Langsung ke konten utama

19. Sebuah Pilihan Berat (kisah 2 tahun lalu yang baru bisa saya ceritakan) : Tsaura 1

Sudah dua pekan Tsaura dirawat di ruang ICU Anak Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya. Malam itu, akhir Februari 2013, istri saya Frida Ayu berdiskusi dengan dokter PPDS (program pendidikan dokter spesialis) anak yang menangani putri kami yang berumur sebelas bulan itu.
(Memang, sejak awal masuk rumah sakit di Palangka hingga di RS Soetomo Surabaya, diagnosa penyakit anak saya belum juga tegak. Awal dicurigai GBS (Gullian Bare Syndrome) kemudian hasil MRI menunjukkan lain, dua dokter berbeda pendapat dalam hasil MRI tersebut. Ada yang menyimpulkan kanker di tulang belakang, ada juga yang mengatakan radang otak.)

Dalam diskusi tersebut, dr As (dokter yang menangani Tsaura sejak awal) menyampaikan bahwa dari hasil MRI terakhir terlihat ada kerusakan di otak bagian pendengaran, mata, dan oral. Mungkin inilah mengapa pada satu hari sebelum MRI terakhir, Tsaura koma dan ada pembengkakan di kepala bagian depan.


Saya mendapat penjelasan dari Ayu bahwa pembengkakan ini akan membahayakan Tsaura, ada yang menekan di otaknya. Saya tak terlalu paham apa yang dibicarakan istri dan, tapi itulah kesimpulan yang saya tangkap sebagai orang awam.

Istri dengan setengah memohon, meminta dr As (saya belum minta izin untuk menulis nama beliau secara lengkap) mengambil tindakan yang lebih progresif, operasi segera. Sebagai ayah, saya pasti akan memilih jalan yang terbaik untuk anak saya. Anak perempuan satu-satunya, anak tercantik yang pernah kami lihat di dunia ini. Dan saya yakin, pilihan istri dan dr As adalah yang terbaik. Itu karena keputusan mereka didasarkan data-data laboratorium dan MRI—yang tentu sudah dikonsultasikan dengan dokter senior di RS Dr Soetomo.

Berat memang, melihat anak sekecil itu—belum genap setahun--harus dioperasi. Meski operasi adalah juga atas permintaan kami, tak tega rasanya Tsaura menjalani hal tersebut. Membayangkan Tsaura di kamar operasi saja sudah membuat dada ini terasa sesak, mata terasa panas, dan mulut ini kelu untuk bicara. Rasanya, jika tak ada orang lain di sekitar ruang anak, saya dan istri ingin menangis sekeras-kerasnya, berteriak dan mengadu pada Allah.

Kamis malam, sekitar pukul 20.00, akhirnya keputusan final diambil: Tsaura jadi dioperasi. Pukul 23.00, kami dijemput untuk mengantar Tsaura dioperasi. Dokter yang akan mengoperasi adalah dokter spesialis bedah syaraf yang biasa menangani anak, salah satu dokter terbaik di Soetomo, salah satu dokter yang juga menangani penyakit anak pertama saya (Qassam mengalami prekoks pubertas).

Sebelum operasi, tim yang akan melakukan tindakan meminta saya untuk membawa cairan otak Tsaura ke laboratorium untuk dianalisis. Ini kali kedua cairan otak Tsaura dianalisis. Analisis kedua ini untuk mengetahui, apakah cairan otak itu mengandung bakteri atau lainnya. Jika ya, maka akan dibuat semacam saluran untuk membuang cairan yang ada di kepala Tsaura ke luar tubuh. Tapi, jika ternyata tidak, maka saluran ini dibuat menuju lambung. Kenapa perlu dibuang? Karena cairan inilah yang menekan otak Tsaura.

Sekitar pukul 23:30 operasi akan segera dilaksanakan . Tsaura sudah masuk dalam ruangan untuk persiapan sambil menunggu hasil analisis cairan otak. Hasil dari laboratorium menyatakan bahwa dalam cairan tidak bakteri atau tidak terkontaminasi dan dalam operasi nanti akan dibuat saluran dari kepala menuju lambung.

