Seorang ayah bertanya pada saya beberapa hari lalu.
"Aq mau tanya, kan katanya anak itu dunianya bermain, lha terus gimana cara yg pas buat merangsang untuk belajar...?"
Jawaban saya
Pertama saya akan menjelaskan tentang kebutuhan pokok anak. Kebutuhan pokok anak adalah kebutuhan yang diperlukan anak agar bertahan hidup dan tumbuh serta berkembang menjadi manusia yang utuh. Tumbuh itu maksudnya, bertambah fisiknya sesuai dengan tahapan yang seharusnya. Sedangkan berkembang, lebih pada makna psikologis atau jiwanya.
Menurut beberapa referensi, kebutuhan pokok anak meliputi tiga bagian, yakni kebutuhan pokok akan fisik, psikologis dan pembelajaran.
Kebutuhan adalah fitrah anak dan hak anak. Saya akan memberikan ilustrasi tentang ini. Salah satu yang mudah digambarkan adalah tentang kebutuhan akan makan. Bagi anak yang normal, ketika lapar dia akan menampakkan reaksi baik berupa tangisan, menunjuk piring, atau ketika sudah bisa bicara anak akan meminta makan pada orang tuanya. Namun ada beberapa anak yang tidak sensitif dengan ini, bisa jadi karena ada masalah di otaknya atau lainnya, atau bisa jadi karena pola asuh. Misal ketika anak sudah menunjukkan tanda lapar dan ingin makan, sang ayah atau ibu tidak sensitif dengan sinyal itu. Bisa jadi menunda-nunda atau bahkan membiarkan. Jika ini dibiarkan terus-menerus, sensifitas anak pada rasa lapar dan ingin makan ini akan berlahan berkurang, karena anak merasa toh dengan memberikan sinyal sekuat apapun orang tua tidak akan menanggapinya.
Nah, sama dengan kebutuhan pokok makan, untuk kebutuhan pokok lainnya anak juga akan menunjukkan sinyal pada orang tua atau orang dewasa di sekelilingnya. Anak yang mengangkat tangannya jika ingin digendong oleh orang tuanya. Sinyal ini ditunjukkan anak pada semua kebutuhannya. Ini fitrah anak, tanpa kita beritahupun, mereka sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.
Bagaimana dengan belajar ? Belajar juga masuk dalam kebutuhan pokok anak. Tentu kita perlu memaknai belajar dengan makna sesungguhnya. Karena, adanya persekolahan, kita menganggap bahwa belajar itu sekolah, belajar itu membaca, belajar itu berhitung, membaca buku paket dan mengerjakan PR. Makna ini terlalu sempit.
Makna belajar lebih luas dari sekedar itu. Ketika anak bertanya mengapa siang itu terang dan panas, itu juga belajar. Ketika anak usia 11 bulan terjatuh dan mencoba bangkit lagi untuk berjalan itu juga belajar. Ketika orang tua menunjukkan tempat sampah untuk membuang sampah, itu juga belajar. Banyak hal yang bisa dimaknai belajar. Betul bukan bahwa kita sering mendengar kata-kata "belajar makan", "belajar jalan", "belajar naik sepeda" dan lain-lain.
Ada beberapa hal yang dapat mendukung kebutuhan pokok pembelajaran bagi anak.
Pertama adalah bermain. Bermain ini maknanya bukan bermain gadget, tapi bermain sesungguhnya. Bermain balok, petak umpet, lompat tali, kelereng dan permainan lainnya. Ini juga fitrah dan hak anak. Anak-anak yang haknya bermainnya tidak dipenuhi, akan mengalami kesulitan pada tahapan perkembangan berikutnya. Bisa jadi secara akademis tak ada masalah, tapi bisa jadi akan banyak masalah di motorik dan emosinya. Karena permainan banyak mestimulasi motorik dan emosi anak.
