Langsung ke konten utama

80. Guru dan Hak Anak akan ASI

Rizqi Tajuddin:
Tahun 2013 saya pernah berkunjung ke sebuah sekolah di bilangan Jakarta Selatan. Waktu itu, saya melihat hal unik di kelas. Seorang ibu sedang mengajar dan di lantai juga ada bayi berusia kurang dari 6 bulan.
Spontan saya bertanya pada pemilik sekolah, "anak siapa itu Bu ?"
"Oh, itu anak ibu guru yang sedang mengajar itu pak," jawab pemilik sekolah.
Sekolah ini bukan sekolah murah. Tahun 2013 SPP nya sudah hampir 1,5 juta per bulan. Pasti anak-anak orang berada di situ. Itu yang menggelitik saya untuk bertanya lagi, "Apa orang tua gak komplain Bu ? Apa nanti dianggap gak profesional?" Cecar saya.
"Alhamdulillah tidak pak. Kalopun ada yang bertanya, kami jawab bahwa bukankah ini bonus dari kami pak" jawab beliau lagi.
"Bonus Bu?" Tanya saya sambil menarik alis mata saya ke atas. Bingung dengan jawaban ini.
"Iya pak bonus. Ortu bayar SPP itu agar anaknya belajar matematika, bahasa, dll. Mereka membayar bukan untuk anaknya belajar mengasuh anak. Dan kami beri bonus itu. Anak2 tahu bgmn caranya mengasuh, mengganti popok juga menggendong."
Wow, luar biasa batin saya.
"Saya juga akan persilahkan orang tua untuk cari sekolah lain jika tak sepakat dengan apa yang kami lakukan." Lanjut ibu berjilbab itu.
"Yang kami service itu guru pak bukan wali murid. Guru yang diservice baik, akan bahagia. Maka dia akan mengajar dengan bahagia. Dampaknya ke anak pak. Anak yang bahagia kan akan cerita ke ortunya pak. Jadi meski ortu  gak sependapat dengan sekolah, tapi anak merasa bahagia, mereka tentu akan berpikir berulang kali untuk memindahkan anaknya."
Sebuah filosofi yang luar biasa yang saya dapat dari sekolah kecil ini. Teguh pada pendirian.
Beda cerita lagi saya dengar dari selatan Jawa timur, sebuah sekolah besar dengan SPP yang kurang lebih sama dengan sekolah di atas, seorang guru perempuan perlu izin 3 lapis hanya sekedar untuk memberi ASI anaknya yang dititipkan di lembaga pengasuhan yang ada di luar sekolah.
Jika anda pemilik sekolah, model sekolah mana yang akan Anda pilih ?
Jika Anda seorang guru, sekolah yang mana yang Anda harapkan ?
Semua ada pilihan dan semua ada konsekuensinya.

Bangil, 31 Juli 2018.
.Rizqi Tajuddin
#babahAca

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t

97. Saatnya Kita Berbenah

Mengapa Masih Terjadi Kekerasan dalam Sekolah Saya menulis ini bukan ingin menunjuk dan menyalahkan pihak-pihak yang berada sebagai stake holder. Tapi ini murni agar kita bisa refleksi dan memperbaiki ini semua. Saya melihat, ada 4 hal yang harusnya menjadi perhatian. Pertama, msalah pola asuh Bahwa tak bisa dipungkiri, bahwa sudah sangat banyak yang penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh sangat berhubungan dengan perilaku manusia. Anak yang diasuh dengan pengasuhan yang patut akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat, sebaliknya dengan anak yamg diasuh dengan keras dan pengabaian memyebabkan anak lebih rapuh. Bisa cenderung pasif, bisa pula sangat agresif. Dan sayangnya, masalah utama ini belum menjadi perhatian serius kita. Hampir tak ada kurikulum kita yang menyiapkan anak untuk menjadi orang tua. Begitu juga di sekolah, tak banyak sekolah yang mengadakan parenting secara rutin. Kedua, masalah pengetahuan guru tentang ilmu anak, jiwa dan keguruan. Masih ada guru-gu

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t