Langsung ke konten utama

102. Aksesoris dan Esensi, Evaluasi Pendidkan Indonesia Pasca Covid19

Menggemaskan memang, melihat banyak masyarakat dengan mudahnya melanggar protokol PSBB. Dengan mudah berkerumun di pasar untuk membeli baju lebaran, memaksakan shalat ied dan cipaka-cipiki di lapangan tanpa memperhatikan protokol lagi. Alasannya cuma satu. Gak enak, gak biasa. Merasa tidak nyaman karena memang biasanya jika lebaran akan membeli baju, akan pulang kampung. Tentang shalat berjamaah di masjid atau di lapangan, seenarnya juga sudah banyak ulama yang melarangnya dengan tegas. Dari yang moderat, hingga yang konservatif. Dari yang aswaja, hingga salafy. Semua sama pendapatnya.

Sebenarnya, ini tidak mengagetkan, dan sudah banyak yang memprediksi ini. Bahwa masyarakat akan banyak melanggar. Terlepas tidak tegasnya pemerintah sebagai pengambil kebijakan, ada hal lain menurut saya yang bisa membuat kondisi ini seperti sekarang ini. Apa itu ? Pendidikan menurut saya. Saya akan kupas secara sederhana di bawah ini. 
Pendidikan di Indonesia sejak lama mengagungkan hal-hal yang berupa aksesoris, dibandingkan dengan yang esensi. Bukan berarti yang aksesoris itu gak penting, tapi kadang atau bahkan sering yang aksesoris itu menghambat terlaksanannya pendidikan karena ditunggu kehadirannya, padahal yang esesnsi sudah hadir. Saya beri contoh beberapa agar pembaca mudah memahaminya. Mengejar kurikulum itu bukanlah esensi, tapi mendidik anak sesuai dengan kemampuan dan passionnya adalah esensi pendidikan. Jadi, guru tidak perlu sibuk mengejar kurikulum, tapi fasilitasi potensi anak. Nah, sekarang bagaimana ? Sebaliknya bukan ? Contoh berikutnya. Seorang anak tidak mau ke sekolah karena sepatu hitamnya kotor karena terkena hujan semalam. Padahal anak ada kemauan untuk berangkat sekolah. Sepatu itu akseoris, dan menghambat esensi pendidikan yakni kemauan anak untuk belajar. Dalam banyak literatur, disebutkan bahwa sinergi adalah hal penting dalam mendidik anak, karena sinergi akan membuat anak lebih peduli, lebih berempati. Sedangkan kompetisi sebaliknya. Nah, sekarang, mana yang lebih sering kita jadikan fokus dalam pendidikan ? Kompetisi, atau sinergi ? 
Bayangkan, ini terjadi sejak kita TK hingga pendidikan lanjutan. Dan secara tidak sadar telah memborbardir otak kita, bahwa ini adalah hal benar. Dan tentu, kesalahan yang berulang kali dibenarkan, akan membuat kita merasa benar. Salah kaprah kata orang Jawa. Salah, tapi sudah biasa. Ya udah, dianggap benar aja. Banyak dari kita akhirnya, bingung memilih mana sih yang urgen, mana yang penting dan mana yang sama sekali tidak penting. Misal, pilih hape bukan dilihat apa kebutuhan kita pada hape itu, tapi hanya melihat speknya, dan akhirnya kita mau dan rela berhutang untuk membeli hape yang tidak sesuai dengan budget kita. Membeli kendaraan bukan dilihat apakaha sudah terpenuhi kebutuhan kita attau belum, tapi dilihat mana yang keren. 
Jika pendidikan ini tidak ada evaluasi dan dibiarkan terus menerus seperti ini, maka tidak perlu mengeluh dengan perilaku masyarakat yang memang akan kesulitan melihat mana yang urgen di kondisi seperti ini. Memilih cipaka-cipiki dan memaksa shalat tanpa protokol yang jelas, hanya karena, "Gak sreg lah kalo ada jarak", "Gak lega kalau gak shalat ied di lapangan/masjid", padahal syariat juga memberikan pelajaran bahwa nyawa adalah bagian paling penting yang perlu dihargai. 
Semoga, pengambil kebijakan dari level Menteri hingga guru di sekolah, bisa mulai berpikir, mana yang esensi, dan mana yang akseosris dalam pendidikan pasca pandemik ini berlalu. 



