Suatu malam pada September 2010 saya menghadiri acara musyawarah sebuah ormas. Saya duduk sambil memangku anak kedua saya, Qawwam, yang saat itu baru berusia dua tahun. Di dekat saya duduk juga Pak Irwan Rinaldi yang jauh-jauh kami datangkan dari Depok, Jawa Barat, ke Palangkara, Kalimantan Tengah, untuk mengisi acara malam ini. Pak Irwan adalah seoarang tokoh ayah nasional. Ia punya kepedulian yang amat besar pada peran ayah dalam mendidik anak-anak.
Satu persatu tamu undangan berdatangan. Beberapa di antaranya adalah walimurid Sahabat Alam, sekolah yang kami dirikan sejak Mei 2010. Saat itu Sekolah Sahabat Alam baru memiliki 22 murid. Sekolah sederhana ini adalah alasan kami—saya dan keluarga—pindah ke Kalimantan. Bukan sekolah swasta mewah yang memiliki investor berlimpah. Meski demikian, sekolah ini disokong oleh orang-orang yang ikhlas. Ada yang meminjamkan tanahnya, menyumbang kayu untuk bangunan sekolah, dan lain sebagainya.
"Ini Haji Imuh, Pak. Beliau wali murid yang juga pengawas yayasan." begitu saya kenalkan tamu yang datang pada Pak Irwan.
"Nah kalau yang pakai tongkat itu namanya Haji Yani, beliau pembina yayasan," tunjuk saya pada seorang yang baru turun dari mobil.
Kepada Pak Irwan saya ceritakan bahwa keduanya adalah orang-orang luar biasa yang membantu mewujudkan sekolah Sahabat Alam. Meski disokong oleh orang-orang hebat seperti mereka, keuangan Sahabat Alam belum terlalu baik. Karenanya, saya saat itu juga bekerja sebagai pegawai negeri di Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Palangkaraya. Tugas saya setiap hari adalah hanya menunggu apa yang harus dikerjakan. Beberapa kali saya bertanya pada pimpinan apa yang harus saya kerjakan, namun jawabannya "Kamu kan masih baru, santai-santai saja dulu." Kalaupun ada kerja, hanya mengetik beberapa lembar dan menstempel surat yang sudah selesai disetujui oleh Kepala Badan.
Sebagai pegawai negeri, saya bukanlah pegawai yang baik. Karena saya hanya masuk di kantor hingga pukul 12, selanjutnya saya menuju Sekolah Sahabat Alam untuk mengurus sekolah yang baru saya dirikan bersama kakak saya.
Karena tidak terlalu banyak pekerjaan, kadang pukul sebelas pagi saya sudah keluar kantor menuju Sekolah Sahabat Alam. Seringkali, saat saya datang ke sekolah pada pukul 11.00, anak sulung kami, Qassam yang saat itu berumur 4 tahun, menegur, "Kok Ayah enggak kerja?". Tak pernah sekalipun saya menjawab pertanyaan itu. Berkali-kali Qassam bertanya dan berkali-kali pula saya tak menjawabnya.
Setelah mengenalkan orang-orang yang menyokong Sahabat Alam, Pak Irwan menegur saya. "Ki, maaf, saya mau bicara," kata Pak Irwan.
"Ya Pak, apa yang ingin dibicarakan?" lanjut saya
"Ki, maaf. Apa balasan Rizqi ke wali murid dan yayasan atas kebaikan yang mereka berikan?" tanya pak Irwan
"Maksud Pak Irwan?" saya bertanya balik.
"Menurut saya, kamu harus mundur dari PNS segera. Itu balasan ke wali murid dan yayasan yang luar biasa," jawab Pak Irwan.
"Pak, insya Allah nanti ketika sekolah sudah bisa menggaji saya, saya akan mundur dari PNS. Mungkin 1-2 tahun lagi," saya membela diri.
"Ki, jadi maksudmu 1-2 tahun lagi kamu akan mundur? Jadi kamu saat ini menjadi PNS apa adanya? Enggak ingin berprestasi? Sekadar numpang lewat?" cecar pak Irwan
"Iya Pak, seperti itu," jawab saya lagi.
"Buat apa kita jadi pegawai tapi seperti itu? Kenapa enggak mundur saja sekalian? Fokus pada sekolahmu. Logikanya harus dibalik. Jangan menunggu sekolah besar baru keluar dari PNS, tapi kamu keluar dari PNS agar sekolah itu jadi besar karena kamu fokus." lanjut pak Irwan.
"Tapi Pak, dapur keluarga saya kan perlu ngebul he-he-he," saya membela diri lagi.
