Langsung ke konten utama

69. Eksplorasi, bukan Eksploitasi


Dua kata ini jauh berbeda maknanya. Apalagi jika dikaitkan dengan pendidikan atau anak. Eksplorasi maknanya positif sedangkan eksploitasi punya makna yang lebih negatif.
Eksplorasi berkesan menumbuhkan potensi yang ada dalam diri anak. Sedangkan eksploitasi cenderung dianggap memanfaatkan potensi anak bukan untuk kepentingan anak itu sendiri.
Dua kata yang jauh berbeda maknanya ini, kadang di lapangan menjadi tipis sekali bedanya. Seringnya kita anggap sebagai eksplorasi anak, padahal kenyataanya cenderung mengeksploitasi.
Saya ambil contoh kasus agar kita mudah memahaminya.
Anak, baik usia dini maupun usia di atasnya, punya kebutuhan akan inderanya, tubuhnya dan akalnya. Di usia pertumbuhannya, semua aspek itu perlu diberi fasilitas agar bisa dieksplorasi. Misal kebutuhan anak untuk mengeksplore lingkungan, eksplore bakatnya atau eksplore lain yang dibutuhkan oleh dirinya.
Di saat eksplore ini, sering kali orang tua melihat sang anak memiliki kecenderungan atau bisa juga orang umum bilang bakat atau potensi.
Ada anak yang cenderung mengeksplore bola, gitar, alam atau lainnya.
Nah, godaan muncul ketika kita mulai tahu bahwa anak kita punya potensi di bidang tertentu karena eksplorasi itu. Godaan apa yang muncul ? Godaan agar anak lebih unggul dari anak lain di bidang yang disukainya.
Godaan agar anak mengikuti persaingan & kompetisi dengan anak lainnya.
Dengan alasan , "Sayang ada kesempatan." Atau alasan , "Biar dia PD." Atau alasan, "biar terasah kemampuannya."
Sebagian bahkan mengakui, "Sayang potensinya, bisa untuk mendongkrak citra sekolah jika diikutkan kompetisi.".
Eksplorasi itu kebutuhan anak. Eksploitasi itu adalah sesuatu yang dilakukan tapi tak dibutuhkan oleh anak, tapi lebih pada memenuhi ego orang dewasa di sekitarnya. Baik orang tua maupun gurunya.
Banyak referensi yang menyatakan bahwa kompetisi di bawah usia 12 tahun cenderung mengeksploitasi karena itu tak dibutuhkan oleh tumbuh kembang anak. Anak-anak di bawah usia itu cenderung membutuhkan banyak kegiatan yang sinergi. Bukan kompetisi.
Anak-anak yang terlalu dini berkompetisi cenderung akan lebih meningkatkan egonya, sulit bekerja sama, merasa lebih dari teman seusianya atau bahkan sebaliknya menjadi anak yang kurang percaya diri.
Bagaimana jika anak-anak itu suka ?
Seharusnya apa yang dilakukan oleh anak bukan pada suka atau tidak. Tapi dibutuhkan atau tidak oleh dirinya. Dan kita yang harusnya tahu itu. Sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembangnya..
Karena bisa jadi anak dianggap suka karena respon anak pada pola orang tuanya. Karena orang tuanya menampakkan kegembiraan yang berlebih ketika anaknya juara dan menampakkan kesedihan ketika anaknya kalah, maka anak akan cenderung untuk menyenangkan orang tuanya. Anak merespon sikap orang tuanya.
Padahal harusnya sikap orang tua adalah mengapresiasi semua yang dilakukan oleh anak. Baik itu keberhasilan, maupun kegagalan.
Sikap kita harusnya adalah pada proses yang dijalani anak, bukan pada hasil akhir yang terjadi.
Sikap kita juga harusnya mengapresiasi pada usaha yang dilakukan, apapun usaha itu. Baik kecil, besar atau bahkan tak berharga di mata kita.
Dengan memberi apresiasi dengan benar, maka anak akan lebih berani lagi untuk mengeksplore apa yang dibutuhkan oleh dirinya, bukan apa yang diinginkan oleh orang tuanya.
Tipis memang, tapi kita sebagai orang tua perlu banyak belajar bagaimana memaknai ini semua.

Palangka Raya, 9 Mei 2018

Rizqi Tajuddin

#BabahAca

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

97. Saatnya Kita Berbenah

Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua. Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian. Pertama, msalah pola asuh Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia. Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif. Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin. Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan. Masih ada guru-gu

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t