Shubuh yang dingin di pertengahan bulan Februari saya mendapatkan broadcast pesan dari seorang teman. Tentang acara di pameran yang akan dilakukan oleh Komunitas Pecinta Reptil di sebuah kota. Saya langsung teringat percakapan antara saya dan paman saya KH Hud Abdullah Musa - seorang ulama kharimastik dari Pesantren Persatuan Islam Bangil - tentang hewan peliharaan.
"Bagus mamu, jika kita bisa punya burung seindah itu, akan ada yang menyapa kita di pagi hari dengan suaranya yang merdu dan warnanya yang indah." kata saya sambil membuka obrolan. -Mamu = paman - .
"Tapi, burung itu berhak terbang bebas ki ." jawab paman saya
"Tapi kan kita beri dia sangkar yang indah dan makanan yang bergizi. Apa salahnya ?" saya menyanggah pernyatan beliau
"Sekarang begini, mamu akan bikinkan Kiki rumah yang indah, dan akan disediakan makanan dan minuman yang enak-enak, mainan yang bagus. Tapi ada syaratnya." jawab paman saya.
" Apa syaratnya ?" tanya saya kembali
"Kiki tidak boleh keluar dari rumah itu selamanya." jawab paman saya
"Hmmm ..... " saya mulai berpikir. Saya masih sekolah di SD, jadi mungkin ketika itu umur saya sekitar 10-12 tahun, saya mulai berpikir bisakah kita hidup di rumah mewah dengan semua fasilitasny tapi tanpa boleh keluar dari rumah itu. Mungkin ini permisalan dari paman saya.
"Hmmm, tapi kan ayam, kambing, sapi juga kita pelihara. Kita bikin hewan-hewan itu tidak keluar dari kandangnya dan kita beri makanan yang bergizi juga, sama seperti burung-burung itu kan ?" kata saya lagi.
"Apa manfaat dari memelihara burung, dan apa manfaat memelihara hewan-hewan itu." tanya paman saya lagi, mengajak saya untuk berpikir lebih dalam.
"Yang satu untuk bersenang senang, yang satu untuk kita makan. " jawab saya lagi
"Hewan-heawan itu dipelihara agar kemanfaatannya untuk manusia lebih besar. Kalau bersenang-senang itu keinginan pribadi kita." sanggah paman saya.
Kemudian paman saya bercerita tentang seorang ulama yang membeli burung di pasar, yang kemudian melepaskan semuanya di depan penjualnya. Ulama itu berkata bahwa burung-burung itu harusnya terbang bebas, bukan tersandera dalam sangkar yang kecil itu.
Dialog ini terhenti di sini, dan sejak saat itu tak ada keinginan dalam diri saya untuk memelihara burung, ikan dan binatang lainnya hanya untuk bersenang-senang saja.
Ini juga menginspirasi saya ketika seorang murid kelas 4 membawa monyet peliharaannya ke sekolah Sahabat Alam.
Monyet bernama Bejo ini dibawa ke sekolah dengan diikat lehernya dengan sebuah rantai. Selama 1 hari, anak-anak sibuk dengan monyet yang dibawa oleh anak ini. Ada yang melihat dari dekat, ada yang bertanya siapa namanya, ada juga yang memberi makan.
Kehadiran monyet di sekolah ini menjadi bahan diskusi guru di Sahabat Alam di siang hari ketika semua murid sudah tak ada di sekolah. Kesimpulan dari diskusi adalah, bahwa seharusnya monyet tidak dijadikan hewan peliharaan, harusnya monyet ini dilepasliarkan di alamnya. Kami sepakat bahwa harusnya yang dipelihara adalah hewan-hewan yang manfaatnya bukan hanya untuk bersenang-senang seperti kambing dan sapi yang manfaatnya untuk bahan makanan manusia. Atau seperti kucing dan anjing yang memang dalam memeliharanya dilepaskan tanpa dibatasi oleh kandang atau kerangkeng.
Peristiwa ini kami anggap sebagai momentum emas yang dapat kami jadikan sebagai golden opportunity. Ini bisa dijadikan bahan belajar bagi siswa kita. Dan dari hasil diskusi guru siang itu, kita akan mengadakan kunjungan ke Borneo Orangutan Survival - sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang pelepasliaran orangutan yang berada di Palangka Raya.
Di sini siswa akan melihat bagaimana tim dari BOS mengambil orangutan dari rumah-rumah masyarakat dan mendidiknya agar dapat hidup liar lagi di alam. Memang monyet bukan orang utan, tapi kami ingin menitipkan pesan juga bahwa seharusnya monyet, buaya, kura-kura, iguana, ular tempatnya adalah di alam liar atau di kebun binatang, bukan dipelihara di rumah.
