Langsung ke konten utama

14. Inklusif, Pilihan atau Kewajiban

Di sebuah FDG pendidik, saya memancing tentang perlunya sekolah untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Kalau bahasa kerennya adalah sekolah inklusif. Sekolah yang menempatkan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus satu ruangan dengan anak-anak lainnya. Meski kadang anak-anak tersebut dipisahkan kelas karena beberapa hal, misal ketika tantrum, stimulasi atau ketika terapi. Tapi ketika kegiatan-kegiatan lain mereka bisa bersama dengan temannya.
Kebutuhan khusus sering dipahami oleh masyarakat atau bahkan para pendidik, hanya pada anak autis, downsyndrome atau hyperaktif. Padahal banyak sekali hal yang bisa dikatakan sebagai anak-anak berkebutuhan khusus. Slowlerner, borderline, superior (iq di atas rata-rata), lambat bicara, ADD. Sedangkan kebutuhan khusus yang berkaitan dengan fisik seperti tuna netra, tuna rungu danwicara, tuna daksa. 
Menerima anak-anak berkebutuhan khusus ini sebenarnya adalah perintah agama. Jika kita menganggap bahwa membuat sekolah adalah sebuah bagian dari dakwah, yaitu dakwah pendidikan, maka sejatinya dakwah adalah tidak memilih siapa yang didakwahi. Tapi, siapa yang datang lebih dahululah yang dilayani, yang sudah mau menerima dakwahlah yang didahulukan. Kita bisa lihat surah abasa, surah yang sangat fenomenal karena rasulullah memalingkan muka ketika Abdullah Ummu Maktum yang buta datang kepada beliau, sedangkan Rasul kala itu sedang mendakwahi para petinggi Quraisy. Ayat ini turun untuk menegur Rasul karena hal tersebut. Ini sebenarnya pesan bahwa dakwah tidaklah memilih-milih, bahkan seorang yang butapun punya HAK untuk mendapatkan dakwah dari Rasul. 
Ada beberapa hal lagi yang membuat mengapa kita perlu menerima mereka di sekolah-sekolah kita. 
1. Pendidikan adalah hak semua anak
2. Kita tidak tahu siapa saja yang dipilih oleh Allah untuk menjadi orang tua dari anak-anak yang berkebutuhan khusus. Bisa jadi teman dekat kita, saudara kita, guru di sekolah kita atau bahkan kita sendiri yang mendapatkan kesempatan itu. 
3. Fakta di lapanngan (menurut hasil penelitian dosen di Unesa), bahwa di sekolah-sekolah yang katanya sekolah model, unggulan dan lain sebagainya, ternyata masih saja ada anak berkebutuhan khusus, rangenya sekitar 6% dari populasi murid di sekolah.
4. Fakta di masyarakat bahwa populasi terdiri dari berbagai macam kondisi. Ketika hal yang ada di masyarakat ini dapat diimplementasikan di sekolah, ini adalah hal yang baik bagi pembelajaran anak-anak, karena mereka melihat apa yang terjadi di sekolah sebenarnya sama dengan apa yang ada di masyarakat. 

Terus bagaimana dengan sekolah yang belum siap untuk menerima mereka ? Belum siap bisa beberapa hal. Belum siap karena masih adanya paradigma bahwa adanya mereka akan membuat citra sekolah turun, karena bisa mempengaruhi rata-rata nilai UN sekolah. Belum siap karena memang belum ada pemikiran untuk menerima mereka di sekolah kita, jika belum siap karena yang dua ini maka sampai kapanpun sekolah tidak akan siap. Atau belum siap karena sekolah sedang meyiapkan, baik dari SDM maupun sarana dan prasarananya. 
Jika sekolah punya usaha untuk memikirkan dan menyiapkan untuk ikut olimpiade, lomba-lomba, seragam yang bagus, gedung, robotik, panahan, ekskul-ekskul, mengapa sekolah belum juga menyiapkan untuk menerima mereka ? Apakah semua itu jauh lebih penting daripada menerima anak-anak itu dengan hati kita yang terbuka ? Hanya kita yang tahu. 

Rizqi/ Palangka 17 September 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t...

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t...

106. Design Thinking/Design Sprint for Education

Yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Sering kita mendengar kata-kata magic ini. Perubahan adalah bagian dari kehidupan memang. Punahnya hewan yang ada di alam ini adalah karena hewan tersebut tidak bisa melakukan perubahan di kondisi yang ada. Dan memang itulah fitrah mereka. Sedangkan kita, manusia, adalah makhluk yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan. Manusia diberi akal untuk itu. Nah, tapi kita juga sering melihat perusahaan atau usaha akhirnya gagal beradaptasi dan akhirnya gagal pula melanjutkan kiprahnya.Namun, ada juga usaha yang sudah berusia ratusan tahun, tapi kita melihat masih eksis dan terlihat masih menggunakan model aslinya. Tapi benarkah tidak ada perubahan sama sekali sehingga usaha tersebut bisa bertahan ? Ternyata tidak juga, Mereka tetap melakukan inovasi, meski kadang inovasinya bukan di produknya, tapi bisa jadi di marketingnya, kemasannya, manajemennya dan hal-hal lainnya.  Saya ambil contoh Montessori, mereka menggunakan kurikulum...