Di tahun 2011 saya
diundang oleh sebuah sekolah yang sangat sederhana untuk mengisi
seminar pengasuhan, di sebuah daerah yang juga sangat sederhana
kehidupannya. Sebuah pesantren besar di sini lebih terkenal
dibandingkan nama daerahnya.
Di sela-sela waktu
kosong, pendiri sekolah ini mengajak saya untuk silaturahmi ke
sekolah-sekolah yang sudah berdiri terlebih dahulu. Diajaknya saya
bertemu dengan pejabat-pejabat sekolah-sekolah tersebut. Mulai dari
guru, kepala sekolah hingga pejabat di yayasannya.
Salah satu sekolah
yang saya kunjungi adalah sekolah favorit di daerah tersebut. Setelah
sempat menunggu sekitar 15 menit, saya disambut oleh kepala
sekolahnya. Dan karena sudah masuk waktu shalat dhuhur, diajaknya
saya shalat di masjid sekolah itu. Selesai shalat, diajaknya saya
keliling sekolah itu.
Ada beberapa hal
pernyataan dari kepala sekolah ini yang membuat saya terkaget-kaget.
Pertama adalah ketika obrolan masuk pada topik parenting bagi orang
tua wali murid. "Kapan ya terakhir? Mungkin sekitar 2-3 tahun
lalu?" jawab beliau ketika saya tanya kapan terakhir parenting
bagi orang tua di sekolah ini. Bagaimana menyamakan visi sekolah dan orang tua dapat
dilakukan jika parenting sebagai bahannya hampir tidak pernah
dilakukan. Parenting sebenarnya penting bukan hanya untuk orang tua,
tapi juga peniting sekali untuk guru. Guru juga memiliki anak, guru
juga orang tua. Guru haruslah memberi contoh pengasuhan yang tepat.
Hal yang kedua
membuat saya lebih terbelalak. Ini terjadi ketika saya bercerita
tentang seko kepada semjua bukan memilih-milih apalagi demi sebuah
citra. Citra yang sangat rendah, sebatas Ujian Nasional. lah-sekolah
inklusif. Saya sampaikan bahwa seluruh sekolah harusnya inklusif,
harusnya seluruh sekolah menerima anak berkebutuhan khusus. Kemudian
beliau menyampaikan bahwa di sekolahnya juga ada juga anak
berkebutuhan khusus,
"Kami buatkan surat perjanjian dengan orang tuanya, bahwa anaknya tidak akan ikut UN" terang beliau.
"Mengapa?" saya bertanya sambil mengerutkan dahi
"karena kalo anak itu ikut sulit sekali a kepada semjua bukan memilih-milih apalagi demi sebuah citra. Citra yang sangat rendah, sebatas Ujian Nasional. kan lulus UN, kemampuannya di bawah rata-rata. Kurang manusiawi sich, cuma ini kan demi nama baik sekolah." ,
saya bertanya balik, "Maksudnya pak?".
"Ya kalo anak itu ikut, kemudian nilainya di bawah rata-rata atau tidak lulus kan akhirnya rata-rata UN sekolah ini turun. Bagaimana citra sekolah nanti di masyarakat." Ooo itu rupanya alasannya.
Memang ada aturan dari negara untuk anak-anak berkebutuhan khusus, boleh ikut UN atau tidak. Ini adalah cara negara membantu anak-anak itu agar dapat melanjutkan pendidikan ke level berikutnya tanpa takut gagal UN, juga sebagai cara agar sekolah tujuan mengetahui bahwa anak ini memang ada kebutuhan individual/ bantuan khusus di sekolah. Nah tapi ini semua kembali pada orang tuangnya, apakah orang tua mau atau tidak. Dan bukan karena takut citra sekolahnya turun karena rata-rata nilai UN sekolah turun dengan adanya anak tersebut.
Harga diri anak jauh lebih besar dari UN. Einsten, Thomas Alva Edison ketika anak-anak memiliki kesulitan belajar. Mungkin jika ada UN, mereka juga akan kesulitan mengerjakannya. Kesulitan belajar bisa karena disleksia, disgrafia, diskalkuli dll. "Kami buatkan surat perjanjian dengan orang tuanya, bahwa anaknya tidak akan ikut UN" terang beliau.
"Mengapa?" saya bertanya sambil mengerutkan dahi
"karena kalo anak itu ikut sulit sekali a kepada semjua bukan memilih-milih apalagi demi sebuah citra. Citra yang sangat rendah, sebatas Ujian Nasional. kan lulus UN, kemampuannya di bawah rata-rata. Kurang manusiawi sich, cuma ini kan demi nama baik sekolah." ,
saya bertanya balik, "Maksudnya pak?".
"Ya kalo anak itu ikut, kemudian nilainya di bawah rata-rata atau tidak lulus kan akhirnya rata-rata UN sekolah ini turun. Bagaimana citra sekolah nanti di masyarakat." Ooo itu rupanya alasannya.
Memang ada aturan dari negara untuk anak-anak berkebutuhan khusus, boleh ikut UN atau tidak. Ini adalah cara negara membantu anak-anak itu agar dapat melanjutkan pendidikan ke level berikutnya tanpa takut gagal UN, juga sebagai cara agar sekolah tujuan mengetahui bahwa anak ini memang ada kebutuhan individual/ bantuan khusus di sekolah. Nah tapi ini semua kembali pada orang tuangnya, apakah orang tua mau atau tidak. Dan bukan karena takut citra sekolahnya turun karena rata-rata nilai UN sekolah turun dengan adanya anak tersebut.
Anak punya hati dan rasa. Mereka tidak ikut UN bukan karena citra sekolah tapi karena pilihan dan bantuan yang seharusnya didapatkan pada dirinya.
Kisah tentang Rasulullah yang mengabaikan seorang buta yang ingin belajar Islam adalah kisah fenomenal hingga diabadikan dalam al-quran. Rasulullah ditegur langsung oleh Allah karena lebih memilih berdialog dengan para pejabat Qurais dibandingkan dengan orang buta. Padahal, sahabat yang buta itulah yang lebih dahulu meminta penjelasan tentang Islam. Ini sebenarnya bisa kita kaitkan dengan kehidupan kita sekarang.
Kita memilih anak bukan karena kemampuan kita dalam menangani anak, tapi lebih pada ketakutan kita pada citra sekolah. Alasan tidak siap sering juga dibuat alasan, padahal pada hal-hal lain kita mampu menyiapkan diri tapi mengapa pada penanganan anak berkebutuhan khusus ini kita tak pernah menyiapkannya
Ini harusnya menjadi pelajaran bagi semua, pendidikan &
pengetahuan harusnya disampaikan kepada semua bukan memilih-milih
apalagi demi sebuah citra. Citra dan cita-cita sebatas Ujian
Nasional.
Komentar
Posting Komentar