Langsung ke konten utama

103. Evaluasi Pendidikan Pasca Covid19 #2. Reward, Punishment dan Membangun Kesadaran

Kelajutan tulisan dari

 https://embunpetakdanum.blogspot.com/2020/05/102-aksesoris-dan-esensi-evaluasi.html


"Orang kita, kalau gak dihukum, gak taat"
"Pemerintah gak tegas sih"

Kalimat di atas tak ada yang salah. Inilah kondisi realitas masyarakat kita. Tapi, bukankah tidak dalam kondisi pandemik juga seperti ini ? Ya, sama. Kondisi tak jauh berbeda. Perliaku kita di masa sulit itu menunjukkan apa yang kita dapat dalam pendidikan/pengasuhan.
Pendidikan kita tidak dibangun dengan membangun kesadaran dengan alasan dan cinta, tapi lebih mengedepankan reward dan punishment (ini sudah saya bahas di tulisan-tulisan sebelumnya). Pendidikan yang transaksional. Aku dapat apa, jika melakukan. Kurang lebih seperti itu. Hal ini sudha menjadi jamak di pendidikan kita, baik di rumah maupun di sekolah. Untuk urusan shalat, hingga urusan mengerjakana PR. Transaksional. Anak disogok dengan sesuatu agar mau melakukan, atau diancam agar mau melakukan. Pendidikan seperti ini efektif dan cepat membuat anak untuk melakukan. Karena ingin hadiah, atau takut dengan ancaman. Pendidikan dengan membangun kesadaran dengan alasan dan cinta, sebaliknya, membutuhkan waktu yang lama. Dengan hadiah dan hukuman, bisa dengan cepat membuat anak usia 6 tahun untuk mau shalat. Tapi dengan alasan dan cinta, perlu waktu yang jauh lebih lama. Untuk anak yang memecahkan gelas, cukup cepat jika kita ancam atau beri hadiah agar dia mau membersihkan. Tapi, butuh waktu agar anak melakukan jika yang kita bangun adalah kesadaran.

"Gelas pecah, apa yang perlu kamu lakukan ?"
"Bersihkan ya yah ?"
"Ya. Kira-kira, bagaimana caranya menurutmu ?"

dan seterusnya jika kita berdialog mereka. Tapi akan menjadi cepat dengan , "Ambil sekrop, sapu dll, bersihkan"

Tapi, yang pertama itu akan membuat anak berpikir dan mencerna dengan otak yang lebih rileks, otomatis, akan tersimpan di memorinya lebih lama karena adanya rasa aman.

Nah, di kondisi pandemik ini kita merasakan apa yang kita tebar di pendidikan, kita panen sekarang. Masyarakat curi-curi kesempatan dengan sikap tidak tegasnya pemerin tah. Mereka yang melanggar bahkan dari kalangan "terdidik" dan kaya. Bukan hanya dari kalangan kelas bawah. Penutupan Gerai Mc D dan banjirnya bandara sebagai contohnya.
Pendidikan dengan reward dan punishment, cocok untuk negara dengan pemerintah yang otoriter seperti China. Masyarakat yang melanggar, "disikat" oleh petugas. Tapi akan menjadi sulit di negara-negara terbuka seperti Indonesia. masyarakat patuh menunggu hukuman apa yang menimpa, atau hadiah apa jika taat.

Sudah sering pakar pendidikan teriak-teriak masalah ini. Dan kita sekarang menuai benih yang kita tebar selama ini di pendidikan. Masih mau lanjut, atau mengubah perilaku pengasuhan kita ? Pilihan tentu di tangan kita


Menteng X.2 Jekan Raya, 26 Mei 2020

Rizqi Tajuddin
#BabahAca

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t...

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t...

106. Design Thinking/Design Sprint for Education

Yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Sering kita mendengar kata-kata magic ini. Perubahan adalah bagian dari kehidupan memang. Punahnya hewan yang ada di alam ini adalah karena hewan tersebut tidak bisa melakukan perubahan di kondisi yang ada. Dan memang itulah fitrah mereka. Sedangkan kita, manusia, adalah makhluk yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan. Manusia diberi akal untuk itu. Nah, tapi kita juga sering melihat perusahaan atau usaha akhirnya gagal beradaptasi dan akhirnya gagal pula melanjutkan kiprahnya.Namun, ada juga usaha yang sudah berusia ratusan tahun, tapi kita melihat masih eksis dan terlihat masih menggunakan model aslinya. Tapi benarkah tidak ada perubahan sama sekali sehingga usaha tersebut bisa bertahan ? Ternyata tidak juga, Mereka tetap melakukan inovasi, meski kadang inovasinya bukan di produknya, tapi bisa jadi di marketingnya, kemasannya, manajemennya dan hal-hal lainnya.  Saya ambil contoh Montessori, mereka menggunakan kurikulum...