Sore di tahun baru Islam 1437 Hijriah, sekitar pukul 16 waktu Surabaya. Dengan mengendari motor tua -Honda astrea grand- saya mengantar istri ke Hotel Sahid - Gubeng karena ada acara yang harus diiukiti istri di sana. Sore itu cukup panas. Memang, beberapa hari ini di Surabaya suhu udara cukup panas. Bahkan, tidur di malam haripun meski sudang menggunakan kipas angin, tapi kami masih berkeringat. Apalagi di siang dan sore hari. Panasnya pasti lebih menyengat.
Berjalan perlahan karena memang sepeda motor tua ini tak sanggup sudah berlari di atas 50 km/jam. Syukur jika masih bisa melaju 40 km/jam dan tak lepas roda belakangnya. Berangkat dari Karang Menjangan, rumah tinggal kami di Surabaya. Ya, sejak bulan Ramadhan kami pindah ke Surabaya karena istri mendapat tugas belajar di Pendidikan Dokter Spesialis Jiwa di FK Unair. Mungkin sekitar 4-5 tahun kami akan menetap di Surabaya.
Selepas jembatan Gubeng ke arah Delta -seberang taman BMX- , kami melihat ada keributan. Beberapa orang saling berkejaran. Saya sempat memperlambat laju kendaraan yang memang sudah lambat ini. Takut rem yang tidak terlalu pakem ini tak mampu menahan laju kendaraan jika ternyata dibutuhkan berhenti tiba-tiba karena keributan ini. Sebagian orang bahkan berlari mengejar lainnya menyeberangi jalan yang untungnya lalu lintasnya tak terlalu padat. Beberapa berbaju preman, sebagiannya menggunakan seragam Satpol PP Kota Surabaya. Ketika jarak semakin dekat, semakin jelas siapa yang dikejar oleh orang-orang berseragam ini. Anak-ana usia belasan, atau bahkan usia 10-13 tahun. Sebagian bahkan tingginya mungkin sekitar 140 cm, dengan badan yang kurus kering dan pakaian yang kumal.
Sebagian mereka tertangkap, ada juga yang masih dikejar dengan menggunakan sepeda motor trail milik Satpol PP yang jauh lebih baik dari kendaraan yang saya tumpangi. Ada satu anak yang masuk ke dalam halaman sebuah kantor, dari raut mukanya terlihat ketakutan bahkan terlihat akan menangis. Sementara, Satpol PP semakin mendekat. Sebagian lagi tertangkap dengan membawa sebuah gitar kecil. Mungkin yang digunakannya untuk mengamen di jalanan. Satu lagi yang tak lepas dari mata kami adalah seorang anak dengan badan tak sampai 150 cm, dengan badan kurus dipiting oleh seorang Satpol PP. Dikelilingi oleh sekitar 7-8 orang Satpol PP lainnya. Kuncian Satpol PP ini dari trotoar seberang jalan dekat sungai delta hingga ke seberang jalan menuju mobil dinas mereka. Saya tak melihat bahwa anak ini akan dapat melarikan diri dengan kuncian orang yang cukup kuat dan dikelilingi 7-8 orang Satpol PP lainnya.
Saya sempat menhentikan kendaraan dan berkata kepada Satpol PP, "Pak, tak perlu dipukul anak itu. Mereka masih anak-anak !" dan sayapun melanjutkan perjalanan yang sudah sekitar 200 m lagi dari Hotel Sahid. Namun, ada perasaan yang masih mengganjal. Saya masih ingin datang ke Satpol PP dan bicara langsung ke mereka agar tak memperlakukan anak-anak seperti itu. Ada lintasan pikiran untuk datang ke Kantor Walikota untuk menyampaikan ini. Tak perlu bertemu Walikota tentunya, cukup bertemu dengan pimpinan Satpol PP yang bertugas sore ini sudah cukup bagi saya.
Setalah mengantar istri, motor saya pacu lagi ke arah Kantor Walikota. Tentu putar balik dulu di sekitaran jalan Gubeng.
Sampai di dekat Jembatan Delta, saya melihat sekelompok Satpol PP sedang berdiri di sana. Tak perlu ke Kantor Walikota, cukup di sini pikirku.
Kuhentikan motor. Ambil sikap hormat dan langsung bicara.
Saya : Mohon maaf pak, apa perlu razia dengan memukul kepala anak ? Mereka masih belasan umurnya pak.
Satpol PP 1 : Mereka meresahkan warga. Sering membawa pisau, menjambret dll.
