Kakinya ringan saja menapaki pagi itu. Sebagai seorang residen, sebutan bagi peserta pendidikan dokter spesialis, long weekend tanpa tugas jaga adalah surga yang sangat dirindukan. Membayangkan pertemuan dan cengkerama hangat dengan keluarga, mengukir sungging senyumnya. Bahagianya membuncah tatkala membayangkan si sulung tampan menyambut kedatangannya, si tengah yang penuh perhatian dan ceria, serta tangan mungil bungsu berlesung pipit yang memeluk erat tubuhnya. Entah sudah berapa purnama berlalu dirinya tidak bisa memeluk tiga mutiara hatinya ini.
Ah, pandemi dengan segala ketidakpastiannya ini semoga segera enyah, batinnya. Sengaja dirinya singgah di sebuah rumah sakit yang bersebelahan dengan asrama haji di kotanya. Mengambil hasil pemeriksaan laboratorium sebagai syarat menunggang si burung besi, sebelum menuju bandara. Petugas yang menelponnya beberapa hari lalu mengatakan hasil pemeriksaan bisa diambil dan hasilnya negatif. Perlahan dibukanya amplop berisi selembar kertas itu. POSITIF. Dibacanya ulang. Hasil pemeriksaan RT-PCR : POSITIF.
Sesaat dirinya seperti limbung, mencari sandaran, kemudian jatuh terduduk di kursi lipat yang sedari tadi bersiap siaga disampingnya seolah tahu yang akan terjadi. Bayangan keluarganya mendadak lenyap tergantikan oleh bayangan sejawatnya yang kemarin berinteraksi dengannya, berbincang jadwal ilmiah, berdiskusi tentang progres pasien-pasiennya. Berkelindan pula teman-teman kostnya yang kemarin upacara bendera secara virtual dan memintanya merekam semuanya. Tetiba terngiang ucapan asisten rumah tangga di kost yang mengatakan sebaiknya para dokter penghuni kost yang berinteraksi dengan pasien covid, mencari hunian lain saja. Cemas. Rasa bersalah. Takut. Marah. Sedih. Olahan rasa itu menjelma menjadi bening yang mengalir dari sudut mata.
Diraihnya ponsel. “Kak, aku confirmed covid19”. Terkirim ke suaminya. “Mas, aku positif”. Terkirim ke kakak sejawatnya. “swab”, tambahnya setelah menyadari pesannya bisa berdampak membingungkan. Ditekannya nomor ponsel koordinator program studi, mengabarkan jika dirinya harus mengambil jeda dalam proses pendidkan karena hasil pemeriksaan ini. Berikutnya, mengabarkan ke pemilik kost, yang sepertinya menderita OCD sejak pandemi, bahwa dirinya harus meninggalkan kost sebagaimana kesepakatan (sepihak) sebelumnya. Terakhir, menghubungi sejawatnya di puskesmas untuk tracing rekan-rekan kostnya. Fiuuuh….kepalanya menengadah, mencegah buliran bening agar tidak semakin deras mengalir.
Ah, seandainya saja dirinya tidak mengiyakan tawaran swab sahabatnya. Dirinya sebenarnya bisa pulang dengan membawa hasil rapid serology yang negatif beberapa waktu sebelumnya. Seandainya saja…eh apa? Seandainya? Stop. Cukup. Tiba-tiba dirinya teringat perbincangan dengan sejawatnya tentang teknik reframing dalam sesi terapi beberapa waktu lalu. Reframing merupakan sebuah teknik membingkai ulang suatu peristiwa dengan sudut pandang yang lebih positif. Baiklah kawan, tidak ada salahnya kita coba, gumamnya. Pikirannya kembali tertuju pada keluarganya. Bukannya justru beruntung ya jika tidak jadi pulang. Membayangkan dirinya mendekap dan menularkan virus menggemaskan ini ke suaminya yang baru saja pasang dua ring di pembuluh darah jantungnya. Yang benar saja, pikirnya. Baiklah Tuhan, segala puji untukMu, gumamnya.
Teman sejawat pasti akan kecewa dan menyalahkan dirinya. Sumber cluster. Label mengerikan, sungguh. Eh tunggu, mengapa merasa bersalah? Bukannya selama ini dirinya sangat patuh dengan protokol kesehatan. Bukannya ikhtiarnya sudah optimal? Protokol tracing tambal sulam seperti saat ini menyulitkan untuk mengetahui siapa menulari siapa bukan? Sejawat tidak akan memperoleh layanan pemeriksaan skrining rutin. Hanya jika ada riwayat kontak erat tanpa APD standar saja yang akan diperiksa. Barangkali ini kesempatan menolong rekan sejawatnya memperoleh hak untuk dilayani kesehatannya, pikirnya. Baiklah Tuhan, segala puji untukMu, gumamnya.
Pikirannya berpindah ke sahabat-sahabat kostnya yang sadar kesehatan itu. Beberapa waktu lalu mereka mengeluhkan akses dan harga pemeriksaan swab yang selangit. Bisa untuk bayar kost 4 bulan katanya. Hmmm … baiklah kawan, saatnya dirimu memperoleh kepedulian dari pemerintahmu yang sok sibuk itu, batinnya. Segaris senyum nampak menghiasi bibirnya.
Ia menggeser tempat duduknya. Pikirannya juga bergeser kepada dirinya. Studinya. Penelitian dan beberapa tugas ilmiah dikebutnya siang hingga malam hampir tanpa jeda. Betapa inginnya sebagai seorang isteri dan ibu, dirinya dapat segera menyelesaikan pendidikan dan kembali berkumpul bersama keluarganya. Jeda artinya menambah masa studi. Ah, seandainya saja… tunggu, seandainya? lagi? Bukannya jeda ini yang tersirat dari bisikmu pada Tuhan di sepertiga malam untuk meredakan penat? Jeda sebagai energi untuk mencipta momentum yang sering dirimu inginkan? Baiklah Tuhan, segala puji untukMu, gumamnya.
Kakinya ringan saja menapaki pagi itu. Segaris senyum terukir di wajahnya yang tak lagi sembab. Reframing kawan. Sesederhana itu.
Frida Ayu
Penghujung Senja 22 Agustus 2020
Rooftop Graha Ara
(rumah singgah untuk residen yang OTG)
Love it 🥰
BalasHapus❤️
HapusDok... semangat yaaa.. kami bantu doa dan upaya 😪😊🏆
BalasHapusTerima kasih bantuannya ❤️
Hapus