Langsung ke konten utama

71. Do Your Best



Pernahkah kita mengatakan pada anak atau murid kita untuk melakukan yang terbaik ? Bahasa kerennya, "Do Your best !" Hampir semua kita mungkin pernah mengatakan itu. Sering pula kita mengatakan,"lakukan yang terbaik nak, ibu gak peduli hasilnya, yang penting kau mau mencoba melakukan itu." Ketika itu, kita sudah merasa menjadi guru dan orang tua yang terbaik untuk anak-anak kita. Kita merasa sudah memberikan motivsi yang tepat pada mereka. Dan memang itulah yang dinantikan seorang anak ketika akan mencoba melakukan sesuatu. Motivasi dari orang tua atau gurunya. Bukan pada capaian namun pada usaha yang dilakukan.
Melihat proses (pekerjaan) sebenarnya adalah sebuah petunjuk yang Allah berikan pada manusia di dalam Quran. Bahwa Allah meminta kita untuk bekerja, dan yang akan dilihat adalah pekerjaan kita bukan hasil yang kerjakan. Karena hasil adalah urusan Tuhan. Namun sesungguhnya, proses yang baik tidak akan membohongi hasilnya.

Dalam surat at-taubah 105, Allah berfirman :

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ



Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.

Namun, sadarkah kita bahwa serin kali kita sebagai orang dewasa telah merusak apa yang sudah kita tanam di awal. Ketika mereka mulai melakukan pekerjaan atau kegiatan, mulai dari situ kita mulai merusaknya. Mendikte, mengawasi berlebihan, melarang ini dan itu karena kita merasa apa yang dilakukan oleh anak keliru. Padahal ketika mereka mulai mencoba, itulah makna "Do Your best" sesungguhnya. Terbaik menurut mereka. Terbaik menurut pengetahuan dan skil yang mereka miliki saat mereka melakukan itu. Tapi karena khawatir mereka tidak menghasilkan sesuatu yang kita harapkan, maka dari situlah kita mulai mendikte mereka. "Jangan pakai itu", "Salah itu, kamu jangan ini.." dan kata-kata instruktif lainya yang sering tidak dibutuhkan oleh mereka.
Suatu hari saya pernah menyuruh anak pertama saya membersihkan lantai karena dia menumpahkan air. Dia gunakan tisue. Dan cukup banyak tisue yang digunakan karena air yang tumpah banyak juga. Di tengah keseriusannya membersihkan, saya melakukan insterupsi, "Bang, jangan pakai tisue." dan kemudian ketika dia melakukan kesalahan lagi menurut saya, saya interupsi lagi. Dan akhirnya membuatnya tidak nyaman dan berkata, "Bingung aku, ini gak boleh itu gak boleh. Katanya disuruh membersihkan !" Siapa yang salah ? Jelas saya. Padahal saya bisa menunggu dia menyelesaikan tugasnya dan kemudian mengajak diskusi ketika keadaan sudah normal tentang penggunaan tissue itu. Kita seringkali tidak sabar melihat proses itu. Mereka sudah benar dengan berusaha mengeringkan lantai yang basah. Dan di memorinya, tissue lah alatnya.
Nah, sekali lagi kita merusak apa yang sudah kita bangun di akhir mereka melakukan tugasnya. Kita sudah mengatakan, "Do your best" bukan "Lakukan yang terbaik menurut persepsi ayah". Maka seharusnya, apapun hasilnya harusnya kita apresiasi tanpa kata tapi. Apapun. Tak peduli baik atau buruk menurut kita. Karena mereka sesungguhnya telah melakukan yang terbaik menurut persepsi mereka.
Ketika kita mengatakan :Do yor best" dan ketika ternyata gagal menurut persepsi kita, maka seharusnya tak kita nampakkan raut wajah kita yang kecewa pada mereka. Seharusnya tak ada kata, "Yah, coba kamu usaha lebih keras lagi", atau "Kamu kurang seirus melakukannya" dan lain sebagianya. Karena itu semua adalah ekspresi kekecewaan kita pada hasilnya. Padahal, di awal kita menyuruh mereka melakukan yang terbaik menurut mereka, bukan menurut kita. Lalu, apakah hasil yang buruk (menurut kita) itu kita biarkan ? Untuk sementara iya. Karena Tuhan memberikan kita banyak waktu dengan mereka, untuk membahas hasilnya menurut persepsi mereka. Bisa jadi, menurut mereka itulah hasil yang terbaik.
Jika kita menyuruh mereka melakukan yang terbaik, mengapa kemudian kita memberi apresasi yang rendah karena hasil yang mereka lakukan tidak sebaik orang lain atau tidak sebaik yang kita harapkan ?


Bangil, 2 Juni 2018

Rizqi Tajuddin
#BabahAca

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

97. Saatnya Kita Berbenah

Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua. Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian. Pertama, msalah pola asuh Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia. Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif. Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin. Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan. Masih ada guru-gu

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t