"Untuk apa lagi aku ke dokter ? Dokter apa bunda ?"
Pertanyaan dari Qassam ini muncul ketika kami sampaikan bahwa pekan depan Qassam akan kami bawa ke dokter bedah saraf anak di Graha Amerta RS Dr Soetomo Surabaya. Ya, Qassam akan kami konsulkan ke dokter bedah saraf atas saran dokter anak endokrin di Soetomo. Sejak 2010 Qassam kami mulai tahu bahwa ada yang berbeda dari pertumbuhan Qassam. Qassam menderita kelaianan hormonal yang disebut prekoks pubertas, atau disebut juga pubertas dini karena adanya "sesuatu" di otaknya. Agustus 2015 Qassam sudah 6 kali menjalankan pemeriksaan dengan MRI. Dan karena hasil MRI terakhir ini, dokter anak memutuskan agar kami konsul ke dokter bedah saraf. Di MRI terakhir ini, semakin jelas adanya pembesaran di sekitar kelenjar hipofisenya (kelenjar yang mengontrol hormon pertumbuhan). Dan menurut beliau, perlu adanya tindakan dari dokter bedah saraf.
Setelah janji melalui whatsapp, kami bertemu dengan dokter bedah saraf di Graha Amerta. Kami bawa juga Qassam. Kami tak ingin menutup-nutupi apa yang diderita dirinya. Karena menutupinyapun tak akan membawa perubahan menurut kami. Qassama akan semakin bertanya-tanya mengapa harus MRI 6 bulan sekali, mengapa harus disuntik hormon 3 bulan sekali dan mengapa harus rontgen untuk mengetahui umur tulangnya setiap 1 tahun sekali. Dia harus tahu apa yang terjadi pada dirinya.
Nama Qassam dipanggil dan kami masuk ke dalam ruang periksa. Dingin dan harum dalam ruangan itu. Ada meja kecil ukuran anak TK dan ada meja dokter dengan 2 kursi untuk pasien dan keluarganya di seberang meja. Kami bertiga. Qassam duduk 2 meter di samping kami, duduk di kursi TK berwarna hijau.
Dengan sangat sopan dan lembut, dokter itu bertanya "Apa yang bisa saya bantu ?"
"Ini dokter, kami diminta bertemu dokter, oleh dr FY (dokter anak). Konsul mengenai hasil MRI anak kami dok." Bunda Qassam mengawali pembicaraan.
"Baik ibu. Ada hasil MRI nya ?
Kami berikan beberapa hasil MRI. Beliau mengambil 2 yang terakhir dan kemudian membacanya sambil mengangguk-angguk.
"Baik ibu, bapak. Boleh saya bertanya ?"
"Silahkan dokter " jawab saya
"Apakah selama ini ada gangguan psikologis dari ananda ? Misal minder karena tubuhnya lebih besar dibanding usianya. Atau malu berteman. Atau ada hambatan akademis misalnya ?" tanya dokter itu
"Sejauh ini nggak ada dok. Dia banyak teman, dia mudah bergaul dan untuk akademis, seprtinya tak ada masalah yang berarti."
"Bagaimana dengan penglihatannya ? Apakah ada gangguan ? Atau dampak lain selain hormonalnya ?"
"Sejauh ini nggak ada dok" jawab kami lagi.
"Baik ibu/bapak. Jadi begini .... bla bla bla.." dokterpun menjelaskan keuntungan dan resiko jika dilakukan operasi pada bagian otak Qassam. Panjang beliau menjelaskan. Bahkan hingga membuat ilustrasi di kertas tentang resiko-resikonya. Cukup jelas bagi saya yang awam memahami apa yang dijelaskan oleh sang dokter.
Intinya, Qassam tidak akan dioperasi karena resikonya jauh lebih besar daripada keuntungan yang didapat. Apalagi Qassam juga tak mengalami hambatan di psiologis, fisik maupun kognitifnya.
Sepanjang kami diskusi dengan dokter, sesekali mata saya melihat apa yang dikerjakan Qassam. Matanya menari-nari melihat seluruh isi ruangan. Tangannya kadang mengetuk-ngetuk meja, menjadikan meja bak ketipung. Dan kadang juga matanya menatap kosong. Saya yakin apa yang kami bicarakan tak akan dipahami anak yang usianya hampir 9 tahun ini. Terlalu rumit bagi dia mengerti apa yang disampaikan dokter ini.
Sesampai di rumah, kami goda dia dengan mengatakan bahwa dokter minta dia dioperasi.
Terkecengang kami dengan jawaban Qassam.
"Ayah bunda jangan bohong. Dokternya tadi bilang kalau aku gak perlu dioperasi."
