Langsung ke konten utama

42. Mereka Juga Manusia Pak .... (catatan razia Satpol PP pada anak jalanan)

Sore di tahun baru Islam 1437 Hijriah, sekitar pukul 16 waktu Surabaya. Dengan mengendari motor tua -Honda astrea grand-  saya mengantar istri ke Hotel Sahid - Gubeng karena ada acara yang harus diiukiti istri di sana. Sore itu cukup panas. Memang, beberapa hari ini di Surabaya suhu udara cukup panas. Bahkan, tidur di malam haripun meski sudang menggunakan kipas angin, tapi kami masih berkeringat. Apalagi di siang dan sore hari. Panasnya pasti lebih menyengat.
Berjalan perlahan karena memang sepeda motor tua ini tak sanggup sudah berlari di atas 50 km/jam. Syukur jika masih bisa melaju 40 km/jam dan tak lepas roda belakangnya. Berangkat dari Karang Menjangan, rumah tinggal kami di Surabaya. Ya, sejak bulan Ramadhan kami pindah ke Surabaya karena istri mendapat tugas belajar di Pendidikan Dokter Spesialis Jiwa di FK Unair. Mungkin sekitar 4-5 tahun kami akan menetap di Surabaya.
Selepas jembatan Gubeng ke arah Delta -seberang taman BMX- , kami melihat ada keributan. Beberapa orang saling berkejaran. Saya sempat memperlambat laju kendaraan yang memang sudah lambat ini. Takut rem yang tidak terlalu pakem ini tak mampu menahan laju kendaraan jika ternyata dibutuhkan berhenti tiba-tiba karena keributan ini. Sebagian orang bahkan berlari mengejar lainnya menyeberangi jalan yang untungnya lalu lintasnya tak terlalu padat. Beberapa berbaju preman, sebagiannya menggunakan seragam Satpol PP Kota Surabaya. Ketika jarak semakin dekat, semakin jelas siapa yang dikejar oleh orang-orang berseragam ini. Anak-ana usia belasan, atau bahkan usia 10-13 tahun. Sebagian bahkan tingginya mungkin sekitar 140 cm, dengan badan yang kurus kering dan pakaian yang kumal.
Sebagian mereka tertangkap, ada juga yang masih dikejar dengan menggunakan sepeda motor trail milik Satpol PP yang jauh lebih baik dari kendaraan yang saya tumpangi. Ada satu anak yang masuk ke dalam halaman sebuah kantor, dari raut mukanya terlihat ketakutan bahkan terlihat akan menangis. Sementara, Satpol PP semakin mendekat. Sebagian lagi tertangkap dengan membawa sebuah gitar kecil. Mungkin yang digunakannya untuk mengamen di jalanan. Satu lagi yang tak lepas dari mata kami adalah seorang anak dengan badan tak sampai 150 cm, dengan badan kurus dipiting oleh seorang Satpol PP. Dikelilingi oleh sekitar 7-8 orang Satpol PP lainnya. Kuncian Satpol PP ini dari trotoar seberang jalan dekat sungai delta hingga ke seberang jalan menuju mobil dinas mereka. Saya tak melihat bahwa anak ini akan dapat melarikan diri dengan kuncian orang yang cukup kuat dan dikelilingi 7-8 orang Satpol PP lainnya.
Saya sempat menhentikan kendaraan dan berkata kepada Satpol PP, "Pak, tak perlu dipukul anak itu. Mereka masih anak-anak !" dan sayapun melanjutkan perjalanan yang sudah sekitar 200 m lagi dari Hotel Sahid. Namun, ada perasaan yang masih mengganjal. Saya masih ingin datang ke Satpol PP dan bicara langsung ke mereka agar tak memperlakukan anak-anak seperti itu. Ada lintasan pikiran untuk datang ke Kantor Walikota untuk menyampaikan ini. Tak perlu bertemu Walikota tentunya, cukup bertemu dengan pimpinan Satpol PP yang bertugas sore ini sudah cukup bagi saya.
Setalah mengantar istri, motor saya pacu lagi ke arah Kantor Walikota. Tentu putar balik dulu di sekitaran jalan Gubeng.
Sampai di dekat Jembatan Delta, saya melihat sekelompok Satpol PP sedang berdiri di sana. Tak perlu ke Kantor Walikota, cukup di sini pikirku.
Kuhentikan motor. Ambil sikap hormat dan langsung bicara.
Saya : Mohon maaf pak, apa perlu razia dengan memukul kepala anak ? Mereka masih belasan umurnya pak.
Satpol PP 1 : Mereka meresahkan warga. Sering membawa pisau, menjambret dll.
Saya : Saya tahu pak. Tapi kan mereka sudah terkunci dan dikelilingi oleh 7-8 orang Satpol PP ? Gak pmungkin mereka melawan pak.
Satpol PP 1 : Kawan kami ada yang pernah ditusuk. Bapak tahu gak itu ? kami ini membela diri sebelum mereka melukai kami
Saya : Ya saya tahu pak, bahwa mereka meresahkan. Tapi apa itu prosedurnya
Satpo PP 1 : Kapan kami memukul ? Bapak salah lihat ! Bapak orang mana ?
Saya : Saya melihat dengan mata kepala saya pak. Ini KTP saya, saya baru di Surabaya
Satpol PP 1 + teman2nya : oh Palangka Raya. Bapak gak tahu siapa mereka. Mereka sering meresahkan warga
Saya : saya pernah pak dicopet. Tapi menurut saya, gak perlu anak-anak itu dipukul kepalanya
Satpol PP 2 : pak, teman kami pernah ditusuk. Apa ada yang mau tanggung jawab kalo kami gak melakukan itu ?
Saya : Pak, apa mungkin anak-anak itu melawan dengan kondisi seperti itu ?
Satpol PP 1 : mungkin saja