Orang tua sebaiknya memberikan kesempatan ekplorasi bermain yang luas bagi anak dengan tidak banyak memberikan perintah-perintah yang tak penting bagi anak. Persepsi permainan bagi kita dan anak usia dini juga berbeda. Terlalu memberi perintah dan teralalu membatasi kesempatan anak untuk eksplorasi dapat menghambat kreatifitas anak.
Kedua. Akses untuk mendapatkan pengalaman yang sesuai dengan tahapan perkembangan.
Ilustrasi
Pengalaman anak usia 1,5 tahun adalah makan dengan makanan yang sudah berstekstur kasar, mencoba makan sendiri dengan tangannya. Jika di usia ini kita masih menyuap dan memberikan makanan yang halus, ini berarti tidak memberi kesempatan anak untuk mendapatkan pengalaman yang sesuai dengan umurnya.
Anak usia 2 tahun seharusnya sudah bisa minum dari gelas kaca. Ketika usia ini atau lebih, anak masih kesulitan minum dari gelas, artinya ada masa anak tidak mendapatkan pengalaman di usia sebelumnya.
Ketiga. Berikan tantangan pada anak, bukan tekanan. Ini memang beda tipis. Sulit jika orang tua tidak belajar tentang tahapan perkembangan dan tidak peka pada kemampuan anak. Mengolok-olok dan membandingankan acap kali diannggap oleh guru dan orang tua sebagai cara untuk memotivasi siswa atau anak, padahal cara itu akan menimbulkan tekanan bagi siswa.
Tantangan bagi siswa jika orang tua memberikan lingkungan yang positif bagi perkembangan bahasanya. Lingkungan yang bahasa digunakan secara aktif (suara, gerak tubuh, isyarat, kata2 dan kalimat) & kaya akan bacaaan
Ilustrasi 1
Seorang anak usia 11 bulan baru belajar jalan. Sebuah tantangan jika sang ayah menstimulasi anak untuk berjalan, memberikan apresiasi dan lainnya hingga anak ingin mencoba lagi dan lagi
Ilustrasi 2
Seorang anak usia 12 bulan, baru merangkak di usia ini. Akan menjadi tekanan bagi anak ketika orang tua mengajarnya berjalan karena ini tidak sesuai dengan tahapan perkembangannya.
Bagi beberapa anak, tahapan perkembangan bisa jadi terlambat atau lebih cepat
Ilustrasi 3
Seorang anak usia 7 tahun, ketika usia 5 tahun masih kesulitan membedakan bentuk dan warna. Akan menjadi tekanan jika orang tua memberikan target bisa membaca pada anaknya. Seharusnya anak tidak terus menerus dibebani dengan target membaca dikala tahapan perkembangan sebelumnya belum tuntas
Keempat, orang tua adalah model bagi anaknya. Anak akan kesulitan membaca jika orang tua jarang sekali membaca buku atau membacakan cerita untuk anaknya. Anak akan sulit untuk belajar jika orang tua lebih sering menonton televisi daripada mengajak anak untuk bereksplorasi. Orang tua adalah model terbaik dan pertama bagi anak-anakya.
Jadi, sebelum meminta mereka belajar membaca, maka sebaiknya orang tua menyediakan lingkungan uang mendukung untuk itu. Ketersediaan buku, jalan-jalan ke toko buku, belanja buku apakah lebih sering dibandingkan dengan jalan-jalan ke tempat lainnya.
Jadi, belajar itu holistik. Luas maknanya. Jika anak distimulasi dengan berbagai hal yang diperlukan bagi tumbuh kembangnya, maka seharusnya kita tak perlu khawatir apakah anak belajar atau tidak. Kalaupun maksud orang tua belajar itu seperti makna belajar pada umumnya (membaca, menulis dll), maka orang tua juga tak perlu khawatir jika orang tua sudah memberikan semua kebutuhan anak akan tahapan perkembangannya, maka anak akan maju ke tahapan selanjutnya, yaitu membaca, menulis dll.
