Hal pertama yang terbersit di benak Rizqi adalah, di mana
harus mengatur letak perpustakaan ketika Pak Haji Yani mengajak keliling ke
lokasi tanah yang akan dipinjamkan untuk Sekolah Sahabat Alam. Lahan berupa tanah
kosong yang banyak ditumbuhi ilalang dan beberapa pohon ketapang ini
memang cocok untuk dijadikan lahan
sekolah. Ada bangunan berupa rumah kayu tua berukuran 8 x 20 m, luas tanah 30 x
300 mter dan terletak tepat di pinggir jalan besar. Namun, dengan dana sangat
terbatas, tak mungkin membuat ruangan baru untuk perpustakaan.
Sering ada pertanyaan baik dari donatur atau wali murid,
mengapa Rizqi seakan ngotot harus ada ruangan untuk perpustakan di Sekolah Sahabat
Alam. Rizqi hanya menjawab singkat,”Semua peradaban besar dunia, selalu
menjadikan perpustakaan sebagai salah satu pusat pengembangan peradaban.” Ya,
memang benar. Coba saja kita lihat, dari peradaban Yunani, Romawi, India,
China, Islam hingga peradaban modern sekarang, saling “mencuri” ilmu dari
penerjemahan buku-buku ilmiah yang ada di perpustakaan negara. Tak ada ilmu
yang betul-betul original di masing-masing peradaban. Di Baghdad, di saat
peradaban Islam jaya, hampir di semua Universitas yang ada memiliki perpustakaan
yang besar dan lengkap.. Dalam permainan seperti Stronghold atau Age of Empire,
peradaban dianggap maju jika pemain sudah membuat perpustakaan di dalam
kerajaan yang dibuatnya. Sejarah inilah yang mengisnpirasi Rizqi untuk membuat perpustakaan
di Sekolah.
Setelah berkeliling di lokasi tanah yang dijanjikan, dan
juga melihat rumah kayu tua yang ada tepat di tengah-tengah tanah, Rizqi
bersama-sama dengan donatur dan konseptor Sekolah Sahabat Alam – Ustadz Amanto
dan Qanita - menetapkan mana lokasi
untuk ruang kelas, ruang tamu dan yang masuk dalam diskusi tentu saja ruang
perpustakaan. Dalam ruangan itu, ada kamar-kamar berukuran 4x6 meter.
Kamar-kamar itulah yang kemudian direncakana untuk dijadikan ruang
perpustakaan.
Juli 2010 sekolah mulai berjalan. Dan rencana awal untuk
fokus pada ruang perpustakaan tetap dijalankan. Meski hanya dengan jumlah buku
tak lebih dari 30 eksemplar – pemberian dari trainer pertama kami ibu
Anggernina – perpustakaan sekolah mulai diwujudkan. Pipa paralon yang dibagi
dua dan ditempel di dinding sebagai tempat untuk buku yang ada. Tak lupa diberi
karet bekas ban dalam motor sebagai penahan agar buku tak terjatuh. Sederhana
memang. Tapi semua penghuni sekolah diyakinkan bahwa semua dimulai dari yang
sedikit atau kecil. Namun, meski terlihat sangat sederhana, Perpustakaan
Sekolah ini sudah menggunakan pendataan buku dengan menggunakan software yang
canggih. Konon software yang open source ini juga sudah dipakai oleh beberapa
perpustakan di Brazil. Perangkat lunak bernama SliMS ini buatan asli anak-anak
negeri. Tak payah lagi mendata menggunakan perangkat lunak ini. Sekali masukkan
data, label buku dan barcode buku juga tercetak. Meminjamnya menggunakan
barcode scanner, alat yang biasanya digunakan di kasir supermarket untuk
memanggil nama barang. Canggih. Dan itu digunakan sejak tahun pertama sekolah
Sahabat Alam berdiri. Sejak perpustakaan bari memiliki buku 30an eksemplar.
Buku-buku di tahun pertama ini belum terlalu variatif. Hanya
terdiri dari beberapa novel sederhana, buku cerita anak usia 8-9 tahun dan
beberapa buku refernsi untuk guru. Jadi, tahun pertama ini, siswa belum mulai
mau meminjam buku karena belum ada buku yang cocok dengan usia mereka. Palng,
guru yang akan membacakan cerita yang ada di buku. Meski begitu, sejak tahun
pertama ini, siapapun yang meminjam buku atau yang membawa buku keluar dari
ruang perpustakaan tetap akan terdata di SliMS. Siapapun. Termasuk kepala
sekolah ataupun pengurus Yayasan.
Tahun kedua, sekolah mulai menganggarkan dana pembelian buku
perpustakaan. Dana berasal dari biaya perpustakaan tahunan siswa juga berasal
dari dana Bantuan Operasional Sekolah. Di tahun kedua ini, Sahabat Alam mulai
membeli buku koleksi perpustakaan. Sekitar 3-4 juta rupiah buku yang dapat
dibeli. Koleksi perpustakaanpun mulai bertambah.
Bertambahnya jumlah buku ini juga berdampak pada program
kegiatan perpustakaan bagi murid. Jika di tahun pertama hanya dibacakan, maka
di tahun kedua ini murid sudah mulai meminjam buku dan membawa buku pulang ke
rumah. Mereka akan meresume buku yang mereka pinjam. Dengan jalan mereka
masing-masing. Bisa dengan gambar, ringkasan sederhana dari 1-2 halaman buku
atau bahkan ada juga siswa yang bisa menceritakan isi buku dengn cukup detail.
