Langsung ke konten utama

11. Tegas vs Keras (contoh kasus di Mini Market)

Ayah bunda, kita pernah suatu saat pergi ke toko swalayan. Tiba-tiba anak kita sudah mengambil kue atau coklat ke kasir. Padahal, sebelum berangkat mereka sudah janji misalnya tidak membeli sesuatu di toko. Anak-anak dengan wajah memelas atau bahkan menangis memohon agar kita mau mengabulkan keinginannya.
Kita dalam posisi dilematis. Membelikan, artinya kita mengabulkan dan tidak konsisten karena tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Atau menolaknya dengan resiko anak menangis di toko dan dilihat oleh pelanggan lain, yang dapat membuat kita malu karena dianggap tidak punya rasa kasihan dan sayang. 
Baik, saya akan sampaikan berapa respon yang kita lakukan.

Respon pertama
Kita membiarkan saja mereka mengambil dan akhirnya kita membayar di kasir tanpa merasa ada yang perlu didiskusikan karena kita menganggap, ya ini kan cuma sekali dan berapa sich uang yang kita keluarkan. 

Respon kedua
Awalnya kita melarang mereka dengan mengingatkan perjanjian sebelum berangkat ke swalayan. Kemudian karena tidak disetujui, maka anak-anak akan marah atau nangis, atau bahkan hingga berguling-guling yang dapat membuat kita malu, karena banyak mata yang melihat kita. Apa yang terjadi berikutnya ? Kita luluh dan akhirnya mengabulkan permintaan mereka.

Respon ketiga
Kita tetap menolak membelikan coklat tersebut dengan cara marah, atau bahkan membentak anak-anak kita karena apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan perjanjian di awal sebelum berangkat.

Cara pertama itu bisa kita sebut dengan cara pembiaran. Pembiaran ini akan membuat anak akan mengambil kesimpulan bahwa aturan itu hanya aturan, orang tua tidak akan menggunakan aturan itu atau akan lupa dengan aturan itu. Anak-anak seperti ini, ke depan akan sulit sekali menjadi disiplin karena merasa bahwa aturan yang ada bukan untuk ditepati.
 Cara kedua adalah ketidakkonsistenan. Cara ini dapat digunakan oleh anak sebagai senjata.  Mereka akan menemukan cara bagaimana meluluhkan hati orang tuanya. Tangisan, rengekan dan guling-guling adalah cara anak mencari perhatian. Jadi jika suatu saat kita menolak keinginannya anak cenderung akan mencoba pola yang sama. 
Cara ketika ini cara yang keras.  Memang akhirnya anak tak jadi membeli apa yang menjadi keinginannya dan sesuai dengan perjanjian sebelum berangkat. Namun bukankah itu akan banyak menguras energi kita ? Dan juga bukankah anak akan belajar dari tingkah laku kita ? Bentakan kita itu akan membuat mereka belajar bahwa membentak itu diperbolehkan. 

Apakah ada cara yang lebih tepat ?
Sejauh yang saya pelajari dan terapkan pada anak-anak kami, seharusnya kita tetap konsisten tanpa perlu ada teriakan, bentakan atau bahkan cubitan. Kita bisa berkata kepada mereka, "Maaf, bagaimana perjanjian kita tadi ?" dengan nada dan volume suara yang tanpa mengandung emosi. Jika kemudian mereka tetap pada pendiriannya, kita bisa berkata pada mereka, "Maaf, coklat ini kamu kembalikan sendiri atau ayah yang kembalikan ?" dan  jika mereka tetap pada pendiriannya dan tidak mau mengembalikan juga , maka kita bisa berkata ,"baik, kalau begitu ayah yang kembalikan coklat itu." sambil kemudian kita mengambil secara tegas dan perlahan tanpa menyakiti tangannya dan kemudian kita kembalikan ke rak coklat. Bagaimana jika anak-anak akhirnya menangis ? Menurut saya itu sebuah resiko dari konsistensi. Memang bisa saja kita malu karena dilihat oleh pelanggan lain. Tapi ini  mengajarkan pada mereka tentang konsistensi. Mereka akan belajar bahwa ayah atau bundanya tak akan luluh dengan rengekan dan tangisan atau bahkan jika mereka guling-guling di lantai. Mereka akan tahu bahwa rengekan atau tangisan bukanlah senjata untuk mengabulkan permintaannya. 
Ketegasan bukan berarti membiarkan apa yang menjadi keinginan anak. Ketegasan bukan juga sebuah kekerasan. Tapi ketegasan adalah salah satu pola konsistensi yang perlu ada dalam pengasuhan.

Sekedar berbagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

97. Saatnya Kita Berbenah

Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua. Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian. Pertama, msalah pola asuh Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia. Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif. Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin. Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan. Masih ada guru-gu

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t