Langsung ke konten utama

73. Grand Parenting

Rizqi Tajuddin:
Grand Parenting

"Kalo ibu, terserah anak-anak ibu bagaimana mengasuh anak-anaknya. Ibu gak ikut campur, zamannya sudah beda" Begitu kata ibu kami ketika saya dan kakak-kakak sedang kumpul-kumpul di rumah Pandean Bangil.
Entah ngomongin apa awalnya, tiba-tiba ibu bicara seperti itu.
Kakak saya, Qaris Tajuddin, menambahkan, "Wah, ini namanya Grand Parenting"
Ibu kemudian melanjutkan ceritanya, bahwa pernah ketika beliau tidur mendengar suara tangis Gaza (4 tahun) dan sepupunya Qiram (1,5 tahun) hingga membuat ibu terbangun dari tidurnya. Ibu khawatir terjadi apa-apa, karena mungkin tidak ada  orang dewasa di sekitarnya. Kemudian berjalan ke arah suara tangis itu. Dan, ternyata di sana ada Abi dan ummi qiram. Sedang mengambil video pertengkaran kedua anak itu.
Ibu kemudian balik ke kamar dan tidur kembali.
"Pasti kan Amin Lala membiarkan pertengkaran itu. Mungkin maksudnya agar anak-anak itu belajar berkonflik. Mencari penyelesaian tanpa harus banyak intervensi dari ortunya."
Ibu bisa rela begini, tentu tidak tiba-tiba. Semuanya berproses. Kak Qanita dan Kak Shufaira (Lala) beserta suaminya yang lama tinggal dengan ibu lah yang mendampingi proses itu.
Kakak2 saya itu tentu siap berkonflik di awal dengan ibu saya tentang bagaimana mengasuh anak-anaknya yang juga cucu-cucu yang dicintai ibu saya.
Saya menduga pasti tak mudah awalnya. Tapi konsistensi dari kakak-kakak lah yang membuat ibu akhirnya "mengalah" bahwa mengasuh anak adalah tanggung jawab anak-anaknya. Dan ibu sebagai nenek bukanlah pengasuh utamanya.
Banyak pasangan yang tidak berani "konflik" dengan orang tuanya untuk masalah ini.
Akhirnya, anak diasuh dengan banyak model dan berbeda arah.
Alasan yang sering diungkapkan adalah, tidak ingin menyakiti hati ibunya. Gak enak. Gak tega dan lainnya.
Padahal di satu sisi, anak punya hak mendapatkan pola pengasuhan yang jelas dan searah. Dan tentu ini akan berkaitan dengan masa depan tumbuh kembang anak kita.
Jadi, kita beralasan tidak ingin mendzolimi orang tua dengan cara berbuat dzolim pada anak-anak kita dengan memberikan pola asuh yang tidak jelas.
"Berkonflik" dengan orang tua untuk masalah pola asuh ini penting bagi tumbuh kembang anak-anak kita.
Orang tua kita perlu tahu bagaimana visa pengasuhan kita.
Bicaralah, jelaskan lah pada orang tua kita.
"Berkonflik" dalam masalah ini tidak akan membuat hubungan kita dengan orang tua kita bermasalah besar jika kita bisa berbuat baik dan hormat pada mereka di kesempatan-kesempatan lain.
Tunjukkan rasa perhatian, cinta, sayang dan berikan kebahagiaan pada mereka. Mungkin itu yang dilakukan oleh kedua kakak saya.
Memberi perhatian pada ibu kami di kesempatan lain dan memberikan pengertian pada ibu tentang visi pengasuhan keluarganya, tentu ini tak mudah, makan waktu yang lama dan siap untuk "berkonflik" di awal. Tapi akan menuai keindahan di ujungnya.

Kereta Tumapel, 29 Juni 2018

Rizqi Tajuddin
#BabahAca

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

97. Saatnya Kita Berbenah

Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua. Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian. Pertama, msalah pola asuh Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia. Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif. Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin. Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan. Masih ada guru-gu

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t