"Aq mau tanya, kan katanya anak itu dunianya bermain, lha terus gimana cara yg pas buat merangsang untuk belajar...?"
Jawaban saya
Pertama saya akan menjelaskan tentang kebutuhan pokok anak. Kebutuhan pokok anak adalah kebutuhan yang diperlukan anak agar bertahan hidup dan tumbuh serta berkembang menjadi manusia yang utuh. Tumbuh itu maksudnya, bertambah fisiknya sesuai dengan tahapan yang seharusnya. Sedangkan berkembang, lebih pada makna psikologis atau jiwanya.
Menurut beberapa referensi, kebutuhan pokok anak meliputi tiga bagian, yakni kebutuhan pokok akan fisik, psikologis dan pembelajaran.
Kebutuhan adalah fitrah anak dan hak anak. Saya akan memberikan ilustrasi tentang ini. Salah satu yang mudah digambarkan adalah tentang kebutuhan akan makan. Bagi anak yang normal, ketika lapar dia akan menampakkan reaksi baik berupa tangisan, menunjuk piring, atau ketika sudah bisa bicara anak akan meminta makan pada orang tuanya. Namun ada beberapa anak yang tidak sensitif dengan ini, bisa jadi karena ada masalah di otaknya atau lainnya, atau bisa jadi karena pola asuh. Misal ketika anak sudah menunjukkan tanda lapar dan ingin makan, sang ayah atau ibu tidak sensitif dengan sinyal itu. Bisa jadi menunda-nunda atau bahkan membiarkan. Jika ini dibiarkan terus-menerus, sensifitas anak pada rasa lapar dan ingin makan ini akan berlahan berkurang, karena anak merasa toh dengan memberikan sinyal sekuat apapun orang tua tidak akan menanggapinya.
Nah, sama dengan kebutuhan pokok makan, untuk kebutuhan pokok lainnya anak juga akan menunjukkan sinyal pada orang tua atau orang dewasa di sekelilingnya. Anak yang mengangkat tangannya jika ingin digendong oleh orang tuanya. Sinyal ini ditunjukkan anak pada semua kebutuhannya. Ini fitrah anak, tanpa kita beritahupun, mereka sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.
Bagaimana dengan belajar ? Belajar juga masuk dalam kebutuhan pokok anak. Tentu kita perlu memaknai belajar dengan makna sesungguhnya. Karena, adanya persekolahan, kita menganggap bahwa belajar itu sekolah, belajar itu membaca, belajar itu berhitung, membaca buku paket dan mengerjakan PR. Makna ini terlalu sempit.
Makna belajar lebih luas dari sekedar itu. Ketika anak bertanya mengapa siang itu terang dan panas, itu juga belajar. Ketika anak usia 11 bulan terjatuh dan mencoba bangkit lagi untuk berjalan itu juga belajar. Ketika orang tua menunjukkan tempat sampah untuk membuang sampah, itu juga belajar. Banyak hal yang bisa dimaknai belajar. Betul bukan bahwa kita sering mendengar kata-kata "belajar makan", "belajar jalan", "belajar naik sepeda" dan lain-lain.
Ada beberapa hal yang dapat mendukung kebutuhan pokok pembelajaran bagi anak.
Pertama adalah bermain. Bermain ini maknanya bukan bermain gadget, tapi bermain sesungguhnya. Bermain balok, petak umpet, lompat tali, kelereng dan permainan lainnya. Ini juga fitrah dan hak anak. Anak-anak yang haknya bermainnya tidak dipenuhi, akan mengalami kesulitan pada tahapan perkembangan berikutnya. Bisa jadi secara akademis tak ada masalah, tapi bisa jadi akan banyak masalah di motorik dan emosinya. Karena permainan banyak mestimulasi motorik dan emosi anak.
