ada perbedaan mendasar antara konsekuensi dan hukuman. Hukuman itu tidak bergubungan dengan kesalahan anak, tapi konsekuensi sangat berhubungan dengan kesalahan yang dibuat.
2.       Hindari sikap agresif dalam merespon kesalahan anak. Ambil nafas dan selalu bersikap tidak panik dengan informasi tentang kesalahan anak. Berpikirlah bahwa ada kebutuhan anak yang belum selesai, sehingga kita akan lebih berempati pada kesalahan yang dibuat anak
3.       Ajari anak untuk bersikap hormat pada orang lain dengan tidak merendahkan ketika kita berinteraksi pada mereka setelah mereka melakukan kesalahan. Ajarkan kebaikan bagaimana berinteraksi satu sama lain. Kadang alas an sedrhana mereka melakukan perundungan, karena hanya ingin mencari perhatian, tapi mereka tidak tahu cara yang tepat.
4.       Pelajari kehidupan sosial anak sebelumnya. Bagaimana orang tuanya mengasuh, bagaimana lingkungannya berasal dll.
5.       Pahami emosi-emosi yang muncul pada anak. Misal ketika anak marah, jangan berkata “Jangan marah !”, tapi bisa diganti dengan “Bapak tahu kamu marah karena ini, bapak memahami ini. “
Marah, kecewa, terluka dll adalah emosi yang harus dipahami. Tapi perilaku buruknya tidak. Kita bisa berkata lagi, “Adakah cara lain untuk melampiaskan marahmu selain memukul temanmu ?”

6.       Bantu anak untuk menyelesaikan masalahnya, bukan memaksa solusi dari kita. Lama sih, tapi ini akan membuat anak lebih dihargai sebagai manusia, dan membuat mereka lebih menjadi manusia dewasa.

Mungkin ini dulu dari saya. Semoga kita bisa menjadikan sekolah, pondok dan rumah-rumah kita sebagai rumah yang aman bagi anak-anak kita, bukan aman fisiknya saja, tapi juga secara psikologi.


Palangka Raya, 22 Agustus 2019

Rizqi Tajuddin
#BabahAca
wa.me/6282390813355



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

97. Saatnya Kita Berbenah

Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua. Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian. Pertama, msalah pola asuh Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia. Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif. Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin. Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan. Masih ada guru-gu

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t