"Ki, apa kamu enggak yakin rizqi itu dari Allah? Apa kamu enggak yakin bahwa Qawwam itu rizqinya dari Allah?" tanya pak Irwan sambil membelai Qawwam yang ada di pangkuan saya.
Mak jleb. Saya tak bisa berkata-kata lagi. Bertahun-tahun saya hidup bersama ibu dan ayah yang selalu menjelaskan bahwa rizqi itu dari Allah, bahkan mereka memberi saya nama Rizqi karena keyakinan tersebut. Bertahun-tahun pula saya ikut pengajian yang di sana saya diajarkan tentang aqidah, bahwa rizqi itu dari Allah. Tapi kata-kata Pak Irwan ini terasa menghunjam ulu hati saya, dalam sekali, hingga membuat saya tak bisa bicara. Hanya menitikkan air mata. Apa yang pak Irwan katakan gak ada yang salah. Semuanya benar.
Keesokan paginya, di rumah, saya dan keluarga sarapan pagi bersama. Kami duduk melingkar. Ada saya, Qassam, Qawwam, dan istri tercinta, Frida Ayu. Mereka sedang lahap memakan sarapan. Saya masih terdiam, teringat kata-kata Pak Irwan tadi malam.
Diamnya saya membuat istri bertanya, "Ada apa, Kak?"
"Tadi malam, Pak Irwan bicara ke Kak Kiki...," saya menjawab, tapi tak tahan menahan tangis. Cukup lama menangis hingga membuat anak-anak berhenti menguyah makanannya.
Setelah agak tenang, saya menyampaikan apa yang Pak Irwan bicarakan.
Setelah itu giliran istri saya yang menangis, hingga terisak-isak.
"Kak, mundur sekarang. Hari ini juga. Ini hidayah untuk keluarga kita. Pak Irwan perantaranya. Enggak usah ditimbang lagi. Datang ke kantor dan bikin surat pengunduran diri," kata istri saya sambil menangis. Mungkin ini adalah tangisan haru. Begitu juga saya.
"Kita harus meluruskan niat Kak, kita datang ke Kalimantan bukan untuk bersenang-senang. Kita punya mimpi membangun sekolah yang kita cita-citakan."
Plong rasanya. Istri mendukung apa yang menjadi rencana saya, rencana yang masih saya simpan dari tadi malam hingga pagi ini.
Ya ini adalah tangisan kebahagiaan karena memilih sesuatu yang mudah dan sulit, dan kami memilih situasi yang sulit, minimal untuk kehidupan ekonomi kami ke depan. Kami tahu bahwa pilihan ini adalah risiko dari apa yang akan kami lakukan. Berat memang.
Cicilan motor belum lunas dan kami hanya mengandalkan gaji istri yang masih CPNS, gaji murni tanpa tunjangan-tunjangan. Padahal ketika kami berdua berpenghasilan dari negara pun, di akhir bulan kami makan seadanya.
Pagi ini terasa begitu indah, seakan kami mendapat tambahan energi entah dari mana datangnya. Kesempatan sarapan pagi ini juga saya manfaatkan untuk menyampaikan ke anak-anak saya tentang rencana itu, meski mereka masih anak-anak, dan mungkin tak paham pilihan yang diambil orang tuanya, tapi mereka tetap berhak mendengar ini.
Saya bukan ingin mengatakan PNS bukan kerjaan yang baik, tapi menjadi PNS seperti saya, yang hanya ingin menerima gaji tapi tak bekerja profesional (nyambi di jam kerja) itu bukanlah hal baik. Menjadi PNS atau karyawan apapun, jika untuk tidak berprestasi sebaiknya tak kita lakukan. Itulah yang dikatakan Pak Irwan semalam, jika tak ada niat untuk berprestasi saat menjadi PNS, untuk apa diteruskan?
Ini juga sebuah pembelajaran untuk murid saya dan anak-anak saya. Karena selama ini mereka melihat saya bekerja dengan cara yang kurang baik. Mendapat gaji dari negara, tapi tidak bekerja dengan optimal di lembaga di mana saya di tempatkan. Jika ini terekam lama dalam otak anak, mereka akan menjadikan ini sebagai pembenaran bagi pilihan salah ini kelak.
"Hidayah itu banyak turun ketika manusia berada di alam terbukan," kata seorang guru pada saya. Dan malam itu saya merasakan hidayah itu turun, bahwa ketika ada pilihan enak dan tidak enak, dan ketika itu pula kami memilih sesuatu yang tidak enak bagi pandangan manusia.
Rizqi Tajuddin
SIT Sahabat Alam
Komentar
Posting Komentar