@rizqitajuddin
LEMBAGA PENGASUHAN SAHABAT TSAURA
03/06/2015
Saya mendapatkan kiriman dari abang saya tentang pendidikan di Finladia. Berlembar-lembar halamannya. Banyak hal menarik yang saya dapat di tulisan itu. Banyak hal di luar mainstream yang dilakukan oleh Finlandia baik yang dilakukan oleh pemerintahnya ataupun oleh masyarakatnya. Jika di negara-negara lain, percaya bahwa besarnya anggaran pendidikan berbanding lurus dengan kualitas pendidikan, sebaliknya Finlandia. "Hanya" dengan 8% GDP (jauh di bawah USA yang mencapai 15%), mereka dapat mengelola pendidikannya menjadi 10 besar dunia. Bahkan beberapa kali mereka menjadi nomer wahid di bumi ini.
Ada hal yang sangat menggelitik saya dari isi artikel itu, yakni tentang bagaimana perguruan tinggi menyiapkan guru yang akan mengajar di sekolah-sekolah Finlandia. Calon guru TK harus kuliah 3 tahun tentang pedagogi. Guru sekolah dasar harus meneumpuh kuliah 5 tahun. Guru khusus yang mengajar matematika atau biologi menamatkan kuliah selama 6 tahun. Profesional yang hendak mengajar di vokasi juga wajib mengambil mata kuliah pedagogi.
Sepertinya ada kata kunci di semua perguruan tinggi yang menghasilkan guru atau dosen yang akan mengajar calon guru, yaitu adanya mata kuliah pedagogi yang cukup lama. Ya, guru sebenarnya adalah konselor bagi anak dan orang tua siswa. Guru dianggap lebih tahu tentang siswa dibandingkan orang tua lain yang tidak berprofesi sebagai guru. Jadi, jika guru tidak mempunyai pengetahuan tentang pedagogi yang mumpuni, bagaimana guru akan menjadi konselor yang baik ?
Pedagogi atau ilmu tentang anak ini mempelajari tentang tahapan perkembangan anak baik fisik maupun psikologisnya. Dengan belajar ini, guru diharapkan tahu apa yang terjadi pada tahapan perkembangan anak, perasaan anak dan pembelajaran apa yang penting bagi anak. Guru yang mengajar anak di sekolah tanpa bekal pedagogi yang mumpuni seperti berjalan di dalam gua pada malam hari. Tak tahu apa yang harsus diperbuat selain hanya menyampaikan materi yang ada di kurikulum. Dan itu yang terjadi di negeri kita tercinta.
Coba buka kurikulum PGSD atau PGPAUD, berapa SKS materi tentang tahapan perkembangan, psikologi anak, atau pedagogi. Tak lebih dari 10 SKS. Pertanyaan berikutnya adalah apakah juga diajarkan oleh orang-orang yang mengerti pedagogi yang terlibat langsung di sekolah ? Atau sekedar akademisi tanpa bekal pengalaman klinis ? Atau bahkan keduanyapun tidak ?
Membenahi pendidikan tak bisa hanya gonta ganti kurikulum atau bongkar pasang kurikulum tanpa ada pembenahan yang serius di hulunya, yakni di perguruan tinggi yang menghasilkan guru. Jika guru tak dibekali dengan ilmu tentang anak ini, sulit bagi guru untuk tahu apa yang perlu dilakukan untuk anak didiknya selain coba-coba, atau hanya menjalankan apa sudah ada. Maka tak heran jika di banyak sekolah masih ada perlakuan yang kurang tepat dari guru dalam mendidik siswa-siwanya. Beban PR yang banyak, ekspektasi guru yang melebihi tahapan perkemkbangan anak, pemberian pembelajaran yang tak sesuai dengan tahapan perkembangan anak atau bahkan hukuman-hukuman yang tak sesuai dengan kebutuhan anak.
Jika siswa yang akan lulus dari level SD-SMA ada tes standar untuk menentukan apakah hasil pendidikan yang ada pada anak sudah standar atau belum, apakah hal yang sama dilakukan di perguruan tinggi ? Apakah calon-calon guru itu sudah standar pengetahuannya dan pemahamannya tentang anak ?
Serius membenahi itu jika kita benahi pangkalnya bukan ujunhnya. Hulunya, bukan hilirnya. Dan hulu dari pendidikan adalah sekolah-sekolah yang menghasilkan guru itu.
