Langsung ke konten utama

4. Anak Bukan Barang, Sekolah bukanlah Pabrik


Pernah kami mendapat tamu seorang trainer pendidikan tingkat nasional. Beliau dari sebuah lembaga pelatihan dan konsultan sekolah yang ternama di Indonesia. Adanya waktu kosong beliau di Palangka kami manfaatkan untuk sharing di sekolah kami, ada sekitar 4 jam beliau berbagi pengalaman dan ilmu dengan kami.
Ada pertanyaan yang mengagetkan bagi kami, "Jaminan kualitas lulusan apa yang diberikan sekolah ini ke orang tua?". Bingung bagi kami untuk menjawabnya, dan saya bertanya balik,"Maksudnya ?". "Seperti ini. (beliau sebutkan nama sebuah sekolah) sekolah ini menjamin lulusannya bisa membaca Quran, shalatnya tertib, nilai UN 8 dan ada 12 jaminan lulusan lagi. Jadi ketika orang tua mendaftarkan anaknya, mereka tahu apa yang kami jaminkan" begitu tambahnya.
Terbengong-bengong saya mendengarnya. Entah karena takjub atau bingung dengan apa yang disampaikannya. Takjub karena bahasanya yang meledak-ledak atau bingung karena memang bingung karena kami tidak pernah mikirin hal ini. Karena bagi kami sulit untuk menjaminkan lulusan seperti yang disampaikan oleh bapak tersebut. "Kita punya SOP, QA dan QC untuk mewujdkan itu" tambah beliau.
Hal ini juga sering menjadi bahan diskusi kami ketika melatih guru-guru di Jawa dan Kalimantan. Banyak guru yang menanyakan perlu tidak memberikan jaminan kelulusan kepada orang tua. Jawaban saya sederhana saja tentang ini. Ibaratnya kita sakit dan datang ke dokter paling top di kota kita, kemudian dokter tersebut memberi resep, apakah dokter tersebut pernah menjaminkan keberhasilannya bahwa nanti pasiennya akan sembuh? Hingga saat ini belum pernah saya mendapatkan dokter seperti ini. Mengapa? Karena kesembuhan adalah hasil dan hasil adalah urusan Tuhan dan pengobatan adalah proses. Menjamin keberhasilan pada seseorang itu bukanlah sesuatu yang mudah, banyak faktor dan variabel yang ada pada diri manusia. Variabel-variabel tersebut adalah kemampuan organik anak (given), faktor ayah, faktor ibu, faktor tinggal dengan siapa saja di rumahnya, paparan televisi, candu game, faktor ekonomi dan lain-lain. Bagi sekolah seperti seperti sekolah kami yang inklusif, faktor-faktor itu lebih banyak lagi. Autis, ADD, ADHD, Propioseptif, SL, BL dan ada beberapa lagi anak kebutuhan khusus di sekolah kami yang mempunyai kemampuan yang berbeda. Jangankan mikirkan lulus UN, membaca dan berhitung bagi sebagian anak ini adalah sesuatu yang sulit.
Bagi saya, QA/QC kurang tepat kalo diterapkan ke anak. QA/QC lahirnya adalah di pabrik yang variabelnya sedikit, tidak seperti manusia yang variabelnya banyak sekali. Anak-anak bukanlah barang yang jika gak lolos QC kemudian direject, mereka adalah manusia yang perlu gagal bahkan ketika dalam ujian karena itu penting bagi mereka.
Sering kali penggagas QA/QC dengan mudah tidak menaikakkan anak ke level berikutnya dengan alasan tidak memenuhi standar kelulusa/naik kelas atau gak memenuhi KKM, bahkan kadang karena kesalahan guru yang gak kompeten dan tidak melakukan proses yang optimal, anak tetap menjadi korban. Remedial yang lama dan akhirnya kadang tidak naik kelas.
Saya melihat, sekarang banyak sekolah yang memperlihatkan perilaku seperti pabrik. Yang memperlakukan guru sebagai buruh dan murid sebagai barang olahan. Wallahualam bisshowab.

Komentar

  1. Ijin share di fanpage kami ya, Bu. :)
    https://www.facebook.com/pages/School-of-Parenting/298383483607400

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t...

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t...

106. Design Thinking/Design Sprint for Education

Yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Sering kita mendengar kata-kata magic ini. Perubahan adalah bagian dari kehidupan memang. Punahnya hewan yang ada di alam ini adalah karena hewan tersebut tidak bisa melakukan perubahan di kondisi yang ada. Dan memang itulah fitrah mereka. Sedangkan kita, manusia, adalah makhluk yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan. Manusia diberi akal untuk itu. Nah, tapi kita juga sering melihat perusahaan atau usaha akhirnya gagal beradaptasi dan akhirnya gagal pula melanjutkan kiprahnya.Namun, ada juga usaha yang sudah berusia ratusan tahun, tapi kita melihat masih eksis dan terlihat masih menggunakan model aslinya. Tapi benarkah tidak ada perubahan sama sekali sehingga usaha tersebut bisa bertahan ? Ternyata tidak juga, Mereka tetap melakukan inovasi, meski kadang inovasinya bukan di produknya, tapi bisa jadi di marketingnya, kemasannya, manajemennya dan hal-hal lainnya.  Saya ambil contoh Montessori, mereka menggunakan kurikulum...