Dan perdebatan ini saya rasa tak akan selesai. Saya mempertahankan argumen saya dan mereka (sekitar 15 orang) juga mempertahankan argumen dan alasan mereka.

Saya : ya sudah pak. Tanggung jawab saya sebagai warga negara sudah selesai. Saya sudah menyampaikan. Jika di sini gak bisa, ya mungkin saya akan tulis di koran
Satpol PP 1 + dkk : silahkan pak
Saya : Mari pak. Sore pak.

Kemudian saya melaju lagi menuju rumah melewati Surabaya Plaza, kantor walikota dan menyeberang lagi jembatan di Gubeng hingga akhirnya menulis di blog ini.
Saya lihat, hampir semua tindakan Satpol PP selalu dengan kekerasan. Tak bisa mengedepankan cara-cara yang lebih humanis. Anak-anak itu adalah anak-anak negara, seharusnya mereka dipelihara oleh negara. Dicukupkan sandang panganya. Dibekali otaknya dengan ilmu. Diberi rasa nyaman psikologisnya dan dihormati nilai kemanusiaannya.
Mereka hanyalah anak-anak yang tidak beruntung yang ada di negeri ini, sebagian mungkin bahkan tak pernah merasakan manisnya diasuh oleh seorang ayah. Tak mungkin berharap mereka bisa berubah dalam 1-2 kali tangkap. Apalagi dengan menggunakan kekerasan.
Pedih rasanya, karena mungkin kita bagian dari warga negara yang membiarkan anak-anak itu tak mendapatkan haknya. Atau bahkan kita juga memaki mereka, mengejek mereka ketika mereka tertangkap atau bahkan bertepuk tangan.
Saya pernah melihat soerang anak jalanan yang tidur di atas rumput di depan Terminal Bungurasih. Siang hari. Di panasnya kota Surabaya. Tangannya dimasukkan di dalam celana, memegang -maaf- penisnya. Maaf. Ini adalah cara untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman secara psikologis. Karena hak dasar mereka untuk mendapatkan raasa aman dan nyaman itu tak pernah ditunaikan oleh negara dan warga negara seperti kita.
Bayangkan jika mereka adalah anak-anak kita, ponakan kita, saudara kita. Tapi mereka bukan siapa-siapa kita, dan kita menganggap kita boleh tak peduli dengan mereka karena mereka bukan siapa-siapa. Mereka hanya anak jalanan.
Saya juga tak bisa menyalahkan 100% Satpol PP. Panasnya kota, perlawanan anak-anak itu, bahaya yang mengancam nyawa Satpol PP juga yang akhirnya mereka berbuat seperti itu. Tak pantas juga kita mengecam Satpol PP. Apakah mereka sudah mendapatkan pendidikan sebagai petugas yang mumpuni ? apakah kita pernah mengusulkan pada wakil rakyat agar membuat prioritas agar Satpol PP dilatih dengan lebih profesional ?
Satpol PP juga manusia. Mereka mungkin kesal karena mengapa anak-anak ini kembali lagi di jalanan ? Mana tugas dari Dinas-dinas lain untuk mendidik mereka ? Berapa banyak panti-panti yang disiapkan oleh negara ?Berapa banyak petugas sosial yang disiapkan untuk mendidik anak-anak itu ? Benarkah cara mereka mendidik anak-anak itu ? dll.

Komentar

  1. Semoga dibaca dan ditindaklanjuti yang berwenang!
    Makin bagus tulisan dan bahasanya!
    Practice makes perfect.

    BalasHapus
  2. Semoga dibaca dan ditindaklanjuti yang berwenang!
    Makin bagus tulisan dan bahasanya!
    Practice makes perfect.

    BalasHapus
  3. Semakin mantang, bersyukur anak2 saya bisa jadi bagian dari pengasuhan sit sahabat alam. Sering di jenguk sekolahnya pak riski, masih banyak perlu sosok pendidik seperti pak riski

    BalasHapus
  4. terima kaasih telah membaca artikel ini. semoga dapat bermanfaat

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

97. Saatnya Kita Berbenah

Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua. Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian. Pertama, msalah pola asuh Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia. Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif. Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin. Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan. Masih ada guru-gu

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t