Saya : Saya tahu pak. Tapi kan mereka sudah terkunci dan dikelilingi oleh 7-8 orang Satpol PP ? Gak pmungkin mereka melawan pak.
Satpol PP 1 : Kawan kami ada yang pernah ditusuk. Bapak tahu gak itu ? kami ini membela diri sebelum mereka melukai kami
Saya : Ya saya tahu pak, bahwa mereka meresahkan. Tapi apa itu prosedurnya
Satpo PP 1 : Kapan kami memukul ? Bapak salah lihat ! Bapak orang mana ?
Saya : Saya melihat dengan mata kepala saya pak. Ini KTP saya, saya baru di Surabaya
Satpol PP 1 + teman2nya : oh Palangka Raya. Bapak gak tahu siapa mereka. Mereka sering meresahkan warga
Saya : saya pernah pak dicopet. Tapi menurut saya, gak perlu anak-anak itu dipukul kepalanya
Satpol PP 2 : pak, teman kami pernah ditusuk. Apa ada yang mau tanggung jawab kalo kami gak melakukan itu ?
Saya : Pak, apa mungkin anak-anak itu melawan dengan kondisi seperti itu ?
Satpol PP 1 : mungkin saja
Dan perdebatan ini saya rasa tak akan selesai. Saya mempertahankan argumen saya dan mereka (sekitar 15 orang) juga mempertahankan argumen dan alasan mereka.
Saya : ya sudah pak. Tanggung jawab saya sebagai warga negara sudah selesai. Saya sudah menyampaikan. Jika di sini gak bisa, ya mungkin saya akan tulis di koran
Satpol PP 1 + dkk : silahkan pak
Saya : Mari pak. Sore pak.
Kemudian saya melaju lagi menuju rumah melewati Surabaya Plaza, kantor walikota dan menyeberang lagi jembatan di Gubeng hingga akhirnya menulis di blog ini.
Saya lihat, hampir semua tindakan Satpol PP selalu dengan kekerasan. Tak bisa mengedepankan cara-cara yang lebih humanis. Anak-anak itu adalah anak-anak negara, seharusnya mereka dipelihara oleh negara. Dicukupkan sandang panganya. Dibekali otaknya dengan ilmu. Diberi rasa nyaman psikologisnya dan dihormati nilai kemanusiaannya.
Mereka hanyalah anak-anak yang tidak beruntung yang ada di negeri ini, sebagian mungkin bahkan tak pernah merasakan manisnya diasuh oleh seorang ayah. Tak mungkin berharap mereka bisa berubah dalam 1-2 kali tangkap. Apalagi dengan menggunakan kekerasan.
Pedih rasanya, karena mungkin kita bagian dari warga negara yang membiarkan anak-anak itu tak mendapatkan haknya. Atau bahkan kita juga memaki mereka, mengejek mereka ketika mereka tertangkap atau bahkan bertepuk tangan.
Saya pernah melihat soerang anak jalanan yang tidur di atas rumput di depan Terminal Bungurasih. Siang hari. Di panasnya kota Surabaya. Tangannya dimasukkan di dalam celana, memegang -maaf- penisnya. Maaf. Ini adalah cara untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman secara psikologis. Karena hak dasar mereka untuk mendapatkan raasa aman dan nyaman itu tak pernah ditunaikan oleh negara dan warga negara seperti kita.
Bayangkan jika mereka adalah anak-anak kita, ponakan kita, saudara kita. Tapi mereka bukan siapa-siapa kita, dan kita menganggap kita boleh tak peduli dengan mereka karena mereka bukan siapa-siapa. Mereka hanya anak jalanan.
Saya juga tak bisa menyalahkan 100% Satpol PP. Panasnya kota, perlawanan anak-anak itu, bahaya yang mengancam nyawa Satpol PP juga yang akhirnya mereka berbuat seperti itu. Tak pantas juga kita mengecam Satpol PP. Apakah mereka sudah mendapatkan pendidikan sebagai petugas yang mumpuni ? apakah kita pernah mengusulkan pada wakil rakyat agar membuat prioritas agar Satpol PP dilatih dengan lebih profesional ?
Satpol PP juga manusia. Mereka mungkin kesal karena mengapa anak-anak ini kembali lagi di jalanan ? Mana tugas dari Dinas-dinas lain untuk mendidik mereka ? Berapa banyak panti-panti yang disiapkan oleh negara ?Berapa banyak petugas sosial yang disiapkan untuk mendidik anak-anak itu ? Benarkah cara mereka mendidik anak-anak itu ? dll.
