"Jangan kejar Sob, jangan. Biarin aja. " teriak Denting dan beberapa temannya melihat Sobri mengejar Fadil.
"Emang kenapa Sobri ngejar Fadil ?" tanya seorang teman pada Denting.
"Fadil ngolok-ngolok Sobri, dia marah. Dia kejar Fadil. Sepertinya mau berkelahi." tegas Denting pada temannya
Saya melihat dari kejauhan. Melihat beberapa teman-teman kecil menghalau Sobri agar tak mengejar Fadil. Sedangkan Fadil lari menuju kelas dan bersembunyi di bawah meja kelas. Sobri gagal dihalau oleh teman-temannya, dan berhasil masuk ke dalam kelas. Dia kejar Fadil dan hampir saja meraih badan Fadil, untungnya Fadil cepat berkelit dan kabur lagi keluar kelas.
Dan, untuk yang kedua kali, teman-teman Fadil menghalangi Sobri agar tak mengejar Fadil. Kali ini mereka berhasil menghalangi Sobri. Dan pertumpahan darah perang saudara di kelas 2 tak terjadi.
Luar biasa saya melihat usaha anak-anak kelas 2 ini. Saya juga melihat Putera dengan bicara terbata-bata mengatakan, "Sudah sob, biarin aja dulu. Jangan marah-marah. Fadil, kamu minta maaf." Padahal sehari-hari, tak jarang Putera menjadi penyebab percekcokan denagn teman-temannya.
Yazid juga sama, meski sambil bermain bola, matanya tetap memandang ke arah Sobri dan Fadil sambil mengatakan, "Sudah Sob, cukup aja. Gak usah dikejar lagi. Nanti Fadil minta maaf kok."
Yang sangat luar biasa adalah Denting. Dia meyakinkan ke Sobri agar tak mengejar Fadil dan juga meyakinkan Fadil agar minta maaf kepada Sobri. Denting meyakinkan bahwa Sobri gak akan marah dan mengejar lagi jika Fadil minta maaf.
"Sudah minta maaf saja cepat. Biar masalah cepat selesai. Lihat Sobri gak ngejar kami lagi. Cepat. Lihat tangan Sobri sudah mau dimintai maaf" kata Denting sambil meyakinkan Fadil bahwa gestur Sobri sudah sangat meyakinkan tidak akan mengejar dan akan menerima maaf Fadil.
Sengaja saya tidak ikut campur urusan ini, karena saya melihat mereka sudah bisa mengatasi masalahnya sendiri. Tentu ini tidak bim salabim seperti bermain sulap. Ini adalah proses dari pembelajaran yang panjang. Bukan satu atau dua hari saja. Kami tidak ikut campur karena kami sudah memiliki keyakinan bahwa model cara menyelesaikan masalah sudah cukup baik mereka terima selama ini.
Di Sahabat ALam, problem solvingi tak diajarkan sebagai salah satu kegiatan game, tapi langsung aplikasi dari masalah yang mereka hadapi. Kalau kita ambil ibroh dari turunnya Quran dan hadist, hampir sebagian besar turun berdasarkan peristiwa yang terjadi pada para sahabat dan rasul sendiri.
Kami mencontohkan pada mereka bagaimana menyelesaikan masalah ketika ada konflik antar teman. Bukan menghindari konflik karena hal itu sesuatu yang tak mungkin. Konflik adalah bagian dari kehidupan kita, itu natural dalam kehidupan makhluk hidup.
Hari ini saya melihat bahwa apa yang kami contohkan pada mereka hari berjalan sesauai dengan apa yang kami harapkan. Mereka belajar dan hari ini mereka mempraktekkan bagaiamna menyelesaikan konflik itu.
Belajar sesungguhnya bukan di dalam kelas, bukan di papan tulis.
Tapi belajar sesungguhnya adalah ketika anak bisa menyelesaikan masalahnya dengan cara yang sepatutnya.
Belajar sesungguhnya haruslah dekat dengan kehidupan nyata, bukan di awang-awang.
Belajar sesungguhnya haruslah menjadikan mereka anak-anak yang santun dan peduli pada keadaan sekitar.
Belajar bukan hanya sekedar belajar matematika, robot dan sains.