Rizqi dan guru-guru Sahabat Alam cukup serius dalam membuat
Perpustakaan Sekolah ini. Dan ini mulai terdengar oleh wali murid, ataupun
kerabat. Satu-persatu mulai munyumbang untuk perpustakaan. Mulai dari rak buku,
meja, kursi hingga memberikan sejumlah buku. Beberapa teman yang akan pindah
keluar kota bahkan ada yang menghibahkan rak bekas berjualan baju untuk
perpustakaan.
Tahun ketiga, sekolah mulai memikirkan tenaga perpustakaan
yang benar-benar fokus mengurus perpustakaan. Karena sejak tahun pertama,
petugas perpustakaan masih dirangkap oleh Tata Usaha sekolah. Dan denganb
bertambahnya jumlah murid, semakin memperberat beban kerjanya.
Tahun ketiga ini juga sudah mulai memikirkan untuk memindah
ruangan perpustakaan. Kamar yang ada sudah terlalu kecil dengan barang-barang
yang ada. Rak-rak dan meja cukup membuat ruangan menjadi jadi lebih sempit.
Ruang perpus yang biasanya juga digunakan untuk ruang bercerita guru pada
siswa, juga terlihat menjadi penuh sesak dengan siswa. Tak nyaman bagi guru dan
siswa.
Tahun ketiga ini, sekolah memindahkan ruangan perpustakaan
di ruangan yang sebelumnya dijadikan ruang guru dan TU. Sekarang, lebih luas
meski tak ideal dengan jumlah buku dan siswa yang akan datang untuk berkunjung
ke perpustakaan. Di sekolah ini, boleh tak ada ruang untuk kepala sekolah, tapi
ruangan untuk perpustakaan seakan sudah menjadi kewajiban.
Sejak tahun ketiga ini, sekolah sudah mulai berani belanja
buku di luar pulau. Dari mulai titip pada teman yang pergi ke Jawa, hingga
datang sendiri ke Book Fair yang ada di Jakarta maupun ke toko-toko buku besar
yang ada di pulau Jawa. Bukan 3-4 juta lagi yang dibelanjakan tapi sudah
belasan juta per tahunnya. Sekolah Sahabat Alam pernah membuat ilustrasi ke
wali murid, jika wali murid belanja buku paket 500 ribu pertahun untuk siswa
dan jika saja ada 100 murid di sekolah, maka belanja buku paket bisa sekitar 50
juta. Bayangkan saja jika uang itu digunakan untuk membeli buku refernsi yang
umur pemaiakannya lebih panjang dibandingkan dengan buku paket yang hanya 1
smester., dan bisa jadi tahun depannya buku paket itu sudah menjadi barang
loakan.
Dengan bertambahnya jumlah buku, program kelaspun mulai
bervariasi. Mulai dari perpustakaan kelas – yang bukunya pinjam dari
perpustakaan sekolah yang diganti 1-5 hari sekali -, baca bersama orang tua
bagi siswa yang belum membaca, bikin target bulanan jumlah halaman novel bagi
siswa kelas atas hingga membuat resume seperti yang dilakukan di tahun kedua.
Fokus membangun perpustakaan sekolah ini adalah cara untuk
menumbuhkan budaya literasi baik guru maupun siswa. Menumbuhkan kecintaan pada
karya sastra berupa novel atau lainnya. Dengan sekolah yang sejak awal tidak
menggunakan buku paket sebagai sarana atau alat untuk bahan ajar, perpustakaan
yang seperti ini sangat mendukung pembelajaran dan minat baca siswa. Banyak
certia-cerita yang dianggap menakjubkan oleh sekolah ini. Misal, ada beberapa
anak kebutuhan khusus yang sudah menjadikan buku sebagai kebutuhan. Fulanah kelas
misalnya, ABK dengan diagnosa slowlerner (Iq 80an) sudah menjadikan
novel sederhana sebagai bacaannya. Dan, bukan sekedar membaca tapi dia tahu apa
isi buku yang dibacanya. Fulanah yang lain, siswi SMP yang juga slowlerner,
bahkan memiliki cita-cita menjadi penulis karena seringnya membaca novel-novel
karya Tere Liye.
Sekarang jumlah buku sudah mencapai ribuan judul buku. Dan
Sekolah Sahabat Alam masih terus mengembangkan dengan menambah jumlah koleksi.
Dan sekarang, jika siswa tahu bahwa ada buku baru datang, Pak Puji –petugas perpustakaan
– perlu menyembunyikan dahulu buku-buku itu, karena biasanya anak-anak akan
menunggu diizinkan membaca buku baru meski untuk sementara hanya membaca di
perpustakan. Karena prinsip di perpustakaan Sahabat Alam, semua buku yang
keluar haruslah terdata di SLIMS dan tersampul serta dipasang label dan barcode
terlebih dahulu.
Membangun perpustakaan sekolah bukan hal yang rumit. Tapi
perlu komitmen dan konsistensi.
Surabaya, 18 Nov 2015
Rizqi Tajuddin/ Sekolah Sahabat Alam Palangka Raya
Komentar
Posting Komentar