Saya, istri dan kakak saya, Shufaira, menunggu di lantai 1, sedangkan Tsaura dioperasi di lantai 3 (saya agak lupa). Tim yang akan mengoperasi mengatakan agar kami di sana, sambil menunggu panggilan jika operasi selesai atau ada sesuatu yang harus disampaikan ke keluarga. Menunggu seperti ini sangat menyiksa. Rasanya waktu berjalan sangat lambat. Rasa cemas, takut, bingung, bercampur menjadi satu. Gelisah.

Menjelang shubuh ada panggilan untuk kami. Segera kami menuju ruang tunggu dekat ruang operasi. Dari ruang operasi keluar beberapa dokter. Tsaura tertidur di ranjang yang didorong oleh beberapa paramedis. Salah satu dokter menegur istri saya. Dia adalah dokter PPDS anestesi yang juga teman satu angkatan Ayu di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. "Alhamdulilah Frida, opearsinya berhasil," kata dia  sambil membawa Tsaura ke ruangan pasca-operasi. Allahu akbar! Rasa cemas dan takut sudah mulai berkurang. Digantikan oleh perasaan syukur dan bahagia, meski masih ada sedikit kecemasan.

Selepas menjalankan shalat shubuh di mushala dekat ruang operasi, saya dan istri kembali ke ruangan pasca operasi. Tiba-tiba, sekitar pukul 5.30 seorang dokter menghampiri kami dan berkata pada istri saya, "Mbak, dipanggil dr B, tentang Tsaura!" Buru-buru kami menuju ruangan dan di sana kami melihat beberapa dokter dan paramedis sedang melakukan berbagai hal: ada yang menekan dada Tsaura, ada yang menyiapkan alat, dan lain sebagainya.

"Frid, gagal nafas anakmu, ini masih kami bantu !" begitu kira-kira kata salah seorang dokter PPDS anestesi yang juga teman Ayu.

Dia juga berkata akan memberikan Tsaura suntikan yang berefek pada pada paru-parunya. Setelah itu mereka memasang beberapa peralatan alat bantu nafas, dan beberapa peralatan yang biasanya saya lihat di layar kaca saja. Bebrapa paramedis berlari ke sana ke mari mengambil peralatan dan obat-obatan. Persis seperti film-film tentang dokter seperti E.R. atau Grey's Anatomi.

Di pelupuk mata Ayu, terlihat air yang sudah akan menetes. Tatapan mata kami kosong melihat usaha dokter dan paramedis.

Setelah sekitar 15 menit, Tsaura mulai stabil dan kami diminta meninggalkan ruangan. Kami segera keluar dan menuju penginapan yang kami sewa dekat rumah sakit, untuk istirahat sebentar dan membersihakan diri. Di becak menuju penginapan, istri berkata kepada saya bahwa efek obat yang disuntikkan itu hanya 2-3 jam, jadi Ayu meminta saya untuk siap dengan apapun yang akan terjadi.

Setiba di penginapan, kami mandi dan istirat. Sekitar pukul 8.30 pagi, tiba-tiba istri bangun dari tidurnya dan berkata, "Kak, aku mimpi Tsuara. Dia main ayunan dan bicara ama aku: 'Bunda, aku pamit ya'."

Pecah tangis kami berdua. Segera kami menuju rumah sakit lagi dengan menggunakan becak. Dan benar saja, ketika dalam perjalanan ada telpon dari kakak saya, Shufaira, bahwa ada panggilan dari ruangan untuk orang tua Tsaura. Sesuai prediksi istri, 2-3 jam efek obat habis.

Turun dari becak, kami langsung berlari ke lantai 2, ke ruangan pascaoperasi. Dan benar, keadaan Tsaura sama seperti pada pukul 5.30. Dokter dan paramedis sedang berusaha kuat untuk membantu menyelamatkan anak kami. Kali ini cukup lama untuk menstabilkan kondisi Tsuara, lebih dari 30 menit.

Jika pada pukul 5.30 saya masih membisikkan kata-kata: "Tsaura, Palestina menunggumu," maka kini istri berkata pada saya, "Ikhlaskan saja, bisikkan pada telinganya bahwa kita ikhlas melepasnya."