Berjalan perlahan karena memang sepeda motor tua ini tak sanggup sudah berlari di atas 50 km/jam. Syukur jika masih bisa melaju 40 km/jam dan tak lepas roda belakangnya. Berangkat dari Karang Menjangan, rumah tinggal kami di Surabaya. Ya, sejak bulan Ramadhan kami pindah ke Surabaya karena istri mendapat tugas belajar di Pendidikan Dokter Spesialis Jiwa di FK Unair. Mungkin sekitar 4-5 tahun kami akan menetap di Surabaya.
Selepas jembatan Gubeng ke arah Delta -seberang taman BMX- , kami melihat ada keributan. Beberapa orang saling berkejaran. Saya sempat memperlambat laju kendaraan yang memang sudah lambat ini. Takut rem yang tidak terlalu pakem ini tak mampu menahan laju kendaraan jika ternyata dibutuhkan berhenti tiba-tiba karena keributan ini. Sebagian orang bahkan berlari mengejar lainnya menyeberangi jalan yang untungnya lalu lintasnya tak terlalu padat. Beberapa berbaju preman, sebagiannya menggunakan seragam Satpol PP Kota Surabaya. Ketika jarak semakin dekat, semakin jelas siapa yang dikejar oleh orang-orang berseragam ini. Anak-ana usia belasan, atau bahkan usia 10-13 tahun. Sebagian bahkan tingginya mungkin sekitar 140 cm, dengan badan yang kurus kering dan pakaian yang kumal.
Sebagian mereka tertangkap, ada juga yang masih dikejar dengan menggunakan sepeda motor trail milik Satpol PP yang jauh lebih baik dari kendaraan yang saya tumpangi. Ada satu anak yang masuk ke dalam halaman sebuah kantor, dari raut mukanya terlihat ketakutan bahkan terlihat akan menangis. Sementara, Satpol PP semakin mendekat. Sebagian lagi tertangkap dengan membawa sebuah gitar kecil. Mungkin yang digunakannya untuk mengamen di jalanan. Satu lagi yang tak lepas dari mata kami adalah seorang anak dengan badan tak sampai 150 cm, dengan badan kurus dipiting oleh seorang Satpol PP. Dikelilingi oleh sekitar 7-8 orang Satpol PP lainnya. Kuncian Satpol PP ini dari trotoar seberang jalan dekat sungai delta hingga ke seberang jalan menuju mobil dinas mereka. Saya tak melihat bahwa anak ini akan dapat melarikan diri dengan kuncian orang yang cukup kuat dan dikelilingi 7-8 orang Satpol PP lainnya.
Saya sempat menhentikan kendaraan dan berkata kepada Satpol PP, "Pak, tak perlu dipukul anak itu. Mereka masih anak-anak !" dan sayapun melanjutkan perjalanan yang sudah sekitar 200 m lagi dari Hotel Sahid. Namun, ada perasaan yang masih mengganjal. Saya masih ingin datang ke Satpol PP dan bicara langsung ke mereka agar tak memperlakukan anak-anak seperti itu. Ada lintasan pikiran untuk datang ke Kantor Walikota untuk menyampaikan ini. Tak perlu bertemu Walikota tentunya, cukup bertemu dengan pimpinan Satpol PP yang bertugas sore ini sudah cukup bagi saya.
Setalah mengantar istri, motor saya pacu lagi ke arah Kantor Walikota. Tentu putar balik dulu di sekitaran jalan Gubeng.
Sampai di dekat Jembatan Delta, saya melihat sekelompok Satpol PP sedang berdiri di sana. Tak perlu ke Kantor Walikota, cukup di sini pikirku.
Kuhentikan motor. Ambil sikap hormat dan langsung bicara.
Saya : Mohon maaf pak, apa perlu razia dengan memukul kepala anak ? Mereka masih belasan umurnya pak.
Satpol PP 1 : Mereka meresahkan warga. Sering membawa pisau, menjambret dll.
Saya : Saya tahu pak. Tapi kan mereka sudah terkunci dan dikelilingi oleh 7-8 orang Satpol PP ? Gak pmungkin mereka melawan pak.
Satpol PP 1 : Kawan kami ada yang pernah ditusuk. Bapak tahu gak itu ? kami ini membela diri sebelum mereka melukai kami
Saya : Ya saya tahu pak, bahwa mereka meresahkan. Tapi apa itu prosedurnya
Satpo PP 1 : Kapan kami memukul ? Bapak salah lihat ! Bapak orang mana ?