LEMBAGA PENGASUHAN SAHABAT TSAURA
03/06/2015
Saya mendapatkan kiriman dari abang saya tentang pendidikan di Finladia. Berlembar-lembar halamannya. Banyak hal menarik yang saya dapat di tulisan itu. Banyak hal di luar mainstream yang dilakukan oleh Finlandia baik yang dilakukan oleh pemerintahnya ataupun oleh masyarakatnya. Jika di negara-negara lain, percaya bahwa besarnya anggaran pendidikan berbanding lurus dengan kualitas pendidikan, sebaliknya Finlandia. "Hanya" dengan 8% GDP (jauh di bawah USA yang mencapai 15%), mereka dapat mengelola pendidikannya menjadi 10 besar dunia. Bahkan beberapa kali mereka menjadi nomer wahid di bumi ini.
Ada hal yang sangat menggelitik saya dari isi artikel itu, yakni tentang bagaimana perguruan tinggi menyiapkan guru yang akan mengajar di sekolah-sekolah Finlandia. Calon guru TK harus kuliah 3 tahun tentang pedagogi. Guru sekolah dasar harus meneumpuh kuliah 5 tahun. Guru khusus yang mengajar matematika atau biologi menamatkan kuliah selama 6 tahun. Profesional yang hendak mengajar di vokasi juga wajib mengambil mata kuliah pedagogi.
Sepertinya ada kata kunci di semua perguruan tinggi yang menghasilkan guru atau dosen yang akan mengajar calon guru, yaitu adanya mata kuliah pedagogi yang cukup lama. Ya, guru sebenarnya adalah konselor bagi anak dan orang tua siswa. Guru dianggap lebih tahu tentang siswa dibandingkan orang tua lain yang tidak berprofesi sebagai guru. Jadi, jika guru tidak mempunyai pengetahuan tentang pedagogi yang mumpuni, bagaimana guru akan menjadi konselor yang baik ?
Pedagogi atau ilmu tentang anak ini mempelajari tentang tahapan perkembangan anak baik fisik maupun psikologisnya. Dengan belajar ini, guru diharapkan tahu apa yang terjadi pada tahapan perkembangan anak, perasaan anak dan pembelajaran apa yang penting bagi anak. Guru yang mengajar anak di sekolah tanpa bekal pedagogi yang mumpuni seperti berjalan di dalam gua pada malam hari. Tak tahu apa yang harsus diperbuat selain hanya menyampaikan materi yang ada di kurikulum. Dan itu yang terjadi di negeri kita tercinta.
Coba buka kurikulum PGSD atau PGPAUD, berapa SKS materi tentang tahapan perkembangan, psikologi anak, atau pedagogi. Tak lebih dari 10 SKS. Pertanyaan berikutnya adalah apakah juga diajarkan oleh orang-orang yang mengerti pedagogi yang terlibat langsung di sekolah ? Atau sekedar akademisi tanpa bekal pengalaman klinis ? Atau bahkan keduanyapun tidak ?
Membenahi pendidikan tak bisa hanya gonta ganti kurikulum atau bongkar pasang kurikulum tanpa ada pembenahan yang serius di hulunya, yakni di perguruan tinggi yang menghasilkan guru. Jika guru tak dibekali dengan ilmu tentang anak ini, sulit bagi guru untuk tahu apa yang perlu dilakukan untuk anak didiknya selain coba-coba, atau hanya menjalankan apa sudah ada. Maka tak heran jika di banyak sekolah masih ada perlakuan yang kurang tepat dari guru dalam mendidik siswa-siwanya. Beban PR yang banyak, ekspektasi guru yang melebihi tahapan perkemkbangan anak, pemberian pembelajaran yang tak sesuai dengan tahapan perkembangan anak atau bahkan hukuman-hukuman yang tak sesuai dengan kebutuhan anak.
Jika siswa yang akan lulus dari level SD-SMA ada tes standar untuk menentukan apakah hasil pendidikan yang ada pada anak sudah standar atau belum, apakah hal yang sama dilakukan di perguruan tinggi ? Apakah calon-calon guru itu sudah standar pengetahuannya dan pemahamannya tentang anak ?
Serius membenahi itu jika kita benahi pangkalnya bukan ujunhnya. Hulunya, bukan hilirnya. Dan hulu dari pendidikan adalah sekolah-sekolah yang menghasilkan guru itu.
Komentar
Posting Komentar