Langsung ke konten utama

28. Mencintai bukan Berarti Memiliki (bukan status galau yaaa)

Shubuh yang dingin di pertengahan bulan Februari saya mendapatkan broadcast pesan dari seorang teman. Tentang acara di pameran yang akan dilakukan oleh Komunitas Pecinta Reptil di sebuah kota. Saya langsung teringat percakapan antara saya dan paman saya KH Hud Abdullah Musa - seorang ulama kharimastik dari Pesantren Persatuan Islam Bangil - tentang hewan peliharaan.
"Bagus mamu, jika kita bisa punya burung seindah itu, akan ada yang menyapa kita di pagi hari dengan suaranya yang merdu dan warnanya yang indah." kata saya sambil membuka obrolan. -Mamu = paman - .
"Tapi, burung itu berhak terbang bebas ki ." jawab paman saya
"Tapi kan kita beri dia sangkar yang indah dan makanan yang bergizi. Apa salahnya ?" saya menyanggah pernyatan beliau
"Sekarang begini, mamu akan bikinkan Kiki rumah yang indah, dan akan disediakan makanan dan minuman yang enak-enak, mainan yang bagus. Tapi ada syaratnya." jawab paman saya.
" Apa syaratnya ?" tanya saya kembali
"Kiki tidak boleh keluar dari rumah itu selamanya." jawab paman saya
"Hmmm ..... " saya mulai berpikir. Saya masih sekolah di SD, jadi mungkin ketika itu umur saya sekitar 10-12 tahun, saya mulai berpikir bisakah kita hidup di rumah mewah dengan semua fasilitasny tapi tanpa boleh keluar dari rumah itu. Mungkin ini permisalan dari paman saya.
"Hmmm, tapi kan ayam, kambing, sapi juga kita pelihara. Kita bikin hewan-hewan itu tidak keluar dari kandangnya dan kita beri makanan yang bergizi juga, sama seperti burung-burung itu kan ?" kata saya lagi.
"Apa manfaat dari memelihara burung, dan apa manfaat memelihara hewan-hewan itu." tanya paman saya lagi, mengajak saya untuk berpikir lebih dalam.
"Yang satu untuk bersenang senang, yang satu untuk kita makan. " jawab saya lagi
"Hewan-heawan itu dipelihara agar kemanfaatannya untuk manusia lebih besar. Kalau bersenang-senang itu keinginan pribadi kita." sanggah paman saya.
Kemudian paman saya bercerita tentang seorang ulama yang membeli burung di pasar, yang kemudian melepaskan semuanya di depan penjualnya. Ulama itu berkata bahwa burung-burung itu harusnya terbang bebas, bukan tersandera dalam sangkar yang kecil itu.
Dialog ini terhenti di sini, dan sejak saat itu tak ada keinginan dalam diri saya untuk memelihara burung, ikan dan binatang lainnya hanya untuk bersenang-senang saja.
Ini juga menginspirasi saya ketika seorang murid kelas 4 membawa monyet peliharaannya ke sekolah Sahabat Alam.
Monyet bernama Bejo ini dibawa ke sekolah dengan diikat lehernya dengan sebuah rantai. Selama 1 hari, anak-anak sibuk dengan monyet yang dibawa oleh anak ini. Ada yang melihat dari dekat, ada yang bertanya siapa namanya, ada juga yang memberi makan.
Kehadiran monyet di sekolah ini menjadi bahan diskusi guru di Sahabat Alam di siang hari ketika semua murid sudah tak ada di sekolah. Kesimpulan dari diskusi adalah, bahwa seharusnya monyet tidak dijadikan hewan peliharaan, harusnya monyet ini dilepasliarkan di alamnya. Kami sepakat bahwa harusnya yang dipelihara adalah hewan-hewan yang manfaatnya bukan hanya untuk bersenang-senang seperti kambing dan sapi yang manfaatnya untuk bahan makanan manusia. Atau seperti kucing dan anjing yang memang dalam memeliharanya dilepaskan tanpa dibatasi oleh kandang atau kerangkeng.
Peristiwa ini kami anggap sebagai momentum emas yang dapat kami jadikan sebagai golden opportunity. Ini bisa dijadikan bahan belajar bagi siswa kita. Dan dari hasil diskusi guru siang itu, kita akan mengadakan kunjungan ke Borneo Orangutan Survival - sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang pelepasliaran orangutan yang berada di Palangka Raya.
Di sini siswa akan melihat bagaimana tim dari BOS mengambil orangutan dari rumah-rumah masyarakat dan mendidiknya agar dapat hidup liar lagi di alam. Memang monyet bukan orang utan, tapi kami ingin menitipkan pesan juga bahwa seharusnya monyet, buaya, kura-kura, iguana, ular tempatnya adalah di alam liar atau di kebun binatang,  bukan dipelihara di rumah.
Sebagai sekolah yang bernama Sahabat Alam, harusnya kami memang benar bersahabat dengan alam. Dan persahabatan itu dimulai dari edukasi tentang pelepas liaran hewan-hewan yang seharusnya memang ada di alam liar, bukan di rumah-rumah atau dijadikan pertunjukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

97. Saatnya Kita Berbenah

Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua. Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian. Pertama, msalah pola asuh Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia. Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif. Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin. Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan. Masih ada guru-gu

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t