Seorang ayah muda bersama istrinya datang pagi ini ke
sekolah yang sederhana. Duduk di sofa ruang
tamu sekolah yang jauh dari kesan mewah.
Ruang tamu yang hanya bersekat almari tua dengan ruang Tata Usaha dan
Ruang kepala sekolah. Sofa berwarna hitam mungkin itulah satu-satunya barang
mewah di sekolah ini, dan itupun pemberian dari seorang jamaah pengajian
pembina Yayasan. Beliau memberikan sofa ini karena akan pindah ke Pulau Jawa
bulan ini.
Dari tampilan kedua orang tua ini, terlihat bahwa mereka adalah
salah satu kelas menengah di kota ini. Baju yang necis, kendaraan MPV, HP
android bermerk dan sang ayah menjinjing tas yang sepertinya tas notebook.
Sudah sekitar 5 menit mereka menunggu kepala sekolah ini.
Sang kepala sekolah seperti biasa, di pagi hari akan keliling ke pojok-pojok
kegiatan pagi yang rutin dilaksanakan di sekolah ini.
Setelah meminta maaf karena membuat pasangan ini menunggu,
sang kepala sekolah memulai pembicaraan.
“Ada yang bisa saya bantu pak ?” tanya kepala sekolah pada
bapak itu .
“Kami berencana memasukkan anak kami ke sekolah ini pak.
Sekarang anak kami sudah di TK B. Juli nanti rencananya saya akan masukkan di
sekolah dasar. Saya ingin tahu tentang sekolah ini pak, beberapa teman saya
memasukkan anaknya di sini. Kata mereka, sekolah ini peduli pada tahapan
perkembangan anak. “ jawab sang bapak dengan bahasa yang teratur dan enak
didengar.
Sang kepala sekolah duduk di seberang kedua orang tua ini.
Wajahnya menghadap keluar. Ke arah jendela kaca di belakang kedua orang tua
ini. Sesekali pandangan kepala sekolah ke arah luar. Mengarah ke kelas-kelas
yang ada.
“Baik pak. Saya akan jelaskan tentang sekolah kami . “
lanjut kepala sekolah sambil menyodorkan selembar brosur mengenai sekolah.
Panjang sekali kepala sekolah ini menjelaskan pada kedua
orang tua ini. Dari sejarah pendirian sekolah, cara penerimaan siswa, kurikulum
hingga tentang ruang kelas, perpustakaan dan konsep tentang menghadapi ujian. Dan
di sela-sela penjelasan, sang ayah memotong dengan dua buah pertanyaan.
“Apakah anak-anak belajar di ruangan itu ? Dan, bagaimana
dengan nanti anak-anak mengahadapi ujian nasional ?” tanya bapak itu dengan
nada khawatir.
Memang sekolah ini berbeda dengan sekolah-sekolah
kebanyakan. Di sekolah ini, kelas tidak berdiri dengan mewah. Kelas hanya
terdiri dari bangunan kayu sederhana, sebagiannya pun sumbangan dari warga yang
membongkar rumah tuanya. Kadang kami mendapat seng, tongkat kayu, atau bahkan
kulit kayu yang kemudian digunakan untuk membuat dinding kelas. Pantas jika ada
pertanyaan dari calon wali murid yang akan memasukkan anaknya. Dan, tak heran
pula jika kemudian mereka tak jadi memasukkan anaknya karena alasan kelas ini.
Sekolah ini bukan ingin tampil beda. Bukan. Bukan itu. Tapi
mereka punya prinsip, bahwa uang yang dibayarkan oleh orang tua, bagian
terbesarnya harusnya dialokasikan untuk pengembangan SDM guru, penambahan alat
peraga dan yang lebih penting bagi mereka adalah perpustakaan sekolah yang
berisi ribuan judul buku. Jika bisa membuat kelas seharga 20 juta, mengapa harus
keluar 60 juta ? Itu prinsip yang dipegang sekolah ini. Dan memang memiliki
resiko, ortu yang masih menganggap sekolah dengan tampilan fisik, akan pergi
meninggalkan ruang tamu ini tanpa harapan kembali untuk memasukkan anaknya.
Sekali lagi, bagi sekolah ini, ini dianggap sebagai keuntungan karena sekolah
dapat melakukan seleksi alamiah pada calon orang tua wali murid.
Ada beberapa alasan mengapa sekolah ini membuat tetap
mempertahankan bangunan kelas yang sederhana. Sirkulasi oksigen yang kontinyu
tanpa harus menggunakan alat elektronika. Sensasi yang dirasakan anak dari
tampias air hujan ketika hujan lebat, hembusan angin semilir yang membuat
anak-anak dan guru mengantuk hingga angin kencang yang dapat menerbangkan
kertas-kertas lembar kerja mereka. Belum lagi “gangguan” suara alat berat dari
hotel samping sekolah. Ngung ngung ngung krauk.... Begitu suaranya ketika akan
menggali lahan yang ada di bangunan hotel sebelah. Seru. Ini semua tidak
dianggap sebagai masalah bagi sekolah, tapi dianggap sebagai gangguan kecil
yang diperlukan siswa dalam hidupnya. Karena, begitulah kenyataan di lingkungan
sekitar anak. Dan mereka perlu mendapatkan sensasi itu agar mereka belajar
menghadapi keadaann yang sesungguhnya.
Semua itu dijelaskan secara detail oleh sang kepala sekolah
ke pasangan muda itu. Kadang mengangguk-angguk, kadang pula mengernyitkan dahi
, mungkin tanda tidak setuju atau mungkin tanda bingung dengan apa yang
dijelaskan.
Jadikah ayah dan ibu itu memasukkan anaknya ? Mereka
berjanji untuk datang besok hari. Namun hingga tulisan ini dibikin, tak ada
kabar dari mereka berdua. Ya, mungkin seleksi alam telah terjadi.
Membawa konsep sekolah, apapun itu. Pasti akan membawa
konsekuensi. Sekarang bagaimana kita menyikapi itu. Konsisten dan komitmen
dengan apa yang kita bawa, atau mengikuti selera pasar yang ada ? Itu juga
adalah sebuah pilihan. Namun jika boleh memilih, maka harusnya sekolah memilih
untuk menjadi penentu pasar, bukan yang ditentukan pasar. Karena sikap itu
adalah sebuah kemandirian.
Surabaya, 18 Nov 2015
Rizqi Tajuddin/Ka SIT Sahabat Alam Palangka Raya
Cool....like it very much....keep fight
BalasHapusTerima kasih.
HapusTerima kasih.
Hapus