Saya masih berdebat untuk tidak mengatakan itu. Istri mengatakan pada saya bahwa itu lebih baik untuk Tsaura. Dan dengan berat hati saya bisikkan kata-kata itu di telinga Tsaura, "Ayah dan Bunda ikhlas jika Tsaura duluan ke surga. Tunggu kami di sana."

Sekitar 30 menit kami di dalam ruangan hingga dokter dan para medis meminta kami untuk keluar ketika kondisi Tsuara sudah dapat ditangani.

Di luar ruangan, di ruang tunggu, istri mengatakan lagi pada saya untuk mengikhlaskan Tsaura. "Kita harus siap 2-3 jam lagi mereka akan panggil kita."

Saya hanya terdiam dan menahan tangis karena di ruangan ini banyak keluarga yang menunggu kami, memberi support pada kami. Mereka datang sejak pukul 8.00 pagi dari Bangil.

Jam 11.00 siang, saya bersiap menuju masjid di seberang RS Soetomo, untuk menunaikan shalat Jumat. Selama di masjid, saya merasa cemas dan takut sekali kehilangan anak perempuan kami yang masih berumur 11 bulan ini. Jika 2-3 jam efek obat habis, maka sekitar pukul 12.00 akan ada panggilan lagi dari ruangan pascaoperasi.

Benar. sekitar pukul 12.15 selepas shalat Jumat, Ayu menelpon dan mengatakan bahwa ada panggilan lagi untuk keluarga Tsaura. Dengan bergegas saya menuju rumah sakit.

Saya melihat istri sudah menunggu saya di depan pintu ruangan dan berkata kepada saya sambil meneteskan air mata, "Jika kondisi sama seperti tadi, Ayu minta mereka melepas alat-alat yang ada di tubuh Tsaura, Kak. Ini yang terbaik buat kita dan Tsaura. Ikhlaskan, Kak."

Saya hanya bisa menjawab dengan anggukan dan tetesan air mata.

Di dalam ruangan, saya melihat kondisi yang berbeda dengan dua kejadian sebelumnya. Kali ini ada beberapa dokter yang sudah menunggu kami dengan mata merah dan berlinang air mata.

"Bagaimana? Saran kami, sudah saja. Tsaura saat ini bisa bertahan karena bantuan alat-alat saja," kata salah seorang dokter perempuan. "Tapi semua kami serahkan pada orang tuanya."

Dokter itu dan istri saya kemudian terlibat dalam pembicaraan yang tak saya mengerti, karena menggunakan bahasa-bahasa medis.

Ini adalah keputusan terberat yang harus kami ambil. Berat sekali. Saya hanya duduk di sebuah tempat, tak bisa mengambil keputusan.

Kendali kemudian diambil oleh Ayu yang lebih mengerti dan tabah. Istri saya dengan tegas menjawab, "Iya Dok, silahkan."

Alat bantu nafas dilepas, alat-alat lain pun dilepas. Kemudian saya mendengar bunyi  tiiiit... Allah akbar.

Terdengar isak tangis dari istri dan beberapa dokter yang menyalami istri sambil meminta maaf karena tak bisa membantu lagi. Bukan salah mereka. Mereka adalah orang-orang baik yang membantu Tsaura. Allah lebih berkehendak. "Bukan, bukan salah dokter. Kita sudah optimal melakukan apa yang harus dilakukan," jawab istri saya.

Kami seakan tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Tsaura, putri mungil kami telah meninggalkan kami sebelum usianya mencapai 1 tahun.

Cukup lama kami di ruangan itu. Mencium Tsaura dan membisikkan bahwa kami ikhlas atas apa yng terjadi hari ini, bahwa kita akan berjumpa lagi di surga Insya Allah.

Menjelang 2 tahun kepergian Tsaura
Palangka Raya, Januari 2015

Komentar

  1. Alfaatihah tuk dede Tsaura, Allah sayang dede. Semoga Mas Rizqi sekeluarga selalu di berikan ketabahan dan kekuatan. Aamiin

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

97. Saatnya Kita Berbenah

Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua. Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian. Pertama, msalah pola asuh Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia. Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif. Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin. Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan. Masih ada guru-gu

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t