Sekolah Tanpa Ambisi, ....
Beberapa hari lalu, seorang wali murid Sekolah Sahabat Alam posting di fb tentang respon beliau pada pementasan drama siswa Sahabat Alam dalam rangka menggalang dana untuk Palestina.
Saya copas di bawah ini statusnya.
=============
Pelajaran dasarnya Bahasa Indonesia
disisipi pelajaran sejarah, kesenian, PPKn, sosial dan budaya, nasionalisme de el el (pelajaran zaman saya)
yang tidak diketahui siswa tapi menjadi target para gurunya :
Siswanya tahu sejarah, mampu berbahasa dengan baik (dialog) dan puisi, mampu mengenal karakter para tokoh, membangun kepercayaan diri, membangun kebersamaan dan kekompakan, tahu cara menulis karya; de el el
Hasil akhir :
kepedulian dan nilai-nilai kemanusiaan.
acara Sahabat Alam Untuk Palestina seluruh hasilnya didonasikan untuk kemanusiaan;
>> sekolah tanpa seragam, sekolah tanpa PR, sekolah tanpa ambisi "dianggap baik"
ditangan guru-guru kreatif, pelajaran itu menjadi mudah
#CatatanSaya
============
Ada kalimat menarik dalam postingan ini. Dan kemudian saya meresponnya. Yakni kalimat 'SEKOLAH TANPA AMBISI DIANGGAP BAIK'.
Respon saya atas kalimat ini adalah 'WOW KEREN, TANPA AMBISI DIANGGAP BAIK"
Kemudian, beliau merespon balik :
Karena tak ada piala-piala yang dipajang di sekolah.
Kalau saya melihat postingan Bapak Hidayat ini, beliau paham sekali dengan konsep sekolah yang dijalankan di sekolah ini. Termasuk kata-kata itu adalah bukti bahwa responnya sangat memahami tentang visi dan misi sekolah.
Memang, bagi kami, piala-piala itu adapah asesoris, bukan esesnsi dalam pendidikan dan pengasuhan. Lomba dan kompetisi-kompetisi bukanlah tujuan sekolah ini didirikan. Bahkan kami meyakini bahwa harusnya dalan pendidikan yang menjadi fokus utama adalah sinergi dan kolaborasi, bukan kompetis. Bukan program untuk saling mengalahkan. Tapi program bagaimana membuat proyek kebaikan bersama. Bahkan dengan sekolah lain. Karena kami juga menganggap bahwa sekokah lain adalah mitra untuk menyelesaikan masalah bangsa ini, bukan rival. Jadi, untuk melihat sekolah baik atau belum, tidak perlu dilihat dari berapa banyak medali dan piala yang dikumpulkan. Bukan berapa banyak kemenangan yang diraih. Ini mungkin maksud bapak Hidayat di dalam postingannya. Sekolah yang gak sibuk dengan piala-piala.
Bu Ery Soekrosno, ketika masih membina sekolah yang saya pimpin di Aceh, dulu pernah mengatakan bahwa pendidikan itu proses, jika kita menjual piala-piala itu sebagai promo sekolah, maka sebenarnya kita telah menjual hasil akhir.
Bu Ery ketika tahun 2005-2008, banyak mengajarkan tentang sinergi dan kompetisi. Bahwa memang untuk pendidikan itu utamanya ya sinergi. Ada beberapa literatur sebenarnya yang menunjukkan bahwa kompetisi itu kurang baik dalam pendidikan, apalagi untuk anak di bawah usia 15 tahun
Karena juga faktanya di sekolah, kemenangan dan lomba-lomba itu lebih banyak obesi orang dewasa sebenarnya bak orang tua maupun guru, karena terkait citra dan nama baik sekolah.
Bangil, 9 Desember 2019
Rizqi Tajuddin
#BabahAca
Beberapa hari lalu, seorang wali murid Sekolah Sahabat Alam posting di fb tentang respon beliau pada pementasan drama siswa Sahabat Alam dalam rangka menggalang dana untuk Palestina.
Saya copas di bawah ini statusnya.
=============
Pelajaran dasarnya Bahasa Indonesia
disisipi pelajaran sejarah, kesenian, PPKn, sosial dan budaya, nasionalisme de el el (pelajaran zaman saya)
yang tidak diketahui siswa tapi menjadi target para gurunya :
Siswanya tahu sejarah, mampu berbahasa dengan baik (dialog) dan puisi, mampu mengenal karakter para tokoh, membangun kepercayaan diri, membangun kebersamaan dan kekompakan, tahu cara menulis karya; de el el
Hasil akhir :
kepedulian dan nilai-nilai kemanusiaan.
acara Sahabat Alam Untuk Palestina seluruh hasilnya didonasikan untuk kemanusiaan;
>> sekolah tanpa seragam, sekolah tanpa PR, sekolah tanpa ambisi "dianggap baik"
ditangan guru-guru kreatif, pelajaran itu menjadi mudah
#CatatanSaya
============
Ada kalimat menarik dalam postingan ini. Dan kemudian saya meresponnya. Yakni kalimat 'SEKOLAH TANPA AMBISI DIANGGAP BAIK'.
Respon saya atas kalimat ini adalah 'WOW KEREN, TANPA AMBISI DIANGGAP BAIK"
Kemudian, beliau merespon balik :
Karena tak ada piala-piala yang dipajang di sekolah.
Kalau saya melihat postingan Bapak Hidayat ini, beliau paham sekali dengan konsep sekolah yang dijalankan di sekolah ini. Termasuk kata-kata itu adalah bukti bahwa responnya sangat memahami tentang visi dan misi sekolah.
Memang, bagi kami, piala-piala itu adapah asesoris, bukan esesnsi dalam pendidikan dan pengasuhan. Lomba dan kompetisi-kompetisi bukanlah tujuan sekolah ini didirikan. Bahkan kami meyakini bahwa harusnya dalan pendidikan yang menjadi fokus utama adalah sinergi dan kolaborasi, bukan kompetis. Bukan program untuk saling mengalahkan. Tapi program bagaimana membuat proyek kebaikan bersama. Bahkan dengan sekolah lain. Karena kami juga menganggap bahwa sekokah lain adalah mitra untuk menyelesaikan masalah bangsa ini, bukan rival. Jadi, untuk melihat sekolah baik atau belum, tidak perlu dilihat dari berapa banyak medali dan piala yang dikumpulkan. Bukan berapa banyak kemenangan yang diraih. Ini mungkin maksud bapak Hidayat di dalam postingannya. Sekolah yang gak sibuk dengan piala-piala.
Bu Ery Soekrosno, ketika masih membina sekolah yang saya pimpin di Aceh, dulu pernah mengatakan bahwa pendidikan itu proses, jika kita menjual piala-piala itu sebagai promo sekolah, maka sebenarnya kita telah menjual hasil akhir.
Bu Ery ketika tahun 2005-2008, banyak mengajarkan tentang sinergi dan kompetisi. Bahwa memang untuk pendidikan itu utamanya ya sinergi. Ada beberapa literatur sebenarnya yang menunjukkan bahwa kompetisi itu kurang baik dalam pendidikan, apalagi untuk anak di bawah usia 15 tahun
Karena juga faktanya di sekolah, kemenangan dan lomba-lomba itu lebih banyak obesi orang dewasa sebenarnya bak orang tua maupun guru, karena terkait citra dan nama baik sekolah.
Bangil, 9 Desember 2019
Rizqi Tajuddin
#BabahAca
Setuju
BalasHapusLuar biasa pak... terima kasih
BalasHapus