Sebagai sekolah yang bernama Sahabat Alam, harusnya kami memang benar bersahabat dengan alam. Dan persahabatan itu dimulai dari edukasi tentang pelepas liaran hewan-hewan yang seharusnya memang ada di alam liar, bukan di rumah-rumah atau dijadikan pertunjukan.
"Bagus mamu, jika kita bisa punya burung seindah itu, akan ada yang menyapa kita di pagi hari dengan suaranya yang merdu dan warnanya yang indah." kata saya sambil membuka obrolan. -Mamu = paman - .
"Tapi, burung itu berhak terbang bebas ki ." jawab paman saya
"Tapi kan kita beri dia sangkar yang indah dan makanan yang bergizi. Apa salahnya ?" saya menyanggah pernyatan beliau
"Sekarang begini, mamu akan bikinkan Kiki rumah yang indah, dan akan disediakan makanan dan minuman yang enak-enak, mainan yang bagus. Tapi ada syaratnya." jawab paman saya.
" Apa syaratnya ?" tanya saya kembali
"Kiki tidak boleh keluar dari rumah itu selamanya." jawab paman saya
"Hmmm ..... " saya mulai berpikir. Saya masih sekolah di SD, jadi mungkin ketika itu umur saya sekitar 10-12 tahun, saya mulai berpikir bisakah kita hidup di rumah mewah dengan semua fasilitasny tapi tanpa boleh keluar dari rumah itu. Mungkin ini permisalan dari paman saya.
"Hmmm, tapi kan ayam, kambing, sapi juga kita pelihara. Kita bikin hewan-hewan itu tidak keluar dari kandangnya dan kita beri makanan yang bergizi juga, sama seperti burung-burung itu kan ?" kata saya lagi.
"Apa manfaat dari memelihara burung, dan apa manfaat memelihara hewan-hewan itu." tanya paman saya lagi, mengajak saya untuk berpikir lebih dalam.
"Yang satu untuk bersenang senang, yang satu untuk kita makan. " jawab saya lagi
"Hewan-heawan itu dipelihara agar kemanfaatannya untuk manusia lebih besar. Kalau bersenang-senang itu keinginan pribadi kita." sanggah paman saya.
Kemudian paman saya bercerita tentang seorang ulama yang membeli burung di pasar, yang kemudian melepaskan semuanya di depan penjualnya. Ulama itu berkata bahwa burung-burung itu harusnya terbang bebas, bukan tersandera dalam sangkar yang kecil itu.
Dialog ini terhenti di sini, dan sejak saat itu tak ada keinginan dalam diri saya untuk memelihara burung, ikan dan binatang lainnya hanya untuk bersenang-senang saja.
Ini juga menginspirasi saya ketika seorang murid kelas 4 membawa monyet peliharaannya ke sekolah Sahabat Alam.
Monyet bernama Bejo ini dibawa ke sekolah dengan diikat lehernya dengan sebuah rantai. Selama 1 hari, anak-anak sibuk dengan monyet yang dibawa oleh anak ini. Ada yang melihat dari dekat, ada yang bertanya siapa namanya, ada juga yang memberi makan.
Kehadiran monyet di sekolah ini menjadi bahan diskusi guru di Sahabat Alam di siang hari ketika semua murid sudah tak ada di sekolah. Kesimpulan dari diskusi adalah, bahwa seharusnya monyet tidak dijadikan hewan peliharaan, harusnya monyet ini dilepasliarkan di alamnya. Kami sepakat bahwa harusnya yang dipelihara adalah hewan-hewan yang manfaatnya bukan hanya untuk bersenang-senang seperti kambing dan sapi yang manfaatnya untuk bahan makanan manusia. Atau seperti kucing dan anjing yang memang dalam memeliharanya dilepaskan tanpa dibatasi oleh kandang atau kerangkeng.
Peristiwa ini kami anggap sebagai momentum emas yang dapat kami jadikan sebagai golden opportunity. Ini bisa dijadikan bahan belajar bagi siswa kita. Dan dari hasil diskusi guru siang itu, kita akan mengadakan kunjungan ke Borneo Orangutan Survival - sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang pelepasliaran orangutan yang berada di Palangka Raya.
Di sini siswa akan melihat bagaimana tim dari BOS mengambil orangutan dari rumah-rumah masyarakat dan mendidiknya agar dapat hidup liar lagi di alam. Memang monyet bukan orang utan, tapi kami ingin menitipkan pesan juga bahwa seharusnya monyet, buaya, kura-kura, iguana, ular tempatnya adalah di alam liar atau di kebun binatang, bukan dipelihara di rumah.
Sebagai sekolah yang bernama Sahabat Alam, harusnya kami memang benar bersahabat dengan alam. Dan persahabatan itu dimulai dari edukasi tentang pelepas liaran hewan-hewan yang seharusnya memang ada di alam liar, bukan di rumah-rumah atau dijadikan pertunjukan.
Komentar
Posting Komentar