Langsung ke konten utama

21. Memilih Anak itu Bukan Hal yang Mudah (Serial PMB)

Penerimaan murid tahun 2015/2016 di bulan Januari 2015 ini kami rasakan paling berat. Kami memutuskan tahun ini tidak menerima anak-anak berkebutuhan khusus, baik yang membutuhkan perlakuan khusus yang mudah ataupun berat, ataupun yang belum matang secara psikologis. Keputusan ini kami ambil bukan karena kami ingin memilih anak-anak yang matang dan siap masuk SD saja, tapi karena memang keterbatasan kami tahun ini. Ada 29 anak dari 172 anak (PG - SMP) yang membutuhkan perlakuan khusus, dan belum semua kami tangani secara optimal. Kami hanya memiliki 1 tenaga sarjana psikologi, ada juga 1 okupasi terapi dan istri saya yang dokter kadang menjadi tempat diskusi tentang anak-anak yang perlu dibantu. Guru yang lain, meski berpengalaman tapi bukan berlatar belakang medis/psikologis. Selain itu juga, kami kesulitan mencari tenaga untuk guru pendamping bagi anak-anak yang memerlukan guru pendamping.
Berat bagi panitia, berat juga bagi Bu Ery dan Bu Leni sebagai psikolog. Karena, menolak anak yang orang tuanya berharap anaknya dapat sekolah di Sahabat Alam. Sekolah yang dianggap mereka yang akan mengerti tentang kebutuhan anaknya, sekolah yang memahami bahwa anak-anaknya perlu mendapatkan perlakuan khusus, sekolah yang diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak-anak mereka menjadi anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya, sekolah yang diharapkan mengajarkan kesederhanaan, sekolah yang diharapkan dapat membantu mereka menjadi orang tua yang lebih baik.
Hari ini saya melihat Bu Ery Soekresno menitikkan air mata, beliau menangis. Hatinya perih karena harus memutuskan hal seperti itu. Tapi beliau berkata pada saya, "Memang seharusnya semua anak kita tangani pak, tapi kita harus realistis, gak mungkin kita menerima jika ternyata gak ada yang kita lakukan untuk mereka." Tangisan Bu Ery lebih lagi ketika ada seoerang calon wali murig yang mengatakan, "Saya tahu kondisi anak saya berbeda bu, saya tahu juga bahwa sekolah ini tahun ini tidak bisa menerima siswa seperti anak saya, tapi saya datang ke sini dan memberanikan diri agar anak saya ikut tes, saya dan suami saya ingin cari solusi bu, kami tak tahu harus melakukan apa." Kata-kata ibu ini menambah pilu hati kami, perih rasanya. Kami hanya bisa membantu mencarikan tempat untuk observasi anaknya dan kami juga bersedia membacakan hasil observasi serta membantu membuatkan program. Hanya itu yang kami lakukan. Allahu Akbar. Berat sekali menerima kenyataan kami berbuat seperti ini.
Tangis bu Ery dan saya pecah kembali ketika ada seorang ibu yang mengatakan bahwa dia ingin anaknya sekolah di Sahabat Alam karena ingin anaknya belajar kesederhanaan, belajar empati, mandiri, yang ukurannya bukan ukuran akademis dan angka-angka, tapi nilai-nilai yang jauh lebih tinggi dari itu. Ibu yang satu ini anaknya masih belum matang dan ada beberapa hal yang masih perlu diselesaikan sebelum masuk SD. Biasanya anak-anak seperti ini, kami terima di Kelas Persiapan (Pra SD, pasca TK B), tapi tahun ini kami belum bisa karena kondisi kami yang tak memungkinkan. "Pak Rizqi, orang-orang seperti ini yang harusnya kita bantu. Coba, bagaimana anaknya jika sekolah di tempat lain. Tapi kita harus realistis, guru juga punya keterbatasan, sekolah juga punya keterbatasan."
Saya banyak belajar keikhlasan dari Bu Ery dan Bu Leni
Ikhlas bagiamana mereka memahami bahwa semua anak punya hak mendapatkan kebahagian di sekolah kami, keikhlasan bagaimana mereka mencintai anak-anak itu meski baru hari itu Bu Ery bertemu. Mencintai orang tuanya meski kadang sebagian tidak menerima keputusan kami sebagai panitia penerimaan. "Pak, kita berbuat ini agar anak-anak itu tumbuh sesuai potensinya, kita kadang harus tutup telinga mendengar komplain orang tua tentang kondisi anaknya. Mereka kecewa pak, mereka berharap anaknya bisa dibantu di sekolah ini." lanjut Bu Ery.
Ikhlas, tegas, haru campur jadi satu sauasan dalam penerimaan tahun ini. Saya juga belajar keikhlasan dari guru dan staf seperti pak Fajar dan bu Bayu yang menjadi ujung tombak yang berhadapan langsung dengan komplain calon orang tua.
Ya Allah, jika saja semua sekolah dapat memperlakukan anak sesuai dengan potensinya, yang dapat memahami kondisi anak secara individual, yang tidak memberikan target-target yang sesaat dan gak jelas. Pasti mereka tidak kebingunang, juga kami tidak merasa beban ini berat hanya kami rasakan sendiri.
Ya Allah, semoga saja ada lagi orang-orang expert yang mau terjun ke sekolah, yang mau habis-habisan membenahi sekolah-sekolah di Indonesia.
Untuk istri tercinta, Frida Ayu, semoga Allah memberikan kesempatan padamu dan memberikan kemudahan dalam rencana mengambil Spesialis Kesehatan Jiwa, karena ilmu yang akan kau raih nantinya, akan meringankan beban sekolah ini, sekolah yang kita cita-citakan, sekolah yang kita bangun bersama. Kita banyak belajar keiklhasan dari Bu Ery tentang banyak hal, terutama keikhlasan.
Semoga Allah memasukkan mereka dalam syurga atas keikhlasan yang mereka lakukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

97. Saatnya Kita Berbenah

Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua. Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian. Pertama, msalah pola asuh Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia. Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif. Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin. Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan. Masih ada guru-gu

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t