Secara pribadi, saya setuju dengan
kebijakan Prof Anies ini. Sejak lama saya ikut teriak-teriak tentang
kebijakan kurikulum 2013 ini, bahkan saya memutuskan tidak ikut beli
buku kurtilas, selain banyak masalah di buku tersbeut dan kurikulum
juga karena sudah adanya buku pdf-nya, mengapa buang-buanh duit jika
sudah ada pdfnya dan ternyata kurikulum dan bukunya gak nyambung.
Buang-buang anggaran saja.
Tapi saya tidak ingin banyak terlibat
pada pro kontra tentang kurikulum ini.
Di tulisan ini, saya ingin
mengungkapkan rasa saya, pikiran saya, dan pengalaman saya bagaimana
seharusnya kurikulum itu, tentu menurut persepsi saya. Saya tak ingin
memaksakan apalagi mendikte apa yang harus dilakukan.
Inti dari sebuah kurikulum dibuat
seharusnya adalah kebahagiaan. Karena esensi dari kehidupan adalah
kebahagiaan. Maka, kurikulum harusnya dibuat ke arah sana, ke arah
bagaimana pengguna kurikulum merasa bahagia dengan apa yang
dilakukan. Jika ternyata sebaliknya, maka sebaiknya kurikulum itu
direvisi atau bahkan dihentikan penggunaannya.
Kurikulum jika targetnya adalah
kebahagiaan, maka harusnya kurikulum itu menjadikan anak seutuhnya
bukan hanya dilihat dari aspek akademis saja. Maka dari itu, penting
bagi guru untuk memahami tahapan perkembangan anak atau ilmu anak
(paedagogik). Anak-anak akan merasa bahagia jika apa yang diberikan
sesuai dengan tahapan perkembangannya. Misal, anak yang dalam tahap
merangkak akan bahagia jika orang tuanya memberi tantangan mengambil
sesuatu dengan cara merangkak. Anak akan menjadi depresi jika
ternyata ayah bundanya punya ekspektasi lebih, misa ingin dirinya
berlari. Bisa jadi anak dengan tahapan ini, ternyata melebihi umur
secara rata-rata anak yang harusnya bisa merangkak. Oleh karena itu,
penting bagi guru untuk tidak menyamakan capaian masing-masing anak.
Ketika guru sudah tahu dengan baik
tahapan perkembangan anak, maka yang dievaluasi guru bukan
matematika dan sains saja tapi lebih dari itu, guru dapat
mengevaluasi pertumbuhan seutuhnya dengan proses yang penuh makna,
berkelanjutan dan penuh makna. Misal ketika anak belum bisa menulis,
guru tak hanya mengajari menulis saja, tapi guru akan melihat
bagaimana kekuatan otot bahunya, siku hingga masalah motorik
halusnya.
Maka dari itu, kurikulum yang
fleksible, yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak, yang sesuai
dengan lingkungan sekitar anak, yang memberikan pilihan yang bermakna
bagi siswa adalah sebuah kemutlakan dalam sebuah institutsi
pendidikan. Anak-anak harusnya tidak dijauhkan dari lingkungannya.
Mereka menggunakan manfaat ilmu yang diperolehnya untuk perubahan di
lingkungannya. Anak-anak di Kalimantan harusnya belajar lebih banyak
bagiaman bersikap ramah pada sungai, gambut dan hutan. Maka,
pembelajaran anak-anak Kalimantan sangatlah kurang pas jika disamakan
dengan anak-anak Singapura yang jarang bersentuhan dengan ketiga hal
tersebut.
Kurikulum harusnya bersifat sistem,
bukan hanya berisi materi-materi ataupun metode-metode. Bisa jadi,
materi kurikulum bagus, metodena bagus tapi ternyata ada sistem di
luar yang mereusak kurikulum itu. Apa misalnya ? Anak-anak berkembang
sesuai dengan masa lalunya, masa di kandungannya, pola asuh orang
tuanya, pola asuh di lingkungannya, maka seharusnya mereka
dibandingkan dengan perkembangan dirinya bukan dengan perkembangan
orang lain atau temannya. Mereka adalah makhluk yang unik. Satu sama
lain adalah nyata berbeda, bahkan anak kembar identikpun memiliki
perbedaan, minimal pada sidik jarinya. Sistem dalam kurikulum
harusnya memfasilitasi ini. Bukan merusaknya dengan tes-tes standar
yang cenderung kaku dan tak fleksibel, atau dengan membandingkan
prestasi anak satu dengan anak lainya (bisa berupa ranking kelas atau
lainnya).
Dari beberapa negara yang maju dan
bahagia anak-anaknya, pendidikan tak bisa lepas dari aspek yang
multidimensi. Mulai dari hulu yaitu pendidikan keluarga hingga
kebijakan politik yang mendukung. Negara yang baik juga tak
mengabaikan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan anak di usia
dini , bahkan konsentrasi pada pendidikan usia dini sangat perlu
diperhatikan. Karena penanaman karakter yang baik adalah pada usia
dini. Di Indonesia malah usia dini sudah dijejalkan dengan akademis
yang memberatkan.
Dan di akhir tulisan ini saya ingin tambahkan bahwa olah seni, olah rasa, olah bahasa dan olah raga adalah satu kesatuan dalam pendidikan. Semuanya adalah hal penting yang harusnya tak dilupakan dalam kebijakan pendidikan di tingkat manapun. Negara hingga rumah tangga. Anak akan menjadi hambar jika tak pernah mengolah rasa dan bahasanya. Mereka jadi lemah jika raganya tak pernah diolah.Dan jika negara punya kewajiban untuk membuat kebijakan, maka sekolah dan keluarga punya kewajiban untuk bagaimana memahami ilmu jiwa anak, memperbaiki pengasuhan di keluarga dan sekolah serta mendidik anak dengan adab yang sesuai dengan nilai-nilai luhur.
Kurikulum itu penting, dan yang lebih penting adalah membuat kurikulum yang membahagiakan.
tulisan ini terinsipirasi dari buku
- Ki Hajar Dewantara Jilid I (pendidikan)
- The best school (thomas Armstrhong)
dan diskusi2 di Fb IG (meski saya bukan anggota IGI :D)
Komentar
Posting Komentar