Belajar itu bagaimana menjadikan anak-anak sebagai anak-anak penghuni surga.
"Emang kenapa Sobri ngejar Fadil ?" tanya seorang teman pada Denting.
"Fadil ngolok-ngolok Sobri, dia marah. Dia kejar Fadil. Sepertinya mau berkelahi." tegas Denting pada temannya
Saya melihat dari kejauhan. Melihat beberapa teman-teman kecil menghalau Sobri agar tak mengejar Fadil. Sedangkan Fadil lari menuju kelas dan bersembunyi di bawah meja kelas. Sobri gagal dihalau oleh teman-temannya, dan berhasil masuk ke dalam kelas. Dia kejar Fadil dan hampir saja meraih badan Fadil, untungnya Fadil cepat berkelit dan kabur lagi keluar kelas.
Dan, untuk yang kedua kali, teman-teman Fadil menghalangi Sobri agar tak mengejar Fadil. Kali ini mereka berhasil menghalangi Sobri. Dan pertumpahan darah perang saudara di kelas 2 tak terjadi.
Luar biasa saya melihat usaha anak-anak kelas 2 ini. Saya juga melihat Putera dengan bicara terbata-bata mengatakan, "Sudah sob, biarin aja dulu. Jangan marah-marah. Fadil, kamu minta maaf." Padahal sehari-hari, tak jarang Putera menjadi penyebab percekcokan denagn teman-temannya.
Yazid juga sama, meski sambil bermain bola, matanya tetap memandang ke arah Sobri dan Fadil sambil mengatakan, "Sudah Sob, cukup aja. Gak usah dikejar lagi. Nanti Fadil minta maaf kok."
Yang sangat luar biasa adalah Denting. Dia meyakinkan ke Sobri agar tak mengejar Fadil dan juga meyakinkan Fadil agar minta maaf kepada Sobri. Denting meyakinkan bahwa Sobri gak akan marah dan mengejar lagi jika Fadil minta maaf.
"Sudah minta maaf saja cepat. Biar masalah cepat selesai. Lihat Sobri gak ngejar kami lagi. Cepat. Lihat tangan Sobri sudah mau dimintai maaf" kata Denting sambil meyakinkan Fadil bahwa gestur Sobri sudah sangat meyakinkan tidak akan mengejar dan akan menerima maaf Fadil.
Sengaja saya tidak ikut campur urusan ini, karena saya melihat mereka sudah bisa mengatasi masalahnya sendiri. Tentu ini tidak bim salabim seperti bermain sulap. Ini adalah proses dari pembelajaran yang panjang. Bukan satu atau dua hari saja. Kami tidak ikut campur karena kami sudah memiliki keyakinan bahwa model cara menyelesaikan masalah sudah cukup baik mereka terima selama ini.
Di Sahabat ALam, problem solvingi tak diajarkan sebagai salah satu kegiatan game, tapi langsung aplikasi dari masalah yang mereka hadapi. Kalau kita ambil ibroh dari turunnya Quran dan hadist, hampir sebagian besar turun berdasarkan peristiwa yang terjadi pada para sahabat dan rasul sendiri.
Kami mencontohkan pada mereka bagaimana menyelesaikan masalah ketika ada konflik antar teman. Bukan menghindari konflik karena hal itu sesuatu yang tak mungkin. Konflik adalah bagian dari kehidupan kita, itu natural dalam kehidupan makhluk hidup.
Hari ini saya melihat bahwa apa yang kami contohkan pada mereka hari berjalan sesauai dengan apa yang kami harapkan. Mereka belajar dan hari ini mereka mempraktekkan bagaiamna menyelesaikan konflik itu.
Belajar sesungguhnya bukan di dalam kelas, bukan di papan tulis.
Tapi belajar sesungguhnya adalah ketika anak bisa menyelesaikan masalahnya dengan cara yang sepatutnya.
Belajar sesungguhnya haruslah dekat dengan kehidupan nyata, bukan di awang-awang.
Belajar sesungguhnya haruslah menjadikan mereka anak-anak yang santun dan peduli pada keadaan sekitar.
Belajar bukan hanya sekedar belajar matematika, robot dan sains.
Belajar itu bagaimana menjadikan anak-anak sebagai anak-anak penghuni surga.
Komentar
Posting Komentar