"Loh kenapa ?" tanya kami
"pertama, aku masih bisa punya teman. Terus bahaya operasi itu bisa bikin aku kencing 6-10 L sehari seumur hidupku. Dokternya juga bilang, kalo ada gangguan di mataku (penglihatan) baru disuruh datang lagi dan mungkin nanti operasi. Nah, sekarang aku masih baik-baik aja. Dokternya cuma minta foto otak (MRI) 1 tahun sekali kan untuk lihat "sesuatu" di otakku itu membesar apa enggak. Betul kan aku ?" Qassam menjelaskan begitu lancar apa yang disampaikan dokter bedah saraf dengan bahasa yang dipahaminya
"Bagaimana kamu tahu itu ?" tanya kami dengan takjub
"Ya tahulah. Mataku emang muter-muter tapi aku dengerin dokternya ngomong apa. Aku tahu semua/" jawabnya.
Beruntung kami memiliki anak seperti ini. Bisa mengungkapkan apa yang dia rasakan, mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Memang selama ini kami juga mengajaknya diskusi tentang kelainan hormonal yang ada dala dirinya. Mengapa dirinya selalu menjalani MRI 1 tahun sekali atau mengapa disuntik hormon untuk menghambat laju pertumbuhannya. Tak ada yang kami simpan. Tentu dengan bahasa yang dimengerti dan mudah dipahami. Kami sesuaikan dengan usianya tentunya.
Mungkin bagi orang tua lain, ada yang merasa harus menutupinya dan mengatakan tidak ada apa-apa dalam diri anaknya. Tapi kami memilih untuk terbuka padanya. Tidak menjadikan kelaianan itu sebagai penderitaan tapi kami anggap sebagai anugrah dia untuk mendapat pahala karena kesababarannya. Tak pernah kami menangis di depannya karena masalah ini. Kami tak ingin dia cengeng dengan ujian yang dihadapinya.
Dan alhamdulillah sejauh ini, dia tampak bahagia dan ceria dalam hidupnya. Mungkin nervosu atau takut ketika akan MRI, itu masih dalam batas kewajaran. Dan biasanya dia akan mengungkapkan kecemasannya ketika akan MRI.
Ini adalah pilihan. Dan kami memilih cara ini. Menghadapi tantangan dan ujian dari Tuhan bersama. Bukan menghindar atau marah dengan apa yang terjadi.
Pertanyaan dari Qassam ini muncul ketika kami sampaikan bahwa pekan depan Qassam akan kami bawa ke dokter bedah saraf anak di Graha Amerta RS Dr Soetomo Surabaya. Ya, Qassam akan kami konsulkan ke dokter bedah saraf atas saran dokter anak endokrin di Soetomo. Sejak 2010 Qassam kami mulai tahu bahwa ada yang berbeda dari pertumbuhan Qassam. Qassam menderita kelaianan hormonal yang disebut prekoks pubertas, atau disebut juga pubertas dini karena adanya "sesuatu" di otaknya. Agustus 2015 Qassam sudah 6 kali menjalankan pemeriksaan dengan MRI. Dan karena hasil MRI terakhir ini, dokter anak memutuskan agar kami konsul ke dokter bedah saraf. Di MRI terakhir ini, semakin jelas adanya pembesaran di sekitar kelenjar hipofisenya (kelenjar yang mengontrol hormon pertumbuhan). Dan menurut beliau, perlu adanya tindakan dari dokter bedah saraf.
Setelah janji melalui whatsapp, kami bertemu dengan dokter bedah saraf di Graha Amerta. Kami bawa juga Qassam. Kami tak ingin menutup-nutupi apa yang diderita dirinya. Karena menutupinyapun tak akan membawa perubahan menurut kami. Qassama akan semakin bertanya-tanya mengapa harus MRI 6 bulan sekali, mengapa harus disuntik hormon 3 bulan sekali dan mengapa harus rontgen untuk mengetahui umur tulangnya setiap 1 tahun sekali. Dia harus tahu apa yang terjadi pada dirinya.
Nama Qassam dipanggil dan kami masuk ke dalam ruang periksa. Dingin dan harum dalam ruangan itu. Ada meja kecil ukuran anak TK dan ada meja dokter dengan 2 kursi untuk pasien dan keluarganya di seberang meja. Kami bertiga. Qassam duduk 2 meter di samping kami, duduk di kursi TK berwarna hijau.
Dengan sangat sopan dan lembut, dokter itu bertanya "Apa yang bisa saya bantu ?"
"Ini dokter, kami diminta bertemu dokter, oleh dr FY (dokter anak). Konsul mengenai hasil MRI anak kami dok." Bunda Qassam mengawali pembicaraan.
