Kelajutan tulisan dari
https://embunpetakdanum.blogspot.com/2020/05/102-aksesoris-dan-esensi-evaluasi.html
"Orang kita, kalau gak dihukum, gak taat"
"Pemerintah gak tegas sih"
Kalimat di atas tak ada yang salah. Inilah kondisi realitas masyarakat kita. Tapi, bukankah tidak dalam kondisi pandemik juga seperti ini ? Ya, sama. Kondisi tak jauh berbeda. Perliaku kita di masa sulit itu menunjukkan apa yang kita dapat dalam pendidikan/pengasuhan.
Pendidikan kita tidak dibangun dengan membangun kesadaran dengan alasan dan cinta, tapi lebih mengedepankan reward dan punishment (ini sudah saya bahas di tulisan-tulisan sebelumnya). Pendidikan yang transaksional. Aku dapat apa, jika melakukan. Kurang lebih seperti itu. Hal ini sudha menjadi jamak di pendidikan kita, baik di rumah maupun di sekolah. Untuk urusan shalat, hingga urusan mengerjakana PR. Transaksional. Anak disogok dengan sesuatu agar mau melakukan, atau diancam agar mau melakukan. Pendidikan seperti ini efektif dan cepat membuat anak untuk melakukan. Karena ingin hadiah, atau takut dengan ancaman. Pendidikan dengan membangun kesadaran dengan alasan dan cinta, sebaliknya, membutuhkan waktu yang lama. Dengan hadiah dan hukuman, bisa dengan cepat membuat anak usia 6 tahun untuk mau shalat. Tapi dengan alasan dan cinta, perlu waktu yang jauh lebih lama. Untuk anak yang memecahkan gelas, cukup cepat jika kita ancam atau beri hadiah agar dia mau membersihkan. Tapi, butuh waktu agar anak melakukan jika yang kita bangun adalah kesadaran.
"Gelas pecah, apa yang perlu kamu lakukan ?"
"Bersihkan ya yah ?"
"Ya. Kira-kira, bagaimana caranya menurutmu ?"
dan seterusnya jika kita berdialog mereka. Tapi akan menjadi cepat dengan , "Ambil sekrop, sapu dll, bersihkan"
Tapi, yang pertama itu akan membuat anak berpikir dan mencerna dengan otak yang lebih rileks, otomatis, akan tersimpan di memorinya lebih lama karena adanya rasa aman.
Nah, di kondisi pandemik ini kita merasakan apa yang kita tebar di pendidikan, kita panen sekarang. Masyarakat curi-curi kesempatan dengan sikap tidak tegasnya pemerin tah. Mereka yang melanggar bahkan dari kalangan "terdidik" dan kaya. Bukan hanya dari kalangan kelas bawah. Penutupan Gerai Mc D dan banjirnya bandara sebagai contohnya.
Pendidikan dengan reward dan punishment, cocok untuk negara dengan pemerintah yang otoriter seperti China. Masyarakat yang melanggar, "disikat" oleh petugas. Tapi akan menjadi sulit di negara-negara terbuka seperti Indonesia. masyarakat patuh menunggu hukuman apa yang menimpa, atau hadiah apa jika taat.
Sudah sering pakar pendidikan teriak-teriak masalah ini. Dan kita sekarang menuai benih yang kita tebar selama ini di pendidikan. Masih mau lanjut, atau mengubah perilaku pengasuhan kita ? Pilihan tentu di tangan kita
Menteng X.2 Jekan Raya, 26 Mei 2020
Rizqi Tajuddin
#BabahAca
https://embunpetakdanum.blogspot.com/2020/05/102-aksesoris-dan-esensi-evaluasi.html
"Orang kita, kalau gak dihukum, gak taat"
"Pemerintah gak tegas sih"
Kalimat di atas tak ada yang salah. Inilah kondisi realitas masyarakat kita. Tapi, bukankah tidak dalam kondisi pandemik juga seperti ini ? Ya, sama. Kondisi tak jauh berbeda. Perliaku kita di masa sulit itu menunjukkan apa yang kita dapat dalam pendidikan/pengasuhan.
Pendidikan kita tidak dibangun dengan membangun kesadaran dengan alasan dan cinta, tapi lebih mengedepankan reward dan punishment (ini sudah saya bahas di tulisan-tulisan sebelumnya). Pendidikan yang transaksional. Aku dapat apa, jika melakukan. Kurang lebih seperti itu. Hal ini sudha menjadi jamak di pendidikan kita, baik di rumah maupun di sekolah. Untuk urusan shalat, hingga urusan mengerjakana PR. Transaksional. Anak disogok dengan sesuatu agar mau melakukan, atau diancam agar mau melakukan. Pendidikan seperti ini efektif dan cepat membuat anak untuk melakukan. Karena ingin hadiah, atau takut dengan ancaman. Pendidikan dengan membangun kesadaran dengan alasan dan cinta, sebaliknya, membutuhkan waktu yang lama. Dengan hadiah dan hukuman, bisa dengan cepat membuat anak usia 6 tahun untuk mau shalat. Tapi dengan alasan dan cinta, perlu waktu yang jauh lebih lama. Untuk anak yang memecahkan gelas, cukup cepat jika kita ancam atau beri hadiah agar dia mau membersihkan. Tapi, butuh waktu agar anak melakukan jika yang kita bangun adalah kesadaran.
"Gelas pecah, apa yang perlu kamu lakukan ?"
"Bersihkan ya yah ?"
"Ya. Kira-kira, bagaimana caranya menurutmu ?"
dan seterusnya jika kita berdialog mereka. Tapi akan menjadi cepat dengan , "Ambil sekrop, sapu dll, bersihkan"
Tapi, yang pertama itu akan membuat anak berpikir dan mencerna dengan otak yang lebih rileks, otomatis, akan tersimpan di memorinya lebih lama karena adanya rasa aman.
Nah, di kondisi pandemik ini kita merasakan apa yang kita tebar di pendidikan, kita panen sekarang. Masyarakat curi-curi kesempatan dengan sikap tidak tegasnya pemerin tah. Mereka yang melanggar bahkan dari kalangan "terdidik" dan kaya. Bukan hanya dari kalangan kelas bawah. Penutupan Gerai Mc D dan banjirnya bandara sebagai contohnya.
Pendidikan dengan reward dan punishment, cocok untuk negara dengan pemerintah yang otoriter seperti China. Masyarakat yang melanggar, "disikat" oleh petugas. Tapi akan menjadi sulit di negara-negara terbuka seperti Indonesia. masyarakat patuh menunggu hukuman apa yang menimpa, atau hadiah apa jika taat.
Sudah sering pakar pendidikan teriak-teriak masalah ini. Dan kita sekarang menuai benih yang kita tebar selama ini di pendidikan. Masih mau lanjut, atau mengubah perilaku pengasuhan kita ? Pilihan tentu di tangan kita
Menteng X.2 Jekan Raya, 26 Mei 2020
Rizqi Tajuddin
#BabahAca
Komentar
Posting Komentar