Rizqi Tajuddin:
Grand Parenting
"Kalo ibu, terserah anak-anak ibu bagaimana mengasuh anak-anaknya. Ibu gak ikut campur, zamannya sudah beda" Begitu kata ibu kami ketika saya dan kakak-kakak sedang kumpul-kumpul di rumah Pandean Bangil.
Entah ngomongin apa awalnya, tiba-tiba ibu bicara seperti itu.
Kakak saya, Qaris Tajuddin, menambahkan, "Wah, ini namanya Grand Parenting"
Ibu kemudian melanjutkan ceritanya, bahwa pernah ketika beliau tidur mendengar suara tangis Gaza (4 tahun) dan sepupunya Qiram (1,5 tahun) hingga membuat ibu terbangun dari tidurnya. Ibu khawatir terjadi apa-apa, karena mungkin tidak ada orang dewasa di sekitarnya. Kemudian berjalan ke arah suara tangis itu. Dan, ternyata di sana ada Abi dan ummi qiram. Sedang mengambil video pertengkaran kedua anak itu.
Ibu kemudian balik ke kamar dan tidur kembali.
"Pasti kan Amin Lala membiarkan pertengkaran itu. Mungkin maksudnya agar anak-anak itu belajar berkonflik. Mencari penyelesaian tanpa harus banyak intervensi dari ortunya."
Ibu bisa rela begini, tentu tidak tiba-tiba. Semuanya berproses. Kak Qanita dan Kak Shufaira (Lala) beserta suaminya yang lama tinggal dengan ibu lah yang mendampingi proses itu.
Kakak2 saya itu tentu siap berkonflik di awal dengan ibu saya tentang bagaimana mengasuh anak-anaknya yang juga cucu-cucu yang dicintai ibu saya.
Saya menduga pasti tak mudah awalnya. Tapi konsistensi dari kakak-kakak lah yang membuat ibu akhirnya "mengalah" bahwa mengasuh anak adalah tanggung jawab anak-anaknya. Dan ibu sebagai nenek bukanlah pengasuh utamanya.
Banyak pasangan yang tidak berani "konflik" dengan orang tuanya untuk masalah ini.
Akhirnya, anak diasuh dengan banyak model dan berbeda arah.
Alasan yang sering diungkapkan adalah, tidak ingin menyakiti hati ibunya. Gak enak. Gak tega dan lainnya.
Padahal di satu sisi, anak punya hak mendapatkan pola pengasuhan yang jelas dan searah. Dan tentu ini akan berkaitan dengan masa depan tumbuh kembang anak kita.
Jadi, kita beralasan tidak ingin mendzolimi orang tua dengan cara berbuat dzolim pada anak-anak kita dengan memberikan pola asuh yang tidak jelas.
"Berkonflik" dengan orang tua untuk masalah pola asuh ini penting bagi tumbuh kembang anak-anak kita.
Orang tua kita perlu tahu bagaimana visa pengasuhan kita.
Bicaralah, jelaskan lah pada orang tua kita.
"Berkonflik" dalam masalah ini tidak akan membuat hubungan kita dengan orang tua kita bermasalah besar jika kita bisa berbuat baik dan hormat pada mereka di kesempatan-kesempatan lain.
Tunjukkan rasa perhatian, cinta, sayang dan berikan kebahagiaan pada mereka. Mungkin itu yang dilakukan oleh kedua kakak saya.
Memberi perhatian pada ibu kami di kesempatan lain dan memberikan pengertian pada ibu tentang visi pengasuhan keluarganya, tentu ini tak mudah, makan waktu yang lama dan siap untuk "berkonflik" di awal. Tapi akan menuai keindahan di ujungnya.
Kereta Tumapel, 29 Juni 2018
Rizqi Tajuddin
#BabahAca
Grand Parenting
"Kalo ibu, terserah anak-anak ibu bagaimana mengasuh anak-anaknya. Ibu gak ikut campur, zamannya sudah beda" Begitu kata ibu kami ketika saya dan kakak-kakak sedang kumpul-kumpul di rumah Pandean Bangil.
Entah ngomongin apa awalnya, tiba-tiba ibu bicara seperti itu.
Kakak saya, Qaris Tajuddin, menambahkan, "Wah, ini namanya Grand Parenting"
Ibu kemudian melanjutkan ceritanya, bahwa pernah ketika beliau tidur mendengar suara tangis Gaza (4 tahun) dan sepupunya Qiram (1,5 tahun) hingga membuat ibu terbangun dari tidurnya. Ibu khawatir terjadi apa-apa, karena mungkin tidak ada orang dewasa di sekitarnya. Kemudian berjalan ke arah suara tangis itu. Dan, ternyata di sana ada Abi dan ummi qiram. Sedang mengambil video pertengkaran kedua anak itu.
Ibu kemudian balik ke kamar dan tidur kembali.
"Pasti kan Amin Lala membiarkan pertengkaran itu. Mungkin maksudnya agar anak-anak itu belajar berkonflik. Mencari penyelesaian tanpa harus banyak intervensi dari ortunya."
Ibu bisa rela begini, tentu tidak tiba-tiba. Semuanya berproses. Kak Qanita dan Kak Shufaira (Lala) beserta suaminya yang lama tinggal dengan ibu lah yang mendampingi proses itu.
Kakak2 saya itu tentu siap berkonflik di awal dengan ibu saya tentang bagaimana mengasuh anak-anaknya yang juga cucu-cucu yang dicintai ibu saya.
Saya menduga pasti tak mudah awalnya. Tapi konsistensi dari kakak-kakak lah yang membuat ibu akhirnya "mengalah" bahwa mengasuh anak adalah tanggung jawab anak-anaknya. Dan ibu sebagai nenek bukanlah pengasuh utamanya.
Banyak pasangan yang tidak berani "konflik" dengan orang tuanya untuk masalah ini.
Akhirnya, anak diasuh dengan banyak model dan berbeda arah.
Alasan yang sering diungkapkan adalah, tidak ingin menyakiti hati ibunya. Gak enak. Gak tega dan lainnya.
Padahal di satu sisi, anak punya hak mendapatkan pola pengasuhan yang jelas dan searah. Dan tentu ini akan berkaitan dengan masa depan tumbuh kembang anak kita.
Jadi, kita beralasan tidak ingin mendzolimi orang tua dengan cara berbuat dzolim pada anak-anak kita dengan memberikan pola asuh yang tidak jelas.
"Berkonflik" dengan orang tua untuk masalah pola asuh ini penting bagi tumbuh kembang anak-anak kita.
Orang tua kita perlu tahu bagaimana visa pengasuhan kita.
Bicaralah, jelaskan lah pada orang tua kita.
"Berkonflik" dalam masalah ini tidak akan membuat hubungan kita dengan orang tua kita bermasalah besar jika kita bisa berbuat baik dan hormat pada mereka di kesempatan-kesempatan lain.
Tunjukkan rasa perhatian, cinta, sayang dan berikan kebahagiaan pada mereka. Mungkin itu yang dilakukan oleh kedua kakak saya.
Memberi perhatian pada ibu kami di kesempatan lain dan memberikan pengertian pada ibu tentang visi pengasuhan keluarganya, tentu ini tak mudah, makan waktu yang lama dan siap untuk "berkonflik" di awal. Tapi akan menuai keindahan di ujungnya.
Kereta Tumapel, 29 Juni 2018
Rizqi Tajuddin
#BabahAca
Komentar
Posting Komentar