Orang tua sebaiknya memberikan kesempatan ekplorasi bermain yang luas bagi anak dengan tidak banyak memberikan perintah-perintah yang tak penting bagi anak. Persepsi permainan bagi kita dan anak usia dini juga berbeda. Terlalu memberi perintah dan teralalu membatasi kesempatan anak untuk eksplorasi dapat menghambat kreatifitas anak.
Kedua. Akses untuk mendapatkan pengalaman yang sesuai dengan tahapan perkembangan.
Ilustrasi
Pengalaman anak usia 1,5 tahun adalah makan dengan makanan yang sudah berstekstur kasar, mencoba makan sendiri dengan tangannya. Jika di usia ini kita masih menyuap dan memberikan makanan yang halus, ini berarti tidak memberi kesempatan anak untuk mendapatkan pengalaman yang sesuai dengan umurnya.
Anak usia 2 tahun seharusnya sudah bisa minum dari gelas kaca. Ketika usia ini atau lebih, anak masih kesulitan minum dari gelas, artinya ada masa anak tidak mendapatkan pengalaman di usia sebelumnya.
Ketiga. Berikan tantangan pada anak, bukan tekanan. Ini memang beda tipis. Sulit jika orang tua tidak belajar tentang tahapan perkembangan dan tidak peka pada kemampuan anak. Mengolok-olok dan membandingankan acap kali diannggap oleh guru dan orang tua sebagai cara untuk memotivasi siswa atau anak, padahal cara itu akan menimbulkan tekanan bagi siswa.
Tantangan bagi siswa jika orang tua memberikan lingkungan yang positif bagi perkembangan bahasanya. Lingkungan yang bahasa digunakan secara aktif (suara, gerak tubuh, isyarat, kata2 dan kalimat) & kaya akan bacaaan
Ilustrasi 1
Seorang anak usia 11 bulan baru belajar jalan. Sebuah tantangan jika sang ayah menstimulasi anak untuk berjalan, memberikan apresiasi dan lainnya hingga anak ingin mencoba lagi dan lagi
Ilustrasi 2
Seorang anak usia 12 bulan, baru merangkak di usia ini. Akan menjadi tekanan bagi anak ketika orang tua mengajarnya berjalan karena ini tidak sesuai dengan tahapan perkembangannya.
Bagi beberapa anak, tahapan perkembangan bisa jadi terlambat atau lebih cepat
Ilustrasi 3
Seorang anak usia 7 tahun, ketika usia 5 tahun masih kesulitan membedakan bentuk dan warna. Akan menjadi tekanan jika orang tua memberikan target bisa membaca pada anaknya. Seharusnya anak tidak terus menerus dibebani dengan target membaca dikala tahapan perkembangan sebelumnya belum tuntas
Keempat, orang tua adalah model bagi anaknya. Anak akan kesulitan membaca jika orang tua jarang sekali membaca buku atau membacakan cerita untuk anaknya. Anak akan sulit untuk belajar jika orang tua lebih sering menonton televisi daripada mengajak anak untuk bereksplorasi. Orang tua adalah model terbaik dan pertama bagi anak-anakya.
Jadi, sebelum meminta mereka belajar membaca, maka sebaiknya orang tua menyediakan lingkungan uang mendukung untuk itu. Ketersediaan buku, jalan-jalan ke toko buku, belanja buku apakah lebih sering dibandingkan dengan jalan-jalan ke tempat lainnya.
Jadi, belajar itu holistik. Luas maknanya. Jika anak distimulasi dengan berbagai hal yang diperlukan bagi tumbuh kembangnya, maka seharusnya kita tak perlu khawatir apakah anak belajar atau tidak. Kalaupun maksud orang tua belajar itu seperti makna belajar pada umumnya (membaca, menulis dll), maka orang tua juga tak perlu khawatir jika orang tua sudah memberikan semua kebutuhan anak akan tahapan perkembangannya, maka anak akan maju ke tahapan selanjutnya, yaitu membaca, menulis dll.
Komentar
Posting Komentar