"Baik ibu. Ada hasil MRI nya ?
Kami berikan beberapa hasil MRI. Beliau mengambil 2 yang terakhir dan kemudian membacanya sambil mengangguk-angguk.
"Baik ibu, bapak. Boleh saya bertanya ?"
"Silahkan dokter " jawab saya
"Apakah selama ini ada gangguan psikologis dari ananda ? Misal minder karena tubuhnya lebih besar dibanding usianya. Atau malu berteman. Atau ada hambatan akademis misalnya ?" tanya dokter itu
"Sejauh ini nggak ada dok. Dia banyak teman, dia mudah bergaul dan untuk akademis, seprtinya tak ada masalah yang berarti."
"Bagaimana dengan penglihatannya ? Apakah ada gangguan ? Atau dampak lain selain hormonalnya ?"
"Sejauh ini nggak ada dok" jawab kami lagi.
"Baik ibu/bapak. Jadi begini .... bla bla bla.." dokterpun menjelaskan keuntungan dan resiko jika dilakukan operasi pada bagian otak Qassam. Panjang beliau menjelaskan. Bahkan hingga membuat ilustrasi di kertas tentang resiko-resikonya. Cukup jelas bagi saya yang awam memahami apa yang dijelaskan oleh sang dokter.
Intinya, Qassam tidak akan dioperasi karena resikonya jauh lebih besar daripada keuntungan yang didapat. Apalagi Qassam juga tak mengalami hambatan di psiologis, fisik maupun kognitifnya.
Sepanjang kami diskusi dengan dokter, sesekali mata saya melihat apa yang dikerjakan Qassam. Matanya menari-nari melihat seluruh isi ruangan. Tangannya kadang mengetuk-ngetuk meja, menjadikan meja bak ketipung. Dan kadang juga matanya menatap kosong. Saya yakin apa yang kami bicarakan tak akan dipahami anak yang usianya hampir 9 tahun ini. Terlalu rumit bagi dia mengerti apa yang disampaikan dokter ini.
Sesampai di rumah, kami goda dia dengan mengatakan bahwa dokter minta dia dioperasi.
Terkecengang kami dengan jawaban Qassam.
"Ayah bunda jangan bohong. Dokternya tadi bilang kalau aku gak perlu dioperasi."
"Loh kenapa ?" tanya kami
"pertama, aku masih bisa punya teman. Terus bahaya operasi itu bisa bikin aku kencing 6-10 L sehari seumur hidupku. Dokternya juga bilang, kalo ada gangguan di mataku (penglihatan) baru disuruh datang lagi dan mungkin nanti operasi. Nah, sekarang aku masih baik-baik aja. Dokternya cuma minta foto otak (MRI) 1 tahun sekali kan untuk lihat "sesuatu" di otakku itu membesar apa enggak. Betul kan aku ?" Qassam menjelaskan begitu lancar apa yang disampaikan dokter bedah saraf dengan bahasa yang dipahaminya
"Bagaimana kamu tahu itu ?" tanya kami dengan takjub
"Ya tahulah. Mataku emang muter-muter tapi aku dengerin dokternya ngomong apa. Aku tahu semua/" jawabnya.
Beruntung kami memiliki anak seperti ini. Bisa mengungkapkan apa yang dia rasakan, mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Memang selama ini kami juga mengajaknya diskusi tentang kelainan hormonal yang ada dala dirinya. Mengapa dirinya selalu menjalani MRI 1 tahun sekali atau mengapa disuntik hormon untuk menghambat laju pertumbuhannya. Tak ada yang kami simpan. Tentu dengan bahasa yang dimengerti dan mudah dipahami. Kami sesuaikan dengan usianya tentunya.
Mungkin bagi orang tua lain, ada yang merasa harus menutupinya dan mengatakan tidak ada apa-apa dalam diri anaknya. Tapi kami memilih untuk terbuka padanya. Tidak menjadikan kelaianan itu sebagai penderitaan tapi kami anggap sebagai anugrah dia untuk mendapat pahala karena kesababarannya. Tak pernah kami menangis di depannya karena masalah ini. Kami tak ingin dia cengeng dengan ujian yang dihadapinya.
Dan alhamdulillah sejauh ini, dia tampak bahagia dan ceria dalam hidupnya. Mungkin nervosu atau takut ketika akan MRI, itu masih dalam batas kewajaran. Dan biasanya dia akan mengungkapkan kecemasannya ketika akan MRI.
Ini adalah pilihan. Dan kami memilih cara ini. Menghadapi tantangan dan ujian dari Tuhan bersama. Bukan menghindar atau marah dengan apa yang terjadi.
Komentar
Posting Komentar