Langsung ke konten utama

6. Citra Sekolah dan Anak Berkebutuhan Khusus


Di tahun 2011 saya diundang oleh sebuah sekolah yang sangat sederhana untuk mengisi seminar pengasuhan, di sebuah daerah yang juga sangat sederhana kehidupannya. Sebuah pesantren besar di sini lebih terkenal dibandingkan nama daerahnya.

Di sela-sela waktu kosong, pendiri sekolah ini mengajak saya untuk silaturahmi ke sekolah-sekolah yang sudah berdiri terlebih dahulu. Diajaknya saya bertemu dengan pejabat-pejabat sekolah-sekolah tersebut. Mulai dari guru, kepala sekolah hingga pejabat di yayasannya.

Salah satu sekolah yang saya kunjungi adalah sekolah favorit di daerah tersebut. Setelah sempat menunggu sekitar 15 menit, saya disambut oleh kepala sekolahnya. Dan karena sudah masuk waktu shalat dhuhur, diajaknya saya shalat di masjid sekolah itu. Selesai shalat, diajaknya saya keliling sekolah itu.

Ada beberapa hal pernyataan dari kepala sekolah ini yang membuat saya terkaget-kaget. Pertama adalah ketika obrolan masuk pada topik parenting bagi orang tua wali murid. "Kapan ya terakhir? Mungkin sekitar 2-3 tahun lalu?" jawab beliau ketika saya tanya kapan terakhir parenting bagi orang tua di sekolah ini. Bagaimana menyamakan visi sekolah dan orang tua dapat dilakukan jika parenting sebagai bahannya hampir tidak pernah dilakukan. Parenting sebenarnya penting bukan hanya untuk orang tua, tapi juga peniting sekali untuk guru. Guru juga memiliki anak, guru juga orang tua. Guru haruslah memberi contoh pengasuhan yang tepat.

Hal yang kedua membuat saya lebih terbelalak. Ini terjadi ketika saya bercerita tentang seko kepada semjua bukan memilih-milih apalagi demi sebuah citra. Citra yang sangat rendah, sebatas Ujian Nasional. lah-sekolah inklusif. Saya sampaikan bahwa seluruh sekolah harusnya inklusif, harusnya seluruh sekolah menerima anak berkebutuhan khusus. Kemudian beliau menyampaikan bahwa di sekolahnya juga ada juga anak berkebutuhan khusus, 
"Kami buatkan surat perjanjian dengan orang tuanya, bahwa anaknya tidak akan ikut UN" terang beliau. 
"Mengapa?" saya bertanya  sambil mengerutkan dahi
 "karena kalo anak itu ikut sulit sekali a kepada semjua bukan memilih-milih apalagi demi sebuah citra. Citra yang sangat rendah, sebatas Ujian Nasional. kan lulus UN, kemampuannya di bawah rata-rata. Kurang manusiawi sich, cuma ini kan demi nama baik sekolah." , 
saya bertanya balik, "Maksudnya pak?". 
"Ya kalo anak itu ikut, kemudian nilainya di bawah rata-rata atau tidak lulus kan akhirnya rata-rata UN sekolah ini turun. Bagaimana citra sekolah nanti di masyarakat." Ooo itu rupanya alasannya. 
Memang ada aturan dari negara untuk anak-anak berkebutuhan khusus, boleh ikut UN atau tidak. Ini adalah cara negara membantu anak-anak itu agar dapat melanjutkan pendidikan ke level berikutnya tanpa takut gagal UN, juga sebagai cara agar sekolah tujuan mengetahui bahwa anak ini memang ada kebutuhan individual/ bantuan khusus di sekolah. Nah tapi ini semua kembali pada orang tuangnya, apakah orang tua mau atau tidak. Dan bukan karena takut citra sekolahnya turun karena rata-rata nilai UN sekolah turun dengan adanya anak tersebut. 
Harga diri anak jauh lebih besar dari UN. Einsten, Thomas Alva Edison ketika anak-anak memiliki kesulitan belajar. Mungkin jika ada UN, mereka juga akan kesulitan mengerjakannya. Kesulitan belajar bisa karena disleksia, disgrafia, diskalkuli dll. 
Anak punya hati dan rasa. Mereka tidak ikut UN bukan karena citra sekolah tapi karena pilihan dan bantuan yang seharusnya didapatkan pada dirinya. 
Kisah tentang Rasulullah yang mengabaikan seorang buta yang ingin belajar Islam adalah kisah fenomenal hingga diabadikan dalam al-quran. Rasulullah ditegur langsung oleh Allah karena lebih memilih berdialog dengan para pejabat Qurais dibandingkan dengan orang buta. Padahal, sahabat yang buta itulah yang lebih dahulu meminta penjelasan tentang Islam. Ini sebenarnya bisa kita kaitkan dengan kehidupan kita sekarang. 
Kita memilih anak bukan karena kemampuan kita dalam menangani anak, tapi lebih pada ketakutan kita pada citra sekolah. Alasan tidak siap sering juga dibuat alasan, padahal pada hal-hal lain kita mampu menyiapkan diri tapi mengapa pada penanganan anak berkebutuhan khusus ini kita tak pernah menyiapkannya
Ini harusnya menjadi pelajaran bagi semua, pendidikan & pengetahuan harusnya disampaikan kepada semua bukan memilih-milih apalagi demi sebuah citra. Citra dan cita-cita  sebatas Ujian Nasional.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

97. Saatnya Kita Berbenah

Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua. Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian. Pertama, msalah pola asuh Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia. Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif. Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin. Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan. Masih ada guru-gu

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t