Sekolah Kecil itu
Ada hal yang sangat menarik sepanjang perjalanan di Sumatera Barat dari tanggal 6-16 September lalu. Sebuah sekolah kecil di kota wisata yang indah Bukittinggi.
Sekolah ini rapi, baik di dalam kelas, halaman maupun kamar mandi. Semuanya ditata dengan detail dan manis. Terkesan mewah, tapi sebnarnya tidak mahal.
Tapi, kali ini, saya tidak ingin membahas tentang fisiknya. Tapi tentang konsistensi pengelolanya.
Selepas mengisi parenting, saya berbincang-bincang dengan salah seorang peserta. "Anaknya kelas berapa di sini pak ?" Tanya saya.
"Anak saya gak di sini pak, gak boleh pak Anto. Kata pak Anto muridnya sudah 12, gak bisa nambah lagi" jawabnya sambil tertawa renyah dan menepuk pundak pak Anto.
"Iya pak Rizqi, pas beliau daftarin anak, kuota kelas sudah terpenuhi." Jawab pak Anto, pengelola sekolah ini.
Iseng, saya bertanya ke pak Anto, mengapa tidak diterima saja anaknya, karena ternyata ayah anak ini cukup rajin datang ke acara parenting SA Bukittinggi meski anaknya tidak sekolah di situ.
Jawab pak Anto, bahwa itu komitmen dia dengan para fasilitator (sebutun untuk guru di sekolah ini). Bahwa tidak akan menambah jumlah murid hingga dapat fasitilitas tanah yang lebih luas, fasilitas kelas yang mencukupi, juga karena ingin guru benar-benar mumpuni dalam mengelola kelas dan siswa di sekolah. Tidak aji mumpung ada pendaftar yang banyak maka diterima semua. Padahal pengelola belum mampubsecara optimal untuk itu.
Sebagai informasi, luas sekolah ini 2000 m2 dengan jumlah murid 40 dan guru sekitar 12 orang (guru kelas dan pendamping abk, admjn dan kepsek). Jadi total 50an orang di lahan 2000 m2 ini. Artinya, ada ruang 40 m2 untuk masing2 orang baik indoodr maupun outdoor di sekolah ini. Perbandingan yang ideal sekali.
Banyak dari pengelola sekolah tergoda untuk menambah murid ketika ada antusias dari warga. Tapi saya melihat tidak pada pak Anto. Beliau tidak tergoda untuk segera menambah murid selama sdm dan sumber daya lainnya belum terkelola dengan mumpuni. Idealis sekali memang. Tapi bukankah harusnya seperti itu sekolah. Karena yang dibangun adalah manusia, anaknya. Maka harusnya, yang disiapkan adalah sdm pengelola dan apakah fasilitas fisiknya terpenuhi atau tidak. Fisik itu bukan berarti bangunan. Tapi apakh cukup tersedia luas ruang kosong di sekolah, juga apakah tersedia pohon untuk siswa memanjat, apakah tersedia fasilitas untuk menstimulasi motoriknya atau tidak.
Pengelola sekolah yang tidak tergoda dengan banyaknya antusias masyarakat ini tak banyak. Dan saya melihat ini di SA Bukittinggi (SAKTI). Memegang idealisme di tengah himpitan pasar itu bukanlah hal yang mudah. Godaan selalu akam ada. Orang tua adalah pasar sesungguhnya dalam sekolah, bukan anak. Banyak sekolah yang tergoda dengan permintaan keinginan orang tua, bukan untuk pemenuhan kebutuhan anak.
Belajar itu tak harus dari sekolah besar. Tapi bisa dari sekolah kecil dan mungil seperti SAKTi yang usianya juga baru 3 tahun.
Jika SAKTI mampu memegang idealisme, bagaimana dengan sekolah Anda ?
Padang, 16 September 2019
Rizqi Tajuddin
#BabahAca
Ada hal yang sangat menarik sepanjang perjalanan di Sumatera Barat dari tanggal 6-16 September lalu. Sebuah sekolah kecil di kota wisata yang indah Bukittinggi.
Sekolah ini rapi, baik di dalam kelas, halaman maupun kamar mandi. Semuanya ditata dengan detail dan manis. Terkesan mewah, tapi sebnarnya tidak mahal.
Tapi, kali ini, saya tidak ingin membahas tentang fisiknya. Tapi tentang konsistensi pengelolanya.
Selepas mengisi parenting, saya berbincang-bincang dengan salah seorang peserta. "Anaknya kelas berapa di sini pak ?" Tanya saya.
"Anak saya gak di sini pak, gak boleh pak Anto. Kata pak Anto muridnya sudah 12, gak bisa nambah lagi" jawabnya sambil tertawa renyah dan menepuk pundak pak Anto.
"Iya pak Rizqi, pas beliau daftarin anak, kuota kelas sudah terpenuhi." Jawab pak Anto, pengelola sekolah ini.
Iseng, saya bertanya ke pak Anto, mengapa tidak diterima saja anaknya, karena ternyata ayah anak ini cukup rajin datang ke acara parenting SA Bukittinggi meski anaknya tidak sekolah di situ.
Jawab pak Anto, bahwa itu komitmen dia dengan para fasilitator (sebutun untuk guru di sekolah ini). Bahwa tidak akan menambah jumlah murid hingga dapat fasitilitas tanah yang lebih luas, fasilitas kelas yang mencukupi, juga karena ingin guru benar-benar mumpuni dalam mengelola kelas dan siswa di sekolah. Tidak aji mumpung ada pendaftar yang banyak maka diterima semua. Padahal pengelola belum mampubsecara optimal untuk itu.
Sebagai informasi, luas sekolah ini 2000 m2 dengan jumlah murid 40 dan guru sekitar 12 orang (guru kelas dan pendamping abk, admjn dan kepsek). Jadi total 50an orang di lahan 2000 m2 ini. Artinya, ada ruang 40 m2 untuk masing2 orang baik indoodr maupun outdoor di sekolah ini. Perbandingan yang ideal sekali.
Banyak dari pengelola sekolah tergoda untuk menambah murid ketika ada antusias dari warga. Tapi saya melihat tidak pada pak Anto. Beliau tidak tergoda untuk segera menambah murid selama sdm dan sumber daya lainnya belum terkelola dengan mumpuni. Idealis sekali memang. Tapi bukankah harusnya seperti itu sekolah. Karena yang dibangun adalah manusia, anaknya. Maka harusnya, yang disiapkan adalah sdm pengelola dan apakah fasilitas fisiknya terpenuhi atau tidak. Fisik itu bukan berarti bangunan. Tapi apakh cukup tersedia luas ruang kosong di sekolah, juga apakah tersedia pohon untuk siswa memanjat, apakah tersedia fasilitas untuk menstimulasi motoriknya atau tidak.
Pengelola sekolah yang tidak tergoda dengan banyaknya antusias masyarakat ini tak banyak. Dan saya melihat ini di SA Bukittinggi (SAKTI). Memegang idealisme di tengah himpitan pasar itu bukanlah hal yang mudah. Godaan selalu akam ada. Orang tua adalah pasar sesungguhnya dalam sekolah, bukan anak. Banyak sekolah yang tergoda dengan permintaan keinginan orang tua, bukan untuk pemenuhan kebutuhan anak.
Belajar itu tak harus dari sekolah besar. Tapi bisa dari sekolah kecil dan mungil seperti SAKTi yang usianya juga baru 3 tahun.
Jika SAKTI mampu memegang idealisme, bagaimana dengan sekolah Anda ?
Padang, 16 September 2019
Rizqi Tajuddin
#BabahAca
Komentar
Posting Komentar