Langsung ke konten utama

10. Haruskah Berkata Jangan atau Jangan Berkata Jangan

Ada kutipan sebuah artikel : 
Anak-anak hasil didikan tanpa “jangan” berisiko tidak punya “sense of syariah” dan keterikatan hukum. Mereka akan sangat tidak peduli melihat kemaksiyatan bertebaran karena dalam hatinya berkata “itu pilihan mereka, saya tidak demikian”. Mereka bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi “mereka memang begitu, yang penting saya tidak melakukannya”.

Tulisan ini sebenarnya ingin mengkritisi tentang pengasuhan yang  katanya melarang kata Jangan. Meskipun selama saya mengikuti berbagai macam seminar tentang pengasuhan, belum ada yang melarang penggunaan kata JANGAN. Saya melihat ini berangkat dari satu penafsiaran yang ekstrem di sebelah kanan dan satu lagi ekstrem di sebelah kiri. 
Sebenarnya ini bisa didudukkan dengan jelas kapan penggunaan kata JANGAN, bukan melarangnya ataupun mentolerirnya dengan sering berkata JANGAN.
Kalau menurut pendapat saya, baik sebagai pendidik maupun sebagai ayah dari anak-anak saya, kata JANGAN masih diperlukan, namun bukan berarti kita dengan mudah mengumbar kata-kata tersebut. Sebagai info, bahwa dalam satu hari anak-anak 4 x lebih banyak mendapatkan kata negatif, larangan  dan labeling dari orang sekitarnya daripada apresiasi dan kata positif. Saya tidak akan menggunakan teori-teori dalam membahas dampak ini. Kita gunakan rasa dan nurani kita. Apa yang kita rasakan sebagai manusia dewasa jika atasan kita banyak melarang dan memberikan labeling negatif pada kita ? Saya yakin, kita akan merasa tidak nyaman dengan perlakuan tersebut, begitu juga yang dirasakan anak-anak kita. 
Ada beberapa hal yang dapat ditolerir penggunaan kata JANGAN. Dari beberapa referensi, saya mendapatkan beberapa hal, yaitu ketika anak dalam keadaan yang membahayakan nyawanya seperti bermain colokan listrik, bermain-main dengan pisau atau berusaha memakan cairan yang berbahaya misalkan. Maka kita sebagai orang dewasa perlu memberikan penegasan dengan berkata, "AWAS", "JANGAN DIMINUM !". Tentu saja, ini tak selesai sampai sini saja. Perlu ada proses dialog pasca berkata "JANGAN". Anak perlu diajak dialog tentang cairan berbahaya tersebut, perlu diajak bicara bagaimana menggunakan pisau dengan benar atau bagaimana menggunakan colokan listrik. Proses berkata "JANGAN" adalah proses darurat, bukan akhir dari segalanya. 
Nah bagaimana dengan masalah aqidah ? Jelas di surah Lukman,  kata "jangan" tentu tetap diiringi kata2 yang baik dan penjelasan.. sebagaimana Luqman berkata pada anaknya.. "yaa bunayya.." (wahai anakku)--> ini kata2 yang baik.. | "laa tusyrik billah.." (Jangan kamu menyekutukan Allah)---> Larangan dg menggunakan kata "jangan" | "Inna syirka lazhulmun 'azhiim" (sesungguhnya kesyirikan itu adalah benar2 kezaliman yang besar)---> ini penjelasan tentang larangan itu| wallahua'lam (ini saya dapat dari saudara di FB). 
Jadi, untuk yang bersifat aqidah (urgent) saja masih ada proses dialog dan penjelasan, apalagi dalam urusan yang sepele-sepele seperti jangan lari, jangan tidur malam dll. 
Nah, namun yang sering kita lakukan baik sebagai ayah maupun guru adalah banyak menggunakan kata JANGAN di banyak hal, bahkan bukan pada hal yang substantif atau bahkan pada hal-hal yang bersifat sepele. Ketika ada anak berlari, kita berkata "Jangan lari, nanti jatuh." , padahal ada padanan kalimat positif untuk itu, "Maaf, silahkan berjalan.". 
"Tidurnya jangan malam-malam, besok sekolah," padahal maksud kita adalah agar anak tidur jam 7 atau jam 8 . Kita bisa bikin kesepakatan dengan anak, jam berapa harusnya tidur, kapan mereka bermain dan kapan mereka mandi serta makan. Ketika kita bikin kesepakatan bersama, banyak hal akan didapat anak, minimal proses dialof dan berpikir. Dan sebenarnya ini proses musyawarah dalam Islam kan ? Bagaimana ketika mereka melanggar kesepakatan ini ? Kita akan berkata, "Maaf, sesuai kesepakatan jam berapa abang harus tidur?", tanpa ada kalimat negatif. "Jangan tidur malam-malam !"
Baik, ini hanya sekedar berbagi tentang pengasuhan. Kita bisa gunakan ini jika bersepakat, dan tinggalkan ini jika memang kurang sesuai dengan pandangan kita.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

97. Saatnya Kita Berbenah

Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua. Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian. Pertama, msalah pola asuh Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia. Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif. Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin. Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan. Masih ada guru-gu

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t