Menteng X.2 Jekan Raya, 26 Mei 2020

Rizqi Tajuddin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15. Tentang Tim Penagak Disiplin Sekolah

Di beberapa sekolah ada Tim yang bertugas untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Biasanya, tim ini dipilih oleh guru dari beberapa siswa yang memiliki kriteria tertentu. Bisa karena perilakunya yang baik, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan lain sebagainya. Tugas dari tim ini bermacam-macam, masing-masing sekolah memiliki perbedaan. Ada yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan siswa, menegur siswa yang masbuk dalam shalat, yang bermain-main dalam shalat,ada juga yang hanya tugasnya memotivasi anak lain atau menjadi model bagi anak lain. Disiplin bagi anak bukanlah perkara membalik telapak tangan. Displin bagi anak adalah proses jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor. Rumah, sekolah, lingkungan, teman dan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi perilaku anak. Kalau sekarang, mungkin TV, gadget dan game perlu dimasukkan dalam hal yang mempengaruhi anak.Bahkan, benda-benda itu kadang lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku anak dibandingkan orang t...

16. Rapor Deskripsi

Rapor deskripsi sebenarnya sudah mulai sejak 2006. Sejak diperlakukan kurikulum 2006 seharusnya rapor sudah dalam bentuk deskripsi. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan rapor deskripsi sejak tahun 2006. Banyak hal mengapa belum diterapkan. Salah satunya adalah kesulitan dalam membuatnya. Perlu energi ekstra dan pelatihan dan evaluasi yang terus menerus. Proses edit dari kepala sekolah atau wakil sekolah dalam hal tata bahasa dan kepatutan juga menjadi hal yang penting. Saya ingin berbagi mengenai rapor deskripsi yang telah kami lakukan di Sahabat Alam. Rapor deskripsi ini kami bikin sejak awal sekolah ini berdiri tahun 2010. Dan terus mengalami perbaikan setiap semester. Di tulisan ini saya akan berbagi sedikit tentang apa yang dilakukan di Sahabat ALam Palangka Raya. Tentu masih banyak juga kekurangan yang kami lakukan. Silahkan beri masukan tulisan ini. Selamat menikmati 1. Rapor harusnya menggambarkan secara gamblang bagaimana kondisi capaian anak. Jadi ketika orang t...

106. Design Thinking/Design Sprint for Education

Yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Sering kita mendengar kata-kata magic ini. Perubahan adalah bagian dari kehidupan memang. Punahnya hewan yang ada di alam ini adalah karena hewan tersebut tidak bisa melakukan perubahan di kondisi yang ada. Dan memang itulah fitrah mereka. Sedangkan kita, manusia, adalah makhluk yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan. Manusia diberi akal untuk itu. Nah, tapi kita juga sering melihat perusahaan atau usaha akhirnya gagal beradaptasi dan akhirnya gagal pula melanjutkan kiprahnya.Namun, ada juga usaha yang sudah berusia ratusan tahun, tapi kita melihat masih eksis dan terlihat masih menggunakan model aslinya. Tapi benarkah tidak ada perubahan sama sekali sehingga usaha tersebut bisa bertahan ? Ternyata tidak juga, Mereka tetap melakukan inovasi, meski kadang inovasinya bukan di produknya, tapi bisa jadi di marketingnya, kemasannya, manajemennya dan hal-hal lainnya.  Saya ambil contoh Montessori, mereka menggunakan kurikulum...