Saya : Saya melihat dengan mata kepala saya pak. Ini KTP saya, saya baru di Surabaya
Satpol PP 1 + teman2nya : oh Palangka Raya. Bapak gak tahu siapa mereka. Mereka sering meresahkan warga
Saya : saya pernah pak dicopet. Tapi menurut saya, gak perlu anak-anak itu dipukul kepalanya
Satpol PP 2 : pak, teman kami pernah ditusuk. Apa ada yang mau tanggung jawab kalo kami gak melakukan itu ?
Saya : Pak, apa mungkin anak-anak itu melawan dengan kondisi seperti itu ?
Satpol PP 1 : mungkin saja
Dan perdebatan ini saya rasa tak akan selesai. Saya mempertahankan argumen saya dan mereka (sekitar 15 orang) juga mempertahankan argumen dan alasan mereka.
Saya : ya sudah pak. Tanggung jawab saya sebagai warga negara sudah selesai. Saya sudah menyampaikan. Jika di sini gak bisa, ya mungkin saya akan tulis di koran
Satpol PP 1 + dkk : silahkan pak
Saya : Mari pak. Sore pak.
Kemudian saya melaju lagi menuju rumah melewati Surabaya Plaza, kantor walikota dan menyeberang lagi jembatan di Gubeng hingga akhirnya menulis di blog ini.
Saya lihat, hampir semua tindakan Satpol PP selalu dengan kekerasan. Tak bisa mengedepankan cara-cara yang lebih humanis. Anak-anak itu adalah anak-anak negara, seharusnya mereka dipelihara oleh negara. Dicukupkan sandang panganya. Dibekali otaknya dengan ilmu. Diberi rasa nyaman psikologisnya dan dihormati nilai kemanusiaannya.
Mereka hanyalah anak-anak yang tidak beruntung yang ada di negeri ini, sebagian mungkin bahkan tak pernah merasakan manisnya diasuh oleh seorang ayah. Tak mungkin berharap mereka bisa berubah dalam 1-2 kali tangkap. Apalagi dengan menggunakan kekerasan.
Pedih rasanya, karena mungkin kita bagian dari warga negara yang membiarkan anak-anak itu tak mendapatkan haknya. Atau bahkan kita juga memaki mereka, mengejek mereka ketika mereka tertangkap atau bahkan bertepuk tangan.
Saya pernah melihat soerang anak jalanan yang tidur di atas rumput di depan Terminal Bungurasih. Siang hari. Di panasnya kota Surabaya. Tangannya dimasukkan di dalam celana, memegang -maaf- penisnya. Maaf. Ini adalah cara untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman secara psikologis. Karena hak dasar mereka untuk mendapatkan raasa aman dan nyaman itu tak pernah ditunaikan oleh negara dan warga negara seperti kita.
Bayangkan jika mereka adalah anak-anak kita, ponakan kita, saudara kita. Tapi mereka bukan siapa-siapa kita, dan kita menganggap kita boleh tak peduli dengan mereka karena mereka bukan siapa-siapa. Mereka hanya anak jalanan.
Saya juga tak bisa menyalahkan 100% Satpol PP. Panasnya kota, perlawanan anak-anak itu, bahaya yang mengancam nyawa Satpol PP juga yang akhirnya mereka berbuat seperti itu. Tak pantas juga kita mengecam Satpol PP. Apakah mereka sudah mendapatkan pendidikan sebagai petugas yang mumpuni ? apakah kita pernah mengusulkan pada wakil rakyat agar membuat prioritas agar Satpol PP dilatih dengan lebih profesional ?
Satpol PP juga manusia. Mereka mungkin kesal karena mengapa anak-anak ini kembali lagi di jalanan ? Mana tugas dari Dinas-dinas lain untuk mendidik mereka ? Berapa banyak panti-panti yang disiapkan oleh negara ?Berapa banyak petugas sosial yang disiapkan untuk mendidik anak-anak itu ? Benarkah cara mereka mendidik anak-anak itu ? dll.
Semoga dibaca dan ditindaklanjuti yang berwenang!
BalasHapusMakin bagus tulisan dan bahasanya!
Practice makes perfect.
Semoga dibaca dan ditindaklanjuti yang berwenang!
BalasHapusMakin bagus tulisan dan bahasanya!
Practice makes perfect.
Semakin mantang, bersyukur anak2 saya bisa jadi bagian dari pengasuhan sit sahabat alam. Sering di jenguk sekolahnya pak riski, masih banyak perlu sosok pendidik seperti pak riski
BalasHapusterima kaasih telah membaca artikel ini. semoga dapat bermanfaat
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus