Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah
Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua.
Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian.
Pertama, msalah pola asuh
Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia.
Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif.
Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin.
Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan.
Masih ada guru-guru yang menganggap kekerasan itu bagian dari pendidikan.
Atau permisif, karena anak nakal maka guru boleh melakukan kekerasan. Padahal, menurut ilmu yang sama dalam pengasuhan, maka semakin keras kita pada anak hanya akan merusak sel.otaknya. Anak akan cenderung bertambah pasif, atau sebaliknya bertambah agresif. Otak perlu sesuatu yang nyaman. Dan kekerasan hanya akan mencabut rasa aman yang dibutuhkan oleh otak.
Ketiga, kebijakan negara yang belum serius dalam menyelesaikan ini. Hampir semua pelatihan yang dibuat oleh pemerintah hanya pada masalah kurikulum dan administrasi. Padahal, masalah utamanya adalah pemahaman guru tentang ilmu anak, jiwa dan pola asuh. Jika ini tidak benar-benar diselesaikan, maka ini hanya akan jadi lingkaran setan saja. Pemecatan yang dilakukam oleh Gubernur, hanyalah melempar kesalahan pada satu pihak, yakni guru. Padahal guru sendiri tak pernah benar-benar mendapatkan pengetahuan atau pelatihan tentang ini.
Keempat, kurikulum di kampus.
Beberapa (jika tak ingin dianggap semua) guru yang direkrut di sekolah yang lulusan perguruan tinggi, belum siap terjun sebagai guru. Terutama pada pengetahuan dan skil tentang anak. Di pengalaman mengelola sekolah, saya merasakan masih perlu memberi pelatihan yang panjang untuk memberi pengetahuan dan skil guru tentang pengasuhan dan ilmu anak dan jiwa.
Saatnya kita stop dan berhenti saling tunjuk dan tuduh. Saatnya berbenah untuk pendidikan yang lebih baik.
Surabaya, 20 Feb 2020
Rizqi Tajuddin
#BabahAca
----
- guru sejak tahun 2000 - sekarang
- pengelola dan konsultan pendidikan
- pemateri training keorangtuaan/parenting
Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua.
Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian.
Pertama, msalah pola asuh
Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia.
Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif.
Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin.
Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan.
Masih ada guru-guru yang menganggap kekerasan itu bagian dari pendidikan.
Atau permisif, karena anak nakal maka guru boleh melakukan kekerasan. Padahal, menurut ilmu yang sama dalam pengasuhan, maka semakin keras kita pada anak hanya akan merusak sel.otaknya. Anak akan cenderung bertambah pasif, atau sebaliknya bertambah agresif. Otak perlu sesuatu yang nyaman. Dan kekerasan hanya akan mencabut rasa aman yang dibutuhkan oleh otak.
Ketiga, kebijakan negara yang belum serius dalam menyelesaikan ini. Hampir semua pelatihan yang dibuat oleh pemerintah hanya pada masalah kurikulum dan administrasi. Padahal, masalah utamanya adalah pemahaman guru tentang ilmu anak, jiwa dan pola asuh. Jika ini tidak benar-benar diselesaikan, maka ini hanya akan jadi lingkaran setan saja. Pemecatan yang dilakukam oleh Gubernur, hanyalah melempar kesalahan pada satu pihak, yakni guru. Padahal guru sendiri tak pernah benar-benar mendapatkan pengetahuan atau pelatihan tentang ini.
Keempat, kurikulum di kampus.
Beberapa (jika tak ingin dianggap semua) guru yang direkrut di sekolah yang lulusan perguruan tinggi, belum siap terjun sebagai guru. Terutama pada pengetahuan dan skil tentang anak. Di pengalaman mengelola sekolah, saya merasakan masih perlu memberi pelatihan yang panjang untuk memberi pengetahuan dan skil guru tentang pengasuhan dan ilmu anak dan jiwa.
Saatnya kita stop dan berhenti saling tunjuk dan tuduh. Saatnya berbenah untuk pendidikan yang lebih baik.
Surabaya, 20 Feb 2020
Rizqi Tajuddin
#BabahAca
----
- guru sejak tahun 2000 - sekarang
- pengelola dan konsultan pendidikan
- pemateri training keorangtuaan/parenting